Alkitab Terjemahan Lama, Terjemahan Persatuan Yang Darurat

Alkitab Terjemahan Lama, Terjemahan Persatuan Yang Darurat

 

Sejak sebelum zaman perang kemerdekaan, di hati umat kristiani di Nusantara timbul kerinduan akan hadirnya terjemahan persatuan, dalam bahasa Melayu yang dipahami seluruh  umat di seluruh Nusantara. Bukan hanya terjemahan Melayu yang hanya bisa dipahami orang-orang di wilayah tertentu. Pada masa itu telah tersedia tiga terjemahan Alkitab lengkap untuk gereja Protestan, yaitu Leijdecker (1733), Klinkert (1879) dan Shellabear (1912). Ketiganya lahir di masa yang berbeda, bahkan terjemahan Shellabear yang terbit paling akhir juga ditujukan untuk komunitas yang berbeda. Pada zamannya ketiga terjemahan tersebut menjadi berkat bagi umat yang menggunakannya. Tetapi, memasuki abad ke-20, umat menghendaki terjemahan yang lain, yaitu terjemahan yang memakai bahasa Indonesia yang sesuai dengan zamannya. Sumpah Pemuda dan semangat nasionalisme menggaungkan kembali impian yang pernah disampaikan oleh Hendrik Kraemer, tentang perlunya terjemahan Alkitab persatuan dalam bahasa Indonesia yang bisa dimengerti dan dipergunakan umat Tuhan dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. 

Semula Bode dan timnya tampaknya mampu mewujudkan harapan tersebut. Bode menyelesaikan terjemahan Perjanjian Baru pada tahun 1935 dan kemudian cetakan pertamanya terbit pada 1938. Antara 1938-1941, Perjanjian Baru terjemahan Tim Bode sudah dicetak tiga kali, yang menunjukkan tingginya penerimaan umat terhadap hasil terjemahan tersebut. 

Setelah Perjanjian Baru selesai diterjemahkan, tim bersiap mengerjakan Perjanjian Lama. Selama bulan-bulan awal Perang Dunia II tim masih dapat bekerja dengan optimal. Tetapi, pada 10 Mei 1940, saat pasukan Jerman memasuki wilayah Belanda di Eropa, terjadi perubahan besar. Semua laki-laki berkebangsaan Jerman yang tinggal di Hindia Belanda ditangkap. Bode ditahan bersama para tahanan lain dari Jawa Barat di Pulau Onrust, di Kepulauan Seribu. Pekerjaan tim pun berhenti. Bulan Juli para tahanan dipindahkan ke Lawe Sagala, Aceh Selatan. Di tahanan Bode dengan tekun terus meneruskan usaha penerjemahannya. Ia berhasil menyusun konsep terjemahan Kitab Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Amsal. Namun, pada Desember 1941, Jepang bergerak cepat menuju Semenanjung Melayu. Seluruh tahanan dievakuasi hendak dibawa menuju India. Pada 18 Januari 1942, mereka diberangkatkan dengan kapal “Van Imhoff”. Keesokan harinya saat kapal berada di sekitar perairan Nias, kapal diserang dan dibom pesawat Jepang. Dari sekitar 500 penumpang, hanya 70-an yang mampu menyelamatkan diri. Sisanya tewas ketika kapal ditelan ombak, termasuk di antaranya Werner August Bode. 

Sesudah kemerdekaan Indonesia, Konferensi Zending di Jakarta meminta  Lembaga Alkitab Belanda (NBG) yang pada waktu itu melayani penerjemahan dan penyebaran Alkitab di Indonesia agar segera memulai terjemahan cepat Perjanjian Lama, untuk mendampingi Perjanjian Baru Bode yang sudah terbit. Awalnya NBG menganggap semua konsep terjemahan Bode kecuali Kitab Mazmur telah hilang bersama gugurnya Bode. Kemudian tersiar kabar bahwa 40% naskah terjemahan Bode dan timnya selamat karena Ny. Bode masih menyimpannya. Maka NBG pada awalnya ingin membentuk Komisi Penerjemahan untuk segera melanjutkan konsep penerjemahan menurut tata cara tim Bode. Komisi ini diketuai oleh J.L. Swellengrebel.

Namun, perubahan politik, sosial dan budaya dari alam kolonial menuju alam kemerdekaan ikut memberi bentuk dan warna bagi perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tumbuh pesat sebagai bahasa nasional. Hal ini membuat terjemahan Alkitab yang lama menjadi tertinggal. Situasi tersebut menuntut terjemahan Alkitab yang lebih memadai dan modern. 

Terjemahan yang baru, yang sesuai perkembangan bahasa Indonesia jelas dibutuhkan, malah tidak dapat ditawar. Namun, sementara terjemahan yang baru diusahakan komisi yang dipimpin Swellengrebel, bagaimana cara LAI memenuhi kebutuhan Alkitab umat Kristen di seluruh Indonesia? Apakah umat yang haus akan firman tersebut harus menunggu terjemahan yang baru selesai?

Akhirnya pada 1958 Badan Pengurus LAI, yang meneruskan pekerjaan NBG di Indonesia, mengambil keputusan untuk menerbitkan sebuah edisi darurat Alkitab yang merupakan gabungan dari Perjanjian Lama hasil terjemahan Klinkert (1879) dan Perjanjian Baru terjemahan Bode (1938). Alkitab ini kemudian lebih dikenal dengan nama “Alkitab Terjemahan Lama”. Kata Pengantar Alkitab Terjemahan Lama tersebut menjelaskan alasan Pengurus LAI menerbitkan gabungan terjemahan Alkitab tersebut. 

…Alasan yang terutama ialah karena dewasa ini banyak orang yang rindu memiliki Alkitab seluruhnya, yang memuat baik Perjanjian Lama  yang lazim dipergunakan yaitu terjemahan Klinkert dan Perjanjian Baru terjemahan Bode. Alasan yang kedua karena terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia “modern. “ itu belum selesai…Pekerjaan ini memerlukan waktu kira-kira sepuluh tahun. 

…Penerbitan Alkitab ini bersifat darurat. Walaupun demikian kami menaruh harap dengan penerbitan ini dapatlah dipenuhi kerinduan mereka jang memerlukan terbitan Alkitab, jang memuat kedua bahagian itu bersama-sama. 

Dari pengantar “Alkitab Terjemahan Lama” tersebut jelas, kebutuhan akan Alkitab yang lengkap, baik PL dan PB begitu besar. Namun, tidak berbanding lurus dengan ketersediaannya. Kebijakan Badan Pengurus LAI menerbitkan Alkitab Terjemahan Lama boleh dikatakan sangat jitu, mengingat  Alkitab Terjemahan Baru, baru terbit enam belas tahun kemudian, pada 1974. 

Pada terbitan perdana tersebut masih tercetak “Wasiat Jang Lama” untuk PL dan “Perdjandjian Baharu” untuk PB dengan penerbit Lembaga Alkitab, Jl. Teuku Umar 34, Jakarta. Diakui pengurus, jarak bahasa antara dua perjanjian tersebut cukup jauh, lebih dari lima puluh tahun, namun agaknya tidak banyak umat yang mempersoalkannya. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa hingga beberapa tahun setelah Alkitab Terjemahan Baru terbit, Alkitab Terjemahan Lama masih terus dicari.