Anak-Anak  “New Normal”

Anak-Anak “New Normal”

 

Sudah lebih dari tiga bulan bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa lain di belahan dunia ini berada dalam situasi yang serba sulit akibat wabah Covid-19. Kebiasaan-kebiasaan yang selama ini menjadi bagian kehidupan manusia ikut berubah. Aktivitas bekerja, belajar, dan beribadah semua dilakukan di rumah. Dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit orang yang mengalami stress dan depresi. Belum lagi tekanan-tekanan yang muncul akibat kondisi perekonomian yang menurun, pemutusan hubungan kerja dan banyaknya perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Pada sisi yang lain kita menyaksikan semakin tingginya tindakan kekerasan di masyarakat dan kekerasan dalam rumah tangga. Namun dari semua itu, perlu juga kita akui bahwa masih banyak dari kita yang abai terhadap kelompok masyarakat yang juga rentan dan terdampak Covid-19, yaitu anak-anak.

Anak-anak juga mengalami tekanan mental dan psikologis yang mungkin luput dari perhatian kita. Keharusan belajar di rumah selama berbulan-bulan membuat mereka mengalami kejenuhan. Terlebih dengan dikeluarkannya pengumuman dari Kemdikbud bahwa aktivitas belajar di rumah akan diperpanjang hingga akhir tahun karena anak-anak rentan tertular penyakit. Mereka juga harus menahan kerinduan bertemu teman-teman sekolah mereka, ruang bermain yang terbatas, dan yang paling menyedihkan dunia anak-anak yang begitu luas dan penuh warna harus dilakukan melalui media online, tatap muka virtual, bermain melalui aplikasi digital. Belum lagi mereka yang setiap hari menyaksikan orang tuanya bertengkar karena kondisi yang mereka hadapi sebagai orang dewasa.

Menurut laporan World Economic Forum, akibat Pandemi COVID-19 dengan kebijakan “lock down” maupun PSBB yang dilakukan oleh banyak negara, tercatat lebih dari 1 milyar anak terdampak, terutama akibat ditutupnya sekolah-sekolah dan anak-anak harus belajar dan tinggal di rumah. Memang dampak ini dapat dikurangi dengan tercukupinya kebutuhan dasar anak-anak, perlindungan/keamanan, kasih-sayang dan perhatian orang tua, serta akses internet/dunia digital yang memadai. Namun perlu kita ingat bahwa mereka juga berisiko terkena dampak negatif, seperti: kecanduan bermain game (gaming disorder), cyber-bullying dan stress akibat tinggal di dalam rumah dalam jangka waktu yang lama. Barangkali bagi anak-anak dari keluarga ekonomi menengah keatas persoalan ini tidaklah terlalu nampak, tetapi menjadi problem bagi mereka yang tinggal di wilayah kumuh atau dari keluarga yang kurang beruntung. Anak-anak ini masih bergulat dengan kebutuhan dasar. Persoalan kasih sayang, perlindungan, akses internet untuk belajar jarak jauh/daring menjadi hal-hal yang mewah. Dalam kondisi demikian, bullying, violence, gender base violence and abuse bukan saja datang dari dunia maya, tetapi dari dunia nyata. Kita bisa bayangkan betapa anak-anak dari keluarga miskin mengalami kerentanan yang berlipat ganda dalam masa Pandemi COVID-19. Selain itu mereka juga menghadapi risiko tindakan kekerasan dan perilaku menyimpang termasuk tindak kekerasan/perilaku seksual menyimpang dari orang-orang terdekatnya. Keadaan semacam ini tentu sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa dan mental anak-anak serta kemampuan tumbuh kembang otak secara jangka panjang yang berpengaruh pada masa depan mereka.

Lalu apa yang dapat kita lakukan bagi anak-anak kita? Belajar dari kesaksian Alkitab tentang masa kanak-kanak Yesus, sesungguhnya Maria dan Yusuf sudah menerapkan sebuah sistem pendidikan yang membebaskan bagi anak mereka. Memang kehidupan masa kanak-kanak Yesus tidak diceritakan dalam keempat Injil, bahkan kitab-kitab Perjanjian Baru pun tidak memuat kisah hidup Yesus waktu kanak-kanak. Hanya dalam Injil Lukas 2:41-52, kita dapat membaca cerita tentang Yesus waktu usia 12 tahun, berdiskusi dengan para ahli Taurat dan membuat para ahli Taurat itu terkagum-kagum dengan kepandaian-Nya. Namun kita tentu boleh membayangkan suasana keluarga dimana Yesus dibesarkan. Di rumah, Yesus tentu juga belajar membuat benda-benda dari kayu karena ayah-Nya seorang tukang kayu. Dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ibu-Nya, bermain dengan teman-teman-Nya dan bertukar pikiran dengan para ahli agama. Artinya, di rumahpun Yesus dapat belajar dan mendapatkan pendampingan dan kasih sayang dari kedua orangtua-Nya. Dapat kita katakan bahwa masa kanak-kanak Yesus dilaluinya dengan bahagia. Suasana keeratan hubungan dalam keluarga yang terjalin dengan baik menciptakan anak-anak yang tumbuh secara sehat mental dan spiritualnya. Seperti tertulis dalam Lukas 2: 40:  “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.”

Sekarang anak-anak kita saat ini hidup di tengah ancaman Covid-19. Anak-anak yang menghabiskan waktu di dalam ruang-ruang sempit dunia digital. Tentu saja ada kekuatiran mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang penakut, pesimis, menjadi asosial, tertekan karena takut tertinggal dari teman-temannya yang serba terpenuhi kebutuhannya. Dan kekuatiran terbesar dari orangtua adalah mereka tak lagi dekat dengan Tuhan dan Firman-Nya. Bagaimanapun kita harus melindungi anak-anak kita dari dampak-dampak negatif akibat pandemi ini.

Sebagai orang tua kita harus tetap tenang dan proaktif dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Bermain bersama, belajar bersama, bercerita dan membaca Alkitab bersama anak-anak akan membantu mempertahankan kesehatan mental dan menumbuhkan kecintaan mereka akan Firman Tuhan. Jika tujuan dari kenormalan baru (new normal) yang diterapkan pemerintah adalah terciptanya masyarakat yang sehat, produktif dan aman dari Covid-19, maka anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sehat, akan menjadi anak-anak “New Normal” yang sesungguhnya, yaitu anak-anak yang mampu beradaptasi dengan kebiasaan hidup yang baru, tangguh, sehat, dan produktif. Merekapun akan “bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat dan kasih karunia Allah ada padanya.”

Pdt. Sri Yuliana M.Th