Bencana dan Petaka: Dosa Siapa, Salah Siapa? Seminar Biblika 13 Januari 2020

Bencana dan Petaka: Dosa Siapa, Salah Siapa? Seminar Biblika 13 Januari 2020

"Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal bahwa Aku telah menjadikan mereka"(Kej. 6:7).

Kemarahan Allah yang begitu menyeramkan tersebut mengingatkan kita semua akan bencana banjir, yang bagaikan kejutan di awal tahun melanda beberapa kota di Indonesia.  Korbannya bukan hanya harta benda, namun juga  jiwa. Wajar dalam  hati banyak orang timbul pertanyaan mengenai makna di balik bencana ini dan berbagai kejadian lain yang datang bertubi-tubi di negeri ini. Mengapa semua terjadi? Ini salah siapa, ini dosa siapa? Pertanyaan seperti ini bukanlah barang baru bagi umat percaya di sepanjang abad dan tempat.  Mengapa dalam dunia yang diciptakan dan dinilai “baik” oleh Penciptanya terjadi penderitaan, bencana dan kematian? Apakah hubungan dosa dan penderitaan? Mengapa orang fasik sepertinya menikmati hidup sejahtera, sementara orang benar justru menanggung sengsara? 

Pertanyaan-pertanyaan di atas dibahas dan dikupas dalam Seminar Umum yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia pada Senin 13 Januari 2020. Seminar yang mengangkat tema “ Bencana dan Petaka dalam Alkitab: Salah Siapa, Dosa Siapa?” Tema yang cukup kontekstual ini agaknya menarik minat banyak umat Tuhan untuk hadir. Sekitar 150 umat Tuhan dari berbagai gereja di Jabodetabek dan bahkan ada yang datang jauh-jauh dari Bandung memadati aula Gedung Pusat Alkitab. Sebagai narasumber, Kepala Departemen Penerjamahan LAI, Pdt. Anwar Tjen, Ph.D.
 
Tema dosa dan penderitaan selalu menarik untuk dibahas. Pdt. Anwar mencoba mengajak para peserta seminar untuk melihat perkembangan cara pandang penulis-penulis Alkitab dari masa ke masa mengenai bencana, penderitaan dalam kehidupan umat Tuhan secara pribadi maupun dalam kesatuan komunal sebagai sebuah bangsa.
 
Lewat seminar, para peserta diajak bereflesi bahwa hidup manusia sebagian besar sesungguhnya tetaplah sebuah misteri. Kita diajak juga untuk memahami bahwa keadilan retributif yang dipegang oleh sebagian  penulis Perjanjian Lama aliran Deuteronomis yang tak jarang juga diikuti oleh umat Tuhan di masa kini tidak selalu bisa dijadikan pegangan. Dalam prinsip keadilan retributif, misal dalam kisah air bah, Nuh dan keluarganya yang hidup tak bercela selamat dari air bah, sementara yang lain karena dosa mereka binasa ditelan banjir besar. Taat kepada Allah hidup selalu aman, sementara tidak taat pasti mendatangkan penderitaan. Kisah Ayub bisa menjadi contoh yang pas, orang benar pun tidak pernah luput dari penderitaan. Demikian juga pernyataan penulis Kitab Pengkhotbah, yang menulis orang fasik tak jarang hidupnya lebih mujur. 

Di sisi lain, para penulis Perjanjian Baru, melampaui pemahaman agama-agama pada masa itu menulis sebuah kesimpulan yang lain. Allah kita, adalah Allah yang tidak cuma diam melihat penderitaan manusia. Allah dalam Yesus Kristus malahan hidup sebagai manusia, dan merasakan penderitaan-penderitaan seperti manusia. Kristus berempati terhadap penderitaan manusia. Dan bahkan mati di kayu salib. Pdt. Anwar mengingatkan, dengan memahami Allah yang turut menderita, kita diajak meneladani Kristus yang bersimpati dan berempati terhadap korban. Bukan menyalahkan, menghakimi dan mencoba menyimpulkan dosa siapa di balik tiap musibah.