Ada TUHAN di Antara yang Lapar

Ada TUHAN di Antara yang Lapar

 

Gemah ripah loh jinawi“ adalah salah satu pepatah terkenal bangsa kita. Kata-kata dalam Bahasa Jawa tersebut menggambarkan bahwa bangsa kita memiliki tanah yang subur serta kekayaan alam yang melimpah, bahkan pada dekade 70-an sampai 90-an kita adalah salah satu negara produsen beras terbesar di dunia di samping Thailand. Swasembada pangan ini adalah salah satu tujuan dari pemerintah saat itu (pada masa pemerintahan Suharto). Pada masa keemasan tersebut kita boleh berbangga diri, sambil tersenyum lebar, bahwa tujuan tersebut bisa tercapai.

Namun seiring berjalannya waktu, revolusi pangan yang pernah jaya itu justru menimbulkan petaka bagi mereka yang tidak punya kuasa. Jargon ‘yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin’ semakin menguat dengan hadirnya para penguasa tanah dan pangan, serta gaya hidup sebagian orang yang tidak pernah merasa cukup atau serakah (greed). Akibatnya, semakin banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Cerita-cerita pilu dari rakyat miskin yang hanya makan nasi aking untuk bisa hidup atau mereka yang bekerja keras sambil menahan lapar dapat dengan mudah kita dengar dan jumpai di pelosok negeri yang – katanya – berlimpah susu dan madunya. Demikianlah kondisi bangsa kita semenjak era Orde Baru hingga kini. 

Kisah anak-anak negeri yang demikian mengingatkan kita akan kisah umat Israel dalam perjuangan mereka mengubah nasib dan bertahan hidup. Ketika di tanah Kanaan terjadi bencana kelaparan, keluarga Yakub pergi ke Mesir untuk menikmati hidup yang lebih baik. Roti dan gandum selalu mereka jumpai. Di Mesir segala kebutuhan mereka tercukupi. Hingga mereka semakin bertambah banyak dan keberadaan mereka dianggap sebagai ancaman bagi Mesir. Penderitaan lain mulai terjadi. Bukan lagi penderitaan karena kelaparan melainkan karena diskriminasi dan penindasan. Perjuangan mereka belum selesai. Mereka masih harus berjuang membebaskan diri mereka dari segala bentuk menderitaan, kecemasan dan ketakutan yang mengancam.

Penderitaan, kecemasan dan ketakutan terhadap segala bentuk ancaman pun  kita rasakan saat ini. Pandemi COVID-19 telah membuat masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia mengalami berbagai ancaman, khususnya ancaman untuk bisa bertahan hidup ditengah himpitan ekonomi. Para ahli pertanian memprediksi kemungkinan kelangkaan pangan selama dan pascapandemi. Namun anomali terjadi di Indonesia, sektor pertanian justeru mengalami pertumbuhan sebesar 16.2% selama kuartal II/2020. Mengapa demikian?

Industri pangan yang berbasis komoditas dan industrial saat ini telah gagal memberi makan banyak orang di muka bumi ini. Bukan karena kekurangan bahan pangan, tetapi karena terjadinya ketimpangan di berbagai sektor pangan. Makanan diproduksi, diperdagangkan dan dipromosikan bukan demi kebutuhan pangan dan kesehatan melainkan demi akumulasi kapital. 

Di sisi lain ada pula ketidakadilan pangan. Bayangkan, ada ber-ton-ton limbah pangan dari industri restoran dan perhotelan, sementara ada kelompok-kelompok masyarakat yang harus berjuang keras mendapatkan bahan makanan pokok, apalagi di musim kemarau. Mereka harus ke hutan menggali umbi-umbi hutan untuk makanan mereka karena pertanian mereka gagal panen.

Ya, Pandemi COVID-19 telah membuat banyak orang kuatir, juga kekuatiran tentang ketersediaan makanan selama dan pascapandemi. Kondisi bangsa yang berkaitan dengan kondisi ekonomi dan ketersediaan pangan menjadi isu yang menambah beban masyarakat. Kondisi semakin miris ketika kita harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang kita makan ditentukan oleh kekuatan industri pangan. Sementara masih banyak anggota masyarakat yang harus berjuang keras mendapatkan sesuap nasi bagi diri dan keluarganya. Namun bagaimanapun juga, perjuangan tidak boleh berhenti. Kita tidak boleh membiarkan keluarga dan anak-anak kita kelaparan dan kekurangan gizi, hingga menjadi ‘generasi yang hilang’ di negeri ini. Berbagai upaya ketahanan pangan harus terus kita lakukan secara besama-sama. Itu juga yang menjadi alasan mengapa setiap tanggal 16 Oktober dunia memperingatai Hari Ketahanan Pangan, yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik di tingkat global, regional maupun nasional.

Sebagai umat percaya, kita meng-iman-i bahwa ada TUHAN di tengah umat-Nya, tak terkecuali di tengah mereka yang lapar. TUHAN hadir dalam setiap jerih juang umat dalam upaya mereka mendapatkan makanan. TUHAN bersabda, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur atau menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung namun diberi makan oleh Bapa-mu di surga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu” [Matius 6: 26]. Itulah janji TUHAN terhadap kita umat-Nya. Namun iman kita tidak boleh hanya berhenti sampai disitu. Iman kita harus diwujudkan dalam tindakan dan perjuangan bersama. Walaupun ada prediksi suram dari ahli-ahli pertanian tentang situasi pangan saat maupun pascapandemi, jika kita mau mengembangkan pemahaman bahwa kita bisa menentukan nasib kita sendiri (Self Determination), maka kita dapat merasakan bahwa  janji pemeliharaan Tuhan terhadap umat-Nya nyata dan tidak berubah. 

 

Ada TUHAN di antara mereka yang miskin dan lapar, namun sebagai umat kita juga harus menentukan nasib kita dan mengubah hidup kita. Ada hal-hal sederhana dapat kita lakukan, seperti: [1] Konsumsi makanan secukupnya dan jangan membiasakan diri untuk membuang-buang makanan. [2] Gunakan bahan makanan yang sehat dan segar dari petani setempat. [3] Berani berkata “cukup” pada keinginan-keinginan duniawi yang tidak kita butuhkan. Ketika kita mampu berkata “cukup” bagi diri kita sendiri, kita sudah menciptakan keadilan bagi sesama yang membutuhkan. Dengan demikian kita turut menghadirkan Allah di tengah mereka yang lapar. 



Pdt. Sri Yuliana, M.Th.