BERSAHABAT DENGAN BENCANA

BERSAHABAT DENGAN BENCANA

Sapaan LAI

Sahabat Alkitab yang dikasihi Tuhan Yesus Kristus.

Meski tampaknya suatu utopi yang sulit dijangkau nalar, namun bersahabat dengan pihak yang kehadirannya tidak kita kehendaki adalah bukan suatu pilihan, tapi kewajiban yang tak bisa ditolak.

Setelah saya merenungkan perjalanan hidup saya, ternyata selama usia ini tidak lepas dari bencana satu ke bencana lainnya. Baik skala individu, keluarga, komunitas, maupun negara dan bahkan dunia.

Masa kanak-kanak sampai dewasa banyak hal yang karena keteledoran diri maupun karena ada pihak lain baik orang maupun alam, membuat saya harus berjuang melampaui berbagai bencana. Saya pernah mengalami kecelakaan di sungai dan nyaris tidak selamat. Saya pernah naik sepeda motor dan menabrak pesepeda di perempatan jalan (yang tiba-tiba datang dari arah kiri) dan harus berurusan dengan Polisi. Saya pernah tersesat di hutan belantara dari pagi subuh dan baru bertemu dengan sebuah desa setelah lewat magrib.

Saya dibesarkan di daerah wabah TBC, Beri-beri, Malaria, dan Muntaber. Saya menyaksikan banyak orang terkena penyakit tersebut dan tidak bertahan. Saya tidak bisa menghindar dan akhirnya menjadi seorang pengidap malaria. Teman SD saya ada beberapa yang menderita Beri-beri (kekurangan vitamin B1) dan pertumbuhannya tidak normal.

Sekampung saya meski berada di Jawa Tengah, pernah merasakan dampak meletusnya gunung Galunggung di Jawa Barat. Berhari-hari kami semua tidak bisa melakukan aktivitas secara normal. Sekampung saya juga pernah terisolasi karena banjir bandang yang memusnahkan jembatan satu-satunya penghubung ke wilayah lain. Sebaliknya di musim kemarau, kampung saya sering mengalami kekeringan.  Saya dan banyak tetangga terpaksa hanya mandi sekali dalam sehari, itupun dengan sangat hemat air. 

Anak saya yang kedua di tahun 2000, saat dia berusia tiga tahun, tertabrak mobil di Bali. Saat itu saya hanya bisa menangis dan menangis. Sejak tahun 2006, secara bergantian dua kakak saya plus kakak ipar saya dipanggil Tuhan. Kemudian menyusul Bapak dan belakangan Ibu saya dipanggil Tuhan. Selanjutnya dua mertua saya satu persatu Tuhan panggil.

Dalam skala negara sudah sangat sering saya berada dalam kedukaan karena bencana banjir, gempa bumi, gunung meletus dan juga kecelakaan pesawat. Dalam skala dunia, pandemi Covid-19 adalah bagian dari perjalanan hidup sepuluh bulan terakhir. Saya sungguh penyintas berbagai bencana.

Kekhawatiran, kecemasan, ketakutan, ketidakpastian dan berujung pada rasa keputusasaan menjadi bagian dari reaksi terhadap berbagai bencana yang menimpa kita. Di sinilah pentingnya ada pegangan dan panduan yang kokoh sebagai penjaga nalar dan ketegaran hati kita.

 

Alkitab yang Tuhan menyapa umat yang dikasihiNya, adalah pegangan dan panduan untuk dapat menemukan makna di balik setiap bencana. LAI  yang tahun ini memasuki usia  ke-67, merupakan lembaga yang memiliki mandat menerbitkan dan menyebarkan Alkitab. LAI memiliki kewajiban untuk terus setia  dalam melaksanakan mandatnya, meski di tengah bencana sekalipun.

Firman Allah menjangkau semua generasi adalah visi yang harus diwujudkan dalam keadaan apapun. Bila bencana baik skala individu, komunitas, bangsa, dan dunia adalah bagian dari hidup kita, maka melalui Alkitab kita dapat menumbuhkan sikap untuk dapat bersahabat dengan mereka.

Kita tidak bisa menghindari bencana yang berada di luar kendali kita. Kita hanya bisa mewaspadai akan dampak yang lebih besar. Kita berupaya memprediksi dan mencoba meminimalkan dampak buruk. Selebihnya kita lakukan yang terbaik bagi kelanjutan hidup kita dan memohon belas kasihan Sang Pencipta.

Setidaknya dua puluh empat jenis program LAI di tahun 2020 yang dibagikan melalui WhatsApp, Email, Twitter, YouTube channel LAI, Instagram, Facebook, Website dan Podcast dimaksudkan agar umat lebih dekat dengan Alkitab serta tetap berpengharapan di tengah bencana. Tidak mustahil bahkan akan mampu bersahabat dengan bencana.

Salam Alkitab untuk Semua.

Dr. Sigit Triyono