Bode Menerjemahkan Alkitab

Bode Menerjemahkan Alkitab

 

Pada Oktober 1926, Hendrik Kraemer, teolog besar dan utusan Lembaga Alkitab Belanda (NBG) berangkat dari Ambon. Sebagai seorang utusan NBG, saat itu  ia sebetulnya telah menerima kewajiban mengupayakan suatu terjemahan baru Alkitab ke dalam bahasa Melayu, yang dapat dipakai di seluruh wilayah Nusantara. Dari Ambon, Kraemer menuju Minahasa. Di sana ia berjumpa dengan W.A. Bode, yang menurut pendapatnya begitu berbakat sehingga dianggap mampu memimpin usaha penerjemahan itu. 

Werner August Bode (12 September 1890 – 12 Januari 1942) dilahirkan di Anandapur, dibagian tenggara Mysore, India. Ayahnya seorang utusan Injil di wilayah itu. Dalam Perang Dunia I, ia menjadi serdadu tentara Jerman. Sesudah kekalahan Jerman, ia menerima pendidikan di sekolah zending di Barmen dan Oegstgeest, lalu menjadi pendeta bantu Gereja Protestan Minahasa (1922-1929). Jabatannya itu memberinya kesempatan untuk mempraktikkan bahasa Melayu. Di samping itu Bode juga mempelajari salah satu bahasa daerah di Minahasa, yaitu bahasa Tonsea. 

Bakatnya sebagai dosen tampak menonjol sehingga pada tahun 1926 ia diangkat sebagai dosen teologi pada sekolah pendidikan guru merangkap guru jemaat di Kuranga, yang dikelola oleh NZG. Di sekolah tersebut, Kraemer bertemu dengan Bode. Kraemer terkesan oleh “kerajinannya dalam mempelajari bahasa Melayu dan bakatnya dalam menggunakan bahasa tersebut”. Setelah mengadakan perbincangan cukup panjang, pada awal 1929, Bode diangkat menjadi penerjemah utama dalam proyek penyusunan terjemahan baru Alkitab ke dalam bahasa Melayu. 

Sebagai awal, Bode lebih dahulu cuti ke Eropa. Di Hamburg dan Leiden, ia menekuni studi ilmiah bahasa Melayu.  Sampai saat itu pengetahuannya tentang bahasa Melayu bersifat praktis. Ia lebih mengikuti perasaan ketimbang kaidah tata bahasa. Bahasanya juga tidak bebas dari ciri-ciri khas logat Minahasa. Tetapi, di Hamburg ia berupaya mendalami pengetahuan bahasa Melayu di bidang teori dan memahami soal-soal tata bahasa dan gaya bahasa. Ia melakukan latihan terjemahan ke dalam bahasa Melayu modern, sembari juga menekuni bahasa Melayu klasik. Ia pergi ke Leiden selama beberapa bulan, terutama dengan maksud mempelajari bahasa Melayu klasik. Dosennya di Hamburg, Dr. O. Dempwolff, memberinya nasihat yang bijak: Hendaklah ia bersama mitra kerjanya dari dunia Melayu selalu menyusun lebih dahulu konsep terjemahan berdasarkan beberapa terjemahan yang mereka pahami dan berdasarkan penjelasan lisan, baru menguji konsep itu berdasarkan naskah dasar.

Sementara itu menjelang Bode melaksanakan karya penerjemahannya, BFBS dan NBG mencapai kesepakatan. Kedua lembaga itu sepakat menangani proyek penerjemahan tersebut bersama-sama, dengan maksud menciptakan terjemahan persatuan yang dapat digunakan dalam pelayanan kepada semua penutur bahasa Melayu. Terjemahan baru itu nantinya harus memperhitungkan terjemahan sebelumnya karya: Leijdecker, Klinkert dan Shellabear, tetapi tidak akan terikat pada ketiganya. Pada waktu yang akan datang, terjemahan baru hasil karya komisi penerjemahan itu akan menggantikan hasil karya para pendahulunya. Konsep terjemahan akan dikirim kepada Shellabear di Amerika untuk dimintakan pendapatnya. Sebagai supervisor dalam proyek penerjemahan ini adalah Hendrik Kraemer. Supervisor berwenang mengambil keputusan akhir mengenai hasil terjemahan tersebut. Bahasanya haruslah: bahasa Melayu yang sopan, yang lazim digunakan dewasa ini, yang di Hindia Belanda disebut bahasa Melayu baku, tetapi yang sesungguhnya merupakan bahasa Melayu yang sedang berkembang menjadi bahasa baku”. Bahasa ini diharapkan dapat diterima orang-orang Melayu di seluruh wilayah Hindia Belanda, namun juga memenuhi selera orang di Semenanjung Melayu. Dengan demikian, komisi penerjemahan menghadapi tugas yang sulit, yang menurut ucapan Kraemer ”dalam banyak hal mustahil dilaksanakan”.

Akhir, 1930, Bode kembali mengambil cuti. Ia menetap di Sukabumi. Tetapi, ternyata tidak mudah untuk menemukan mitra kerja orang pribumi. Setelah lebih dari setengah tahun, barulah Encik Mashohor dan A.W. Keiluhu menjadi anggota komisi. Yang disebut perama adalah seorang Melayu dari Perak, sebuah daerah yang mayoritas penduduknya Muslim di bagian barat laut Semenanjung Melayu. Pernah selama beberapa waktu ia membantu Shellabear (juga penerjemah Alkitab ke dalam Bahasa Melayu-red) dalam menyusun kamus-kamusnya, dan kemudian ia mulai menyusun kamus umum bahasa Melayu. Kira-kira tahun 1924 Mashohor dibaptis; kemudian ia menamatkan sekolah guru Misi Metodis Amerika. Kendati demikian, dalam banyak hal pikiran dan perasaannya tetap bersifat muslim. Oleh sebab itu, dalam komisi penerjemahan ia kerap mengajukan pertanyaan mengenai salah satu istilah Alkitab yang begitu akrab bagi anggota lainnya namun kurang bisa dipahami seseorang yang bukan Kristen atau orang Kristen baru. Di samping itu, Mashohor berhasil membuat rekan-rekannya memahami “penggunaan bahasa yang murni dan praktis…oleh seorang Melayu yang berbahasa Melayu secara lisan…dan tulisan sebagai bahasa ibunya. Padanya kami dapat mengamati dengan berbagai cara bagaimana seharusnya menciptakan pelbagai nuanasa dari sudut leksikal dan idiomatik dalam memilih kata-kata bahasa dan gaya. Sebab, anggota Melayu kita mempunyai kemampuan  yang baik, dalam membedakan penggunaan kata-kata, dan penjelasannya juga sungguh-sungguh meyakinkan.” Keiluhu adalah mantan dosen pada STOVIL, di Ambon. Oleh rekan-rekannya ia ditunjuk karena dialah orang kepercayaan mereka dalam hal pemahaman terhadap bahasa Melayu. Kerja sama Bode dengan Keiluhu dan Mashohor berkembang baik dan banyak menghasilkan buah. 

Seorang pakar bidang bahasa Melayu klasik dan bahasa Melayu R.O. Windstet, ketika memeriksa konsep penerjemahan hasil karya Komisi Bode mengutarakan pendapat yang positif. Berdasarkan terbitan percobaan yang sampai di tangannya, menurutnya terjemahan Bode harus dinilai sebagai di atas rata-rata, dan di dalamnya tidak terdapat kata-kata yang tidak dipahami oleh orang Melayu di semenanjung. 

Bode bekerja dengan penuh semangat. Bahkan kadang ia lupa beristirahat. Kraemer melukiskan lewat pernyataan,”Tuan Bode jarang ingat beristirahat. Pernah saya bersama Nyonya Bode bersekongkol demi perikemanusiaan untuk memaksanya beristirahat sebenar.” Tahun 1935, terjemahan seluruh Perjanjian Baru karya tim Bode selesai; tahun 1938 terbitlah cetakan yang pertama, yang disusul cetakan ulang pada kurun waktu 1938-1941.

Setelah Perjanjian Baru selesai, komisi melanjutkan menerjemahkan Perjanjian Lama. Pada tahun 1936, Mashohor terpaksa kembali ke Semenanjung Melayu karena masalah keluarga. Ia digantikan oleh Abdul Ghani bin Tahir. Menurut Kraemer, kepakarannya di bidang bahasa malah melebihi keahlian Mashohor. BFBS untuk sementara tidak ikut serta dalam proyek Perjanjian Lama ini, karena menunggu tanggapan penduduk Semenanjung Melayu terhadap hasil terjemahan Perjanjian Baru. Namun, dalam notula Sub Komisi Editorial BFBS di London ditemukan satu tanggapan terhadap terjemahan Perjanjian Baru Bode,  yaitu dari H.C. Cheeseman, seorang ahli terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Tulisnya,”Menurut saya, tidak dapat diragukan lagi bahwa terjemahan Perjanjian Baru Anda yang baru dalam bahasa Melayu…merupakan terjemahan terbaik yang ada, dan dalam banyaki hal lebih bagus ketimbang semua terjemahan di masa sebelumnya.”Sub Komisi BFBS membicarakan masukan Cheeseman ini dalam rapatnya 5 April 1936, dan memutuskan akan ikut membiayai terjemahan Perjanjian Lama. Pada tahun 1939 teks definitif Kitab  Kejadian dan Ulangan sudah diperiksa bersama dan disetujui oleh Kraemer. 

Beberapa tanggapan atas Terjemahan Bode

Menurut pendapat Kraemer, dibandingkan terjemahan-terjemahan yang mendahuluinya merupakan kemajuan yang besar. Namun, Kraemer agaknya tidak benar-benar antusias akan hasilnya. Kraemer sedikit kecewa mengenai hasil terjemahan komisi yang dipimpinnya tersebut. Hasil terjemahan komisi  harus memperhitungkan sikap banyak orang Kristen, yang melekat pada terjemahan sebelumnya (karya Leijdecker dan Klinkert). Komisi terpaksa mempertahankan ungkapan-ungkapan lama yang sudah masuk kosakata Kristen Nusantara melalui terjemahan Leijdecker dan Klinkert, meskipun menurut pandangan komisi dalam bahasa Melayu tersedia ungkapan lain yang lebih tepat. Kasus seperti itu merupakan “konsesi…dengan maksud memuaskan hati orang Minahasa atau Ambon”. Tetapi dilihat dari ilmu penerjemahan, konsesi itu merupakan “kekalahan” yang terpaksa mereka “terima demi kepentingan yang lebih luas”. 

Meskipun supervisor komisi merasa kurang puas, orang Kristen pribumi dan para utusan Injil menyambut baik hasil terjemahan Bode dan kawan-kawan. Ulasan dalam berbagai majalah sangat positif, bahkan ada yang memujinya secara berlebihan. Para tamatan Sekolah Tinggi Teologi (yang atas inisiatif Kraemer didirikan di Bogor pada 1934, kemudian pindah ke Jakarta pada 1936) berupaya memperkenalkan terjemahan tersebut di Gereja-gereja mereka. Kraemer telah memberi Bode kesempatan memberikan kuliah mengenai istilah-istilah Alkitab. Ternyata langkah Kraemer merupakan sesuatu yang sangat bijak. Para calon pemipin jemaat berkenalan dengan kesungguhan Bode dalam ilmu pengetahuan dan belajar menghargai pendekatannya dalam hal penerjemahan naskah Alkitab, sedang dia sendiri sempat menjealaskan. 

Akhir Perjalanan Bode

Selama bulan-bulan pertama Perang Dunia II, komisi masih dapat meneruskan pekerjaan penerjemahannya. Konsep terjemahan Kitab Keluaran, Imamat, dan Bilangan pun dikerjakan. Tetapi pada 10 Mei 1940 (saat pasukan Jerman memasuki wilayah Belanda di Eropa) terjadi perubahan besar. Semua laki-laki berkebangsaan Jerman yang ada di wilayah  Hindia Belanda ditangkap. Bode ditahan bersama para tahanan lain di Jawa Barat di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, yang terletak di Teluk Jakarta. Pekerjaan Komisi pun terhenti. Bulan Juli 1940, para tahanan dipindahkan ke kamp pusat yang baru saja dibangun di Lawe Sigala-gala di Lembah Alas, dekat Kutacane, Aceh Selatan. Keadaan di sana relatif lebih baik. Ada kesempatan untuk menikmati  hiburan dan melakukan studi, dan kadang-kadang buku-buku dapat didatangkan dari luar kamp. Dalam keadaan terpencil itu, Bode bekerja keras sampai berhasil menyusun konsep terjemahan Kitab Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Amsal. 

Pada akhir Desember 1941,  Jepang bergerak cepat di Semenanjung Melayu sehingga kamp Lawe Sigala-gala menjadi sangat dekat dengan medan perang. Maka semua penghuni kamp terpaksa harus dievakuasi. Orang-orang Jerman diangkut ke Sibolga dan dari sana hendak dibawa dengan kapal menuju India. Bode termasuk kelompok ketiga  dan terakhir yang terdiri atas 500 orang Jerman yang dianggap tidak berbahaya. Pada 18 Januari 1942, saat senja, mereka berangkat dengan kapal “Van Imhoff”. Para tahanan terbaring dalam ruang palka yang dikurung dengan kawat berduri. 

Keesokan harinya, sekitar tengah hari, di sebelah tenggara Pulau Nias kapal diserang oleh sebuah pesawat Jepang. Satu bom mengenai kapal. Kapten menganggap kerusakan kapal terlalu berat. Menjelang jam dua siang awak kapal dan pasukan penjaga (seluruhnya 110 orang) diperintahkan naik ke sekoci-sekoci penolong. Sebelum berangkat mereka memberi kesempatan kepada para tahanan Jerman untuk keluar dari ruangan. Tetapi, di kapal tinggal beberapa sekoci dan rakit penolong saja. Hanya 70 orang Jerman yang dapat meninggalkan kapal. Sesudah dua hari mereka mencapai daratan Nias dengan selamat. Bode tidak termasuk di antara kelompok 70 orang tersebut. Ia adalah salah satu dari sekitar 400 orang yang tewas ketika kapal tenggelam ditelan ombak, menjelang malam 19 Januari 1942. 

Selama bulan-bulan pertama Perang Dunia II, komisi masih dapat meneruskan pekerjaan penerjemahannya. Konsep terjemahan Kitab Keluaran, Imamat, dan Bilangan pun dikerjakan. Tetapi pada 10 Mei 1940 (saat pasukan Jerman memasuki wilayah Belanda di Eropa) terjadi perubahan besar. Semua laki-laki berkebangsaan Jerman yang ada di wilayah  Hindia Belanda ditangkap. Bode ditahan bersama para tahanan lain di Jawa Barat di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, yang terletak di Teluk Jakarta. Pekerjaan Komisi pun terhenti. Bulan Juli 1940, para tahanan dipindahkan ke kamp pusat yang baru saja dibangun di Lawe Sigala-gala di Lembah Alas, dekat Kutacane, Aceh Selatan. Keadaan di sana relatif lebih baik. Ada kesempatan untuk menikmati  hiburan dan melakukan studi, dan kadang-kadang buku-buku dapat didatangkan dari luar kamp. Dalam keadaan terpencil itu, Bode bekerja keras sampai berhasil menyusun konsep terjemahan Kitab Yosua, Hakim-hakim, Rut dan Amsal. 

Pada akhir Desember 1941,  Jepang bergerak cepat di Semenanjung Melayu sehingga kamp Lawe Sigala-gala menjadi sangat dekat dengan medan perang. Maka semua penghuni kamp terpaksa harus dievakuasi. Orang-orang Jerman diangkut ke Sibolga dan dari sana hendak dibawa dengan kapal menuju India. Bode termasuk kelompok ketiga  dan terakhir yang terdiri atas 500 orang Jerman yang dianggap tidak berbahaya. Pada 18 Januari 1942, saat senja, mereka berangkat dengan kapal “Van Imhoff”. Para tahanan terbaring dalam ruang palka yang dikurung dengan kawat berduri. 

Keesokan harinya, sekitar tengah hari, di sebelah tenggara Pulau Nias kapal diserang oleh sebuah pesawat Jepang. Satu bom mengenai kapal. Kapten menganggap kerusakan kapal terlalu berat. Menjelang jam dua siang awak kapal dan pasukan penjaga (seluruhnya 110 orang) diperintahkan naik ke sekoci-sekoci penolong. Sebelum berangkat mereka memberi kesempatan kepada para tahanan Jerman untuk keluar dari ruangan. Tetapi, di kapal tinggal beberapa sekoci dan rakit penolong saja. Hanya 70 orang Jerman yang dapat meninggalkan kapal. Sesudah dua hari mereka mencapai daratan Nias dengan selamat. Bode tidak termasuk di antara kelompok 70 orang tersebut. Ia adalah salah satu dari sekitar 400 orang yang tewas ketika kapal tenggelam ditelan ombak,  menjelang malam 19 Januari 1942. 

Sampai akhir hayat, Bode belum sempat menyelesaikan naskah Perjanjian Lamanya. Namun, Perjanjian Baru hasil terjemahan timnya, mendapat banyak pujian dan diterima di banyak gereja dan sekolah teologia. Di masa-masa awal Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) berkarya, ketika belum tersedia terjemahan terjemahan resmi dalam Bahasa Indonesia, LAI menerbitkan edisi terjemahan darurat, yang bersumber dari dua terjemahan terbaik pada masa itu, yaitu Perjanjian Lama terjemahan Klinkert dan Perjanjian Baru karya Bode. Terjemahan tersebut kini kita kenal dengan Alkitab Terjemahan Lama. Lebih dari dua puluh tahun Alkitab Terjemahan Lama dipergunakan gereja-gereja dan umat Tuhan di Indonesia dalam ibadah dan persekutuannya. Juga dalam lapangan penginjilan. Dalam hal ini kekristenan Indonesia berhutang besar kepada Werner August Bode dan timnya. Yang telah mengorbankan tenaga, waktu, pikiran, dan bahkan nyawanya agar tersedia sebuah terjemahan dalam Bahasa Nusantara yang bisa dipakai oleh semua, dari barat sampai timur Indonesia.