Antara Iman dan Cai Lan Gong 

Antara Iman dan Cai Lan Gong 

 

Miracle Putra Gunawan (Eqqel) dan “saudaranya” Marvelous Putra Gunawan (Marvel) beberapa waktu yang lalu menjadi trending topic di media sosial dan acara gosip di televisi. Kedua “anak” tersebut adalah boneka-boneka canggih dan mahal milik artis Ivan Gunawan. Eqqel dan Marvel dirawat selayaknya bayi sungguhan, didandani dengan berbagai busana indah, difoto dalam berbagai situasi dan diunggah di media sosial dan menjadi viral.

Menurut psikolog, fenomena Ivan Gunawan dengan Eqqel dan Marvel-nya, sebenarnya tidak berbeda dengan fenomena seseorang dengan buku hariannya. Buku harian adalah media curahan hati pemiliknya. Demikian pula, Eqqel dan Marvel adalah media curahan hati dan ekspresi jiwa seorang Ivan Gunawan. Namun, pemberitaan di di media sosial makin marak ketika fenomena Eqqel dan Marvel dikaitkan dengan pesohor Thailand, Mae Ning yang memiliki boneka semacam itu yang menurutnya dirasuki arwah seseorang dan memberinya keberuntungan. Fenomena boneka arwah versi Thailand ini kemudian dikaitkan dengan fenomena “Eqqel dan Marvel” plus fenomena film boneka arwah, seperti: The Boy (2016), Goosebumps (2015), dan tentu saja Annabelle, boneka yang lahir tahun 1970-an dan dipercayai berhantu dan sekarang berada di Museum Warren Occult di Monroe, Connecticut, Amerika Serikat. Boneka ini telah menjadi inspirasi terbuatnya film The Conjuring (2013) dan Annabelle (2014). 

Boneka arwah, baik boneka/patung yang menjadi sarana doa/meditasi, sebutlah patung yang dipuja di meja altar, atau boneka yang kemasukan arwah seperti “Nini Thowok/Nini Thowong” di Jawa atau Jelangkung (Jailangkung, Cai Lan Gong "篮公", "Dewa Keranjang") yang ternyata berasal dari Tiongkok dan telah beralkulturasi dengan budaya Nusantara, bukanlah fenomena baru. Nini Thowok adalah ritus memohon hujan di Jawa yang biasanya diselenggarakan pada malam bulan purnama di lapangan desa pada puncak musim kemarau. Selain sebagai doa, ritual Nini Thowok sekaligus menjadi hiburan bagi warga desa menyaksikan boneka yang menari-nari. Sementara ritus Jelangkung adalah upaya memohon “petunjuk” tentang masa depan, sesuatu yang misteri, atau solusi atas suatu masalah, ramal-meramal.

Berkaitan dengan kepercayaan terhadap ramal-meramal, patung-patung dan boneka-boneka sebagai sarana pemenuhan harapan, ada sebuah kisah inspiratif berlatar budaya Tionghoa. Begini ceritanya: Dahulu kala di Tiongkok, ada orang kaya yang begitu terkenal karena kemurahan hati dan kedermawanannya, sebut saja namanya A Cong. Dia seorang kepala keluarga yang berkecukupan, dengan kesehatan yang baik serta bergaul dengan hampir semua orang yang ia temui.

Ayah A Cong meninggal setelah mengalami sakit yang cukup lama. Sebagai anak yang berbakti, A Cong berniat memakamkan ayahnya di lokasi yang memiliki “fengshui” yang baik sesuai kepercayaan, tradisi dan budaya Tionghoa. Maka berkonsultasilah A Cong kepada seorang pakar fengshui terbaik sesuai kemampuannya. Mereka pergi menuju ke perbukitan guna mencari dan membeli tanah untuk lokasi makam keluarga. Berbagai tempat “baik” yang diusulkan sang pakar ditolak oleh A Cong, karena lokasi-lokasi tersebut merupakan lahan produktif yang menjadi lahan pertanian desa. Akhirnya mereka tiba di sebuah lokasi yang tidak produktif secara pertanian, tetapi juga “kurang baik” secara fengshui untuk sebuah lokasi pemakaman keluarga. Ada sebuah batu besar yang secara “fengshui” mengganggu. Namun A Cong memilih tempat itu dan membelinya.

Beberapa tahun kemudian, sang pakar fengshui yang masih terganggu dengan keputusan A Cong yang tidak sesuai arahannya berkunjung ke desa A Cong. Ia ingin tahu apa akibatnya. Ternyata A Cong telah menjadi orang kaya yang sejahtera serta semakin dihormati dan dikasihi oleh warga desa. Lahan pertaniannya semakin luas dan menjadi tumpuan bagi para buruh tani di desa itu. Sang pakar fengshui menemui A Cong dan disambut hangat oleh A Cong. Setelah berbincang-bincang dan beramah tamah sang pakar fengshui menyampaikan keinginannya berziarah ke makam ayah A Cong. Sesampainya di makam, sang pakar terkejut karena batu besar di depan makam sudah terguling dan lokasi makam telah berubah menjadi lokasi makam dengan fengshui terbaik, yang menurut kepercayaan akan membawa kesejahteraan. Dan itulah yang terjadi pada kehidupan A Cong. Sang pakar bertanya, “Apa yang terjadi?” Kata A Cong, “Suatu saat terjadi hujan berhari-hari. Terjadi banjir dan tanah longsor. Batu di depan makam berpindah posisi.”

Ini hanyalah sebuah kisah inspiratif. Namun pesan yang ingin disampaikan melalui kisah tersebut bahwa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang bukan berdasarkan pada ramalan atau ritual-ritual yang dilakukan dengan menggunakan media apapun, seperti patung/boneka, melainkan keyakinan spiritual seseorang terhadap sesuatu yang diharapkan terjadi. Jika seseorang mengharapkan sesuatu terjadi dan dia meyakininya, maka semua akan terjadi. Sekali lagi yang menentukan adalah keyakinan/iman dan tindakan. Dalam cerita A Cong keyakinannya pada karma baik lahir dari tindakan yang baik, karenanya ia selalu ingin berbuat kebajikan dan tidak mau merugikan orang banyak dan ia pun memetik hasilnya. Jadi, bukan karena ramalan fengshui atau benda-benda lain yang dianggap memiliki arwah pembawa keberuntungan.

Sebagai umat percaya hendaknya kita lebih bijaksana dalam menyikapi fenomena ini. Apapun dapat terjadi jika kita meyakininya. Jika kita mengharapkan hidup kita aman, sehat, tidak kesepian, bahagia, dan kita meyakini dengan iman, maka semua itu akan terjadi. Tuhan sudah menyiapkan semuanya dan semesta akan mewujudkannya bagi kita. Tanpa perlu sarana seperti boneka-boneka untuk memenuhi keinginan kita, selain sebagai mainan biasa. Firman Tuhan mengingatkan kita: “… Dan janganlah seorang pun menjadi tukang ramal, mencari pertanda-pertanda, memakai jampi-jampi atau ilmu sihir atau mengadakan hubungan dengan roh-roh orang mati. Orang yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat itu dibenci oleh Tuhan Allahmu…” [Ulangan 18: 10-12, BIMK]. 

 

Pdt. Sri Yuliana