Allah dan Lewiatan Bermain Bersama di Laut

Allah dan Lewiatan Bermain Bersama di Laut

 

Kita semua rasanya pernah berkelindan dengan pertanyaan klasik, “Mana yang lebih dahulu ada: telur atau ayam?” Sebuah pertanyaan main-main, tetapi juga sebuah ungkapan dilematis untuk menggambarkan situasi ketika kita berhadapan sebuah persoalan pelik yang tidak mudah dijawab, tetapi juga sebuah  pertanyaan filosofis darimana asal mula kehidupan?

Ada sebuah konsep atau teori dalam pelajaran Biologi yang disebut abiogenesis dan biogenesis. Teori abiogenesis ini pertama kali dicetuskan oleh Aristoteles, bahwa kehidupan terjadi begitu saja secara spontan atau “generatio spontanea”. Terjadi begitu saja secara spontan dan alami. Teori ini didukung kelompok kreasionis-religius yang percaya bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan melalui Firman-Nya. Di sisi lain, para ilmuwan masih mencari jawaban atas pertanyaan tersebut dan belum mencapai kesepakatan final karena belum ada teori yang kuat yang dapat diterima. Di sekolah menengah siswa diarahkan untuk menerima konsep biogenesis bahwa kehidupan berasal dari kehidupan lain. Kita diperkenalkan dengan percobaan Redi, Spallanzani dan akhirnya percobaan oleh Pasteur. Kelompok ini berkata, “Omne vivum ex ovo, omne ovum ex vivo, omne vivum ex vivo”, yang artinya, “Makhluk hidup berasal dari telur, telur berasal dari makhluk hidup, makhluk hidup berasal dari makhluk hidup”.

Menjawab pertanyaan telur atau ayam yang lebih dahulu ada, baru pada tahun 2010 sekelompok ilmuwan Inggris dengan bantuan super-komputer berhasil menyimpulkan bahwa ayam ada terlebih dahulu, karena kulit telur mengandung protein OC-17 yang terdapat hanya pada ovarium ayam. Jadi telur dihasilkan oleh ayam. Ayam ada terlebih dahulu. Namun bagi ilmuwan pertanyaan belum selesai. Dari mana ayam berasal? Jawaban sedikit nakal namun Alkitabiah dari pertanyaan ini adalah:Tuhan tidak menciptakan telur-telur dari semua makhluk hidup, bukan? Gitu aja kok repot! 

Salah seorang pakar biologi yang melakukan studi awal mula kehidupan, Alexander Oparin (1894-1980), mengatakan bahwa kehidupan berawal dari lautan. Teorinya didasarkan bahwa lautan adalah sebuah kolam raksasa dimana reaksi-reaksi biokimia terjadi sehingga terbentuk asam amino, protein dan makhluk hidup. Teori ini disangkal oleh Stanley dan Miller pada tahun 1953 yang membuktikan bahwa asam amino terbentuk di atmosfer, bukan di laut. Biologi terus berkembang, namun hingga saat ini teori bahwa kehidupan berasal dari lautan masih menjadi landasan untuk pengembangan teori awal mula kehidupan lebih lanjut. Memasuki Abad XXI, studi tentang laut lebih dipusatkan pada laut sebagai sumber pangan, alur transportasi perdagangan, penyangga perubahan iklim dan sumber energi.

Bagi kita di Indonesia, diangkatnya Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan  menyadarkan kita akan peran laut sebagai sumber pangan yang melimpah, sehat (kaya protein, rendah lemak) dan tidak perlu dibudidayakan. Tinggal ambil. Dan sebagai alur transportasi perdagangan Presiden Jokowi memperkenalkan konsep “Tol Laut”.

Dalam konteks perubahan iklim, laut disebut sebagai obyek terdampak, dalam arti permukaan air laut akan naik karena suhu atmosfer bumi naik, es di Kutub Utara, Kutub Selatan dan puncak-puncak gunung mencair yang pada ujungnya menjadi ancaman bagi umat manusia. Maldives di Lautan India, Vanuatu dan negara-negara kepulauan di Pasifik terancam lenyap dari peta bumi karena tenggelam. Namun di sisi lain, baru-baru ini ditemukan bahwa ikan paus mampu menyerap gas karbondioksida dari udara pada tubuhnya, dan ketika ikan paus mati iapun tenggelam bersama gas karbodioksida ke dasar laut dan gas tersebut tetap terperangkap di dasar laut dalam.

Dalam konteks sumber energi, laut mampu menyediakan energi terbarukan tak terbatas melalui energi angin, pasang surut serta arus laut. Negara-negara di Eropa sudah membuktikannya dan saat ini pasokan energi listrik di sana dipasok dari ladang-ladang angi di Laut Utara.

Apa kata Alkitab tentang laut? Tertulis di dalam Mazmur 104: 25-28, “Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar. Disitu kapal-kapal berlayar dan Lewiatan yang telah Kau bentuk untuk bermain dengannya. Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya. Apabila Engkau memberikannya, mereka memungutnya; apabila Engkau membuka tangan-Mu, mereka kenyang oleh kebaikan.”  Pemazmur sudah menyampaikan visinya tentang kelautan ribuan tahun yang lalu. 

Mazmur 104 ini berisi syair-syair kekaguman pemazmur terhadap aktivitas penciptaan Allah yang dilakukan dengan perencanaan yang luar biasa. Bukan tanpa alasan, jika setelah  penciptaan terang dan gelap, Allah menciptakan daratan dan lautan. Penggambaran tentang kehidupan di laut sudah menunjukkan betapa luar biasanya perencanaan ciptaan Allah. Semua makhluk saling terhubung satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling menjadi sumber makanan bagi makhluk yang lain. Semua terjadi secara seimbang, harmonis, dan “terjadi begitu saja”, kata Aristoteles. Di laut, Allah bermain-main dengan kapal-kapal yang berlayar dan Lewiatan, monster laut yang tunduk kepada-Nya seperti seekor anjing kecil lucu di dalam rumah. Gambaran yang indah dan harmonis, bukan? Allah dan Lewiatan bermain bersama di dalam laut.

Laut memang mengandung banyak misteri. Mungkin kita merasa ngeri dibuatnya, namun bisa juga terkagum-kagum seperti Pemazmur. Menyelami laut sama halnya dengan kita menyelami kehadiran Tuhan yang ada dalam kehidupan kita saat ini, kita bisa menjelajahi setiap keajaiban Tuhan yang luar biasa, misterius, tapi sekaligus menyenangkan. Laksana hati Allah yang senang bermain-main dengan Lewiatan di dalam laut.

Pdt. Sri. Yuliana