“ANDAIKATA AKU TIDAK USAH DILAHIRKAN”     

“ANDAIKATA AKU TIDAK USAH DILAHIRKAN”    

 

Pertanyaan, “Tuhan, mengapa aku harus mengalami hal ini?” sering diajukan kala seseorang sedang mengalami penderitaan. Mengapa seseorang harus mengalami penderitaan? Sepertinya pertanyaan ini sudah ada sejak manusia pertama ada. Jawaban mudah dari pertanyaan ini adalah karena manusia  berdosa [Kej.3:16-19]. Namun jawaban inipun tidak memuaskan karena tidak semua orang berdosa mengalami penderitaan. Alkitab memuat narasi tentang Ayub, seorang yang saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan, namun harus mengalami penderitaan yang hebat bahkan menyesali kelahirannya, “Mengapa aku dibiarkan hidup? Mengapa aku disusui? Karena seandainya aku mati pada saat dilahirkan, sekarang ini aku sudah tenang, tertidur dan beristirahat’. [Ayub 3:12,13].

Jika diperhatikan, ratapan Ayub hampir seluruhnya dalam bentuk pertanyaan. Sebab bagi Ayub, penyebab penderitaannya adalah sebuah misteri. Ya, penderitaan mungkin adalah misteri iman yang terbesar. Mengapa Tuhan membiarkan orang yang dicintai-Nya menderita? Dari mana datangnya penderitaan? Ayub tidak tahu jawabannya, jadi hal paling jujur yang bisa dia lakukan adalah mengajukan pertanyaan. Termasuk pertanyaan yang mengandung protes pada pasal 3, yang menurut Prof. Dr. E.G. Singgih lebih tepat diberi judul, “Andaikata aku tidak usah dilahirkan”. Bisa juga lebih tajam, “Mengapa aku tidak mati saja waktu dilahirkan?”

Saat ini di tengah-tengah badai gelombang kedua pandemi COVID-19 di negara kita, tidak sedikit orang berkeluh kesah dan mengajukan pertanyaan, “Mengapa aku harus mengalami hal ini, Tuhan?” lalu “Apakah Tuhan tidak mengasihiku?”. Bahkan sampai pada pernyataan “Andai saja aku tidak usah dilahirkan”. Ya, bagaimanapun penderitaan adalah satu hal yang ingin dihindari oleh setiap orang. Namun seperti kita tahu, penderitaan adalah misteri. Kita tidak tahu kapan ia datang dan darimana asalnya.  

Bagi umat Israel kuno, kepercayaan tentang berkat dan kutuk tergantung dari sikap manusia terhadap Tuhan. Siapa yang setia kepada Tuhan akan memperoleh berkat dan siapa yang tidak setia akan dikutuk (band. Ul. 28:1-46). Tetapi pengalaman Ayub memperlihatkan bahwa dia yang setia kepada Tuhan, malah terkutuk. Orang yang kehilangan semua berkat adalah orang yang kena kutuk. “Bagaimana bisa, padahal selama ini aku taat, saleh, dan setia? Kok jadi terbalik? Kalau begitu aku sekalian saja membalikkan perjalanan hidupku kembali ke titik nol!”. Pada periode kebisuan yang dijalani Ayub dalam abu tampaknya menjadi saat yang penting bagi Ayub untuk menyadari hal ini. Biasanya saat hening merupakan saat merenung dan hasilnya adalah dari marah menjadi tenang, dari melawan menjadi bertobat. Tetapi  pada Ayub, justru sebaliknyalah yang terjadi. Istri Ayub tidak tahan melihat ketawakalan Ayub di pasal 2:9 dan berseru “Kutukilah (dengan menggunakan eufemisme di atas) Allah dan matilah”. Apakah kita bisa menganggap bahwa kutukan terhadap hari kelahiran ini kurang lebih merupakan ekuivalen dari mengutuki Allah dan itu berarti bahwa akhirnya Ayub mengikuti saran istrinya? Dari nrimo menjadi mengutuki hidup.

Sikap Ayub seperti ini sering terjadi juga pada kita. Di gelombang pertama pandemi COVID-19 banyak orang yang awalnya marah/protes kepada Tuhan lambat laun bisa menerima keadaan, menjalani kebiasaan baru, dan mulai terbiasa dengan kedukaan. Lalu pada gelombang kedua, yang terjadi justru sebaliknya, manusia tidak tahan dengan keadaan yang terjadi. Mereka mulai mempertanyakan “Mengapa penderitaan ini terjadi?”, “Apakah Tuhan tidak mengasihiku?”, bahkan sampai pada penyesalan “Andaikata aku tidak usah dilahirkan”. Seperti yang dialami dan dirasakan oleh Ayub, penderitaan yang dialami manusia melibatkan banyak faktor, dari aspek spiritual hingga sosial. Tidak mengherankan, jika seseorang yang mengalami penderitaan secara sosial (kemiskinan, kekerasan, bencana/pandemi, dsb) seringkali memiliki perasaan tertolak dan merasa tidak dicintai/dikasihi Tuhan, keluarga serta sesamanya. Lalu muncul pertanyaan, “Apakah aku tidak layak mendapatkan cinta-Nya?”.

Merasa tidak dicintai juga dirasakan oleh Ayub. Namun setelah selesai membaca seluruh narasi tentang Ayub, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa: pertama, Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan. Bagi penganut paham bahwa Tuhan memberikan pilihan bebas (free will of choices) hal ini sangat mudah dipahami, tetapi bagi penganut paham hegemoni dan souverenitas Tuhan, maka hal ini tetap sulit dipahami dan merupakan misteri seperti tecermin dalam dialog Ayub dengan kawan-kawannya. Kedua, Tuhan tetap hadir pada saat kita mengalami penderitaan. Menjadi Allah yang turut menderita dan melalui penderitaan itu IA memberi kita bekal untuk melanjutkan kehidupan kita dan mempersiapkan/melengkapi kita menghadapi masa depan.

Jadi, ketika kita diperhadapkan pada penderitaan atau mengalami penderitaan, lalu ada keluarga atau kawan kita memprovokasi kita dengan pertanyaan, “Masih layakkan engkau dicintai? Akankah engkau tetap mengasihi-Nya?”,  sama seperti provokasi teman-teman Ayub: Zofar, Bildad dan Elifas, apakah jawab kita? Akankah kita masuk dalam keraguan dan mengutuki kelahiran kita? atau kita sudah memiliki jawaban yang tegas?

Jesus loves me this I know . . .

Yes, Jesus loves me, the Bible tell me so.

Sebuah lagu yang sudah kita kenal sejak kita bersekolah-minggu, “Yesus sayang padaku. Alkitab mengajarku”. Tuhan adalah pribadi yang mengasihi kita. IA lebih dulu mengasihi kita sebelum kita mampu mengasihi-Nya. Bahkan ketika kita masih didalam kandungan. Penderitaan? Ah, itu hanya riak-riak kecil dalam kehidupan. “Een rimpeltje in het leven . . .”, kata orang Belanda. Penderitaan tidak mengurangi satu iota pun dari kasih Allah kepada kita. Karena kita layak  mendapatkan cinta-Nya.



Pdt. Sri Yuliana