Fajar Terbitnya Terjemahan Baru (2)

Fajar Terbitnya Terjemahan Baru (2)

Di bawah Koordinasi Langsung Orang Indonesia

 

Saat pimpinan Tim Penerjemahan Alkitab Terjemahan Baru, J.L. Swellengrebel pulang ke Negeri Belanda, Badan Pengurus LAI meminta Grinjs menggantikannya sebagai pimpinan. Akan tetapi, Grinjns menolak dengan tegas. Menurut pendapatnya, tidak patut seorang yang bukan Indonesia memimpin proyek tersebut. Apalagi dari semua anggota tim yang terlibat Grinjs merasa paling muda. Syukurlah Lembaga Alkitab Belanda (NBG) dapat menerima pendapat Grinjs tersebut. Dengan demikian gugurlah prasangka  yang tertanam dalam hati sejumlah orang di Indonesia, seakan NBG tidak mau mendukung lagi proyeknya bila pemimpinnya bukan orang Indonesia. 

Grinjs mengemukakan pula saran lain, yaitu agar BP LAI, dengan persetujuan gereja-gereja di Indonesia, mengangkat “Komisi Penerjemahan” yang resmi yang diketuai oleh seorang tokoh Gereja yang juga ahli teologi. Adanya komisi tersebut diharapkan menjamin lestari berjalannya proyek terjemahan. Menurut Grijns tersedia seorang calon yang cakap, yaitu Pdt. Johannes Ludwig Chystostomus Abineno. Beliau doktor teologi lulusan Utrecht. Sejak 1956, beliau menjadi Ketua Sinode Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Sebelumnya ia juga mengikuti kursus menengah bahasa Indonesia, sama seperti Naipospos. Jadi sekiranya Abineno bersedia bergabung, diharapkan membawa hasil terjemahan yang berkualitas, baik dari sudut mutu tafsiran naskah bahasa asli maupun bentuk bahasa Indonesianya. 

Badan Pengurus LAI menyetujui usulan Grijns dan mengadakan pembicaraan khusus mengenai hal ini. Bulan Juni 1959, Grinjs sendiri mengadakan percakapan panjang dengan Abineno, yang memberi respon positif mengenai pekerjaan ini. Sepuluh bulan kemudian, Grinjs mengadakan perjalanan ke Timor untuk berdiskusi lebih lanjut dengan Abineno. Mereka merundingkan secara panjang lebar rencana kerja dan metode penerjemahan, serta membicarakan pula sekitar seratus masalah mengenai teks, eksegesis, dan terjemahan Perjanjian Baru.

Grijns dan Abineneno membahas beberapa segi penerjemahan yang dirasa penting untuk dijadikan landasan bersama ke depannya. Misalnya, apa yang perlu dilakukan jika arti terjemahan teks Nestle (rujukan bahasa Yunani-red) berbeda dari teks Bode, yang sudah lazim di kalangan jemaat? Terjemahan Bode pada dasarnya mengikuti teks Nestle tetapi sering menyimpang darinya karena menyesuaikan diri dengan terjemahan lama yang dikenal jemaat. 

Dalam menafsirkan naskah-naskah yang sulit, menurut Swellengrebel dan Grijns sedapat mungkin menyesuaikan dengan Terjemahan Baru bahasa Belanda. Di kemudian hari, atas usul Christoph Barth dan Naispospos, aturan tersebut diperlunak sedikit: “Terjemahan Baru bahasa Belanda akan digunakan sebagai pedoman sementara penafsiran, dengan catatan tim penerjemah berhak mengikuti terjemahan yang lain yang diterima dalam gereja, jika mereka berpendapat perlu menyimpang dari pedoman tersebut berdasarkan naskah teks sumber bahasa Ibrani dan Yunani.” Akan tetapi, pilihan yang menyimpang itu harus dibicarakan dan disepakati dalam rapat Komisi Penerjemahan. 

Dalam pembicaraan di Timor, Grinjs gembira karena ternyata Abineno dapat menerima pendekatan tersebut dan di samping itu ia menganggap penting proyek penerjemahan yang mengakar di tengah jemaat. Grijns semakin yakin bahwa Abineno sosok yang tepat untuk duduk sebagai ketua Komisi Penerjemahan.

Demikianlah Dituntut oleh Bahasa Ibrani!

Sekitar tahun 1960, tata kerja Komisi Pembaca mengalami perubahan yang membuahkan hasil bagus. Komisi berkomitmen untuk lebih sering bertemu. Namun, pertemuan tidak lagi harus dihadiri oleh para penerjemah, yang langsung menganggapi semua pertanyaan dan catatan. Jadi nantinya, penerjemah hanya menerima dan menanggapi pertanyaan berdasarkan notula pertemuan yang dikirim kepada mereka. Hanya sekali dalam satu atau dua bulan diadakan pertemuan bersama. Dalam rapat bersama itu dibahas catatan Komisi Pembaca yang perlu dirundingkan lebih lanjut. Siboroetorop tampil sebagai sekretaris dan menjadi penghubung antara Komisi Pembaca dan Komisi Penerjemah. Ternyata metode ini membawa hasil yang memuaskan. 

Para penerjemah yang selama ini waktunya  cukup tersita oleh rapat demi rapat mulai mendapatkan sedikit kelegaan dan bisa lebih fokus pada pekerjaannya menerjemahkan teks Kitab Suci. Demikian pula kerja Komisi Pembaca dapat lebih cepat, dan tidak diganggu lagi oleh pengaruh langsung para penerjemah, yang kadang tidak disengaja cenderung membungkam orang yang berkeberatan terhadap bentuk atau gaya bahasa konsep terjemahan. Para penerjemah sering menjawab,”Demikianlah dituntut oleh bahasa Ibrani!”

Setelah perjalanan panjangnya ke Timor, Grijns mengambil cuti ke Negeri Belanda, sekaligus dalam rangka melanjutkan studi doktoralnya. Sedianya ia akan tinggal di sana selama enam bulan, tetapi pada bulan November 1960 ia bersama keluarganya sudah kembali lagi ke Indonesia. BP LAI telah memanggilnya kembali, berkaitan dengan pemutusan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda pada 17 Agustus 1960. Tak lama setelah kepulangan Grijns, BP LAI mengadakan perundingan dengan Pengurus STT Jakarta (yang mengangkat Abineno sebagai guru besar ilmu teologi praktika) dan dengan DGI (yang sejak pertengahan 1960 diketuai oleh Abineno). Perundingan membawa hasil yang diharapkan. Sejak Oktober 1961, Abineno menjadi pemimpin proyek penerjemahan tersebut. 

Sementara itu, Komisi Penerjemah diperkuat dua orang anggota lain yang akan ikut bekerja hingga terjemahan Alkitab nantinya selesai. Yang pertama, Dr. R. Soedarmo, doktor teologi dari Vrije Universiteit. Di samping anggota Komisi Penerjemahan, sejak 1958 beliau menjabat guru besar ilmu dogmatika di STT Jakarta, dan pada tahun 1964-1966 ia menjadi rektor di sekolah ini. Satu lagi anggota baru adalah Olbers Elhardus Christiaan Wuwungan, lulusan STT Jakarta 1961. Selain menjadi penerjemah, ia menjabat pendeta di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) di Jakarta, kemudian di Bogor. 

Permulaan kegiatan Komisi Penerjemah yang baru ini tidak mudah. Abineneo waktu itu dalam pemulihan dari suatu penyakit serius. Sementara Grijns selama lima bulan kakinya pincang, karena seorang perampok menembak kakinya. Selama beberapa minggu, di antara anggota Komisi Tinggi hanya Soedarmo yang benar-benar sehat. Anggota seksi ialah: Naipospos, Wuwungan (keduanya purnawaktu) dan Barth (paruh waktu) untuk Perjanjian Lama, Siboroetorop (sejak 1963 paruh waktu) untuk Perjanjian Baru. Pada tahun 1962-1963, Ny. Drs. G.A.R. Rikin-Bijleveld memberikan bantuan berharga di bidang eksegesis. 

Patut disayangkan bahwa di tengah kesibukan ini terjadi kontroversi hebat mengenai metode penerjemahan antara Barth dan Naipospos di satu pihak dan anggota Komisi Penerjemahan yang lain serta Badan Pengurus (BP) LAI di pihak lain. Sejak semula Barh dan Naipospos tidak ikhlas menerima peraturan-peraturan sebelumnya yang dikeluarkan oleh BP LAI, dan tidak merasa terikat dengannya. Ketika akhirnya diberlakukan peraturan definitif penerjemahan Alkitab mereka tetap merasa keberatan. Mereka menolak peraturan yang menyebut kewenangan mengambil keputusan terakhir mengenai naskah terjemahan adalah Badan Pengurus sendiri. Keduanya menghendaki kebebasan yang lebih besar, khususnya berkaitan dengan eksegese teks dan tafsiran naskah bahasa asli. Karena perbedaan metode dan cara tafsir, mereka mulai tidak berunding dengan anggota-anggota tim yang lain mengenai bentuk dan gaya bahasa yang dipakai dalam terjemahan mereka. 

Kontroversi ini memicu diskusi panjang yang menghabiskan banyak waktu, tetapi tidak berhasil diselesaikan. Akibatnya, masalah-masalah sampingan, kebanyakan tidak bersifat prinsip, mendapat perhatian lebih besar daripada yang seharusnya dibahas. Akhirnya, pada November 1963, BP LAI sampai pada kesimpulan, situasi akan bertambah buruk jika kedua “pembangkang” itu tetap menjadi anggota Komisi Penerjemahan. Pengurus mengambil keputusan memberhentikan Naipospos dan mempersilakan Barth menarik diri dari Komisi Penerjemahan. Keduanya mengajukan protes, tetapi kehendak pengurus tetap dilaksanakan. Keluarnya dua orang ahli ini, meski tidak dapat dihindari, disadari melemahkan kondisi Komisi Penerjemahan. Barth kembali ke STT Jakarta sebagai pengajar dan Naipospos kemudian diterima bekerja di Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia, sehingga keahliannya di bidang penerjemahan tetap dapat dimanfaatkan untuk menyediakan bacaan Kristen dalam bahasa Indonesia. 

Era 1964-1968, Kerja Tim  Semakin Mantap

Tahun 1964 Komisi Penerjemahan diperkuat oleh datangnya tiga anggota baru, Pdt. M.H. Simanungkalit, seorang tamatan STT di Yogyakarta. Ia diikutsertakan dalam penerjemahan Perjanjian Lama. Hadir juga memperkuat tim Dr. Liem Khiem Yang, dari Gereja Isa Almasih yang merupakan pakar Perjanjian Baru. Tetapi Liem Khiem Yang hanya bertahan setahun di LAI, karena berselisih pendapat dengan BP LAI yang tidak setuju kalau ia menerima pekerjaan lain di luar penerjemahan Alkitab. Ia pindah ke STT Jakarta dan nantinya menjadi guru besar Perjanjian Besar di sana. 

Pada akhir 1964, bergabunglah Dr. Arie de Kuiper, yang sebelumnya dosen di Sekolah Teologi Bale Wiyata di Malang. Arie de Kuiper diangkat menjadi dosen Perjanjian Lama dan Misiologi di STT Jakarta, tetapi berjanji mencurahkan sebagian besar waktunya pada tugas menerjemahkan Perjanjian Lama. 

Komisi kemudian bekerja dengan tekun seturut peraturan yang telah ditetapkan Badan Pengurus LAI. Metode penerjemahan yang telah dirintis oleh Grijns dan Swellengrebel dan juga telah dibicarakan bersama dengan Abineno dapat bekerja dengan baik. Berkaitan dengan pokok-pokok eksegesis dan bahasa yang penting tidak timbul kesulitan yang tidak teratasi. Di kemudian hari Abineno menyatakan, bahwa ia “tidak pernah  perlu menggunakan wewenangnya sebagai ketua untuk mengambil keputusan terakhir dalam kasus-kasus yang sulit”.

Kerap kali, pokok penting yang menyangkut beberapa kitab atau seluruh Alkitab dikerjakan sendiri oleh satu orang penerjemah, kemudian dibahas oleh Komisi Penerjemah secara keseluruhan. Misalnya, Simanungkalit, berusaha menentukan seteliti mungkin binatang-binatang, pohon-pohon, tanaman, dan bunga-bunga yang terdapat dalam Alkitab dan mencari padannya dalam bahasa Indonesia. Untunglah ia mendapat bantuan berharga dari Nyonya P. Sahertian-Bakhoven, kepala Bibliotheca Bogoriensis. Jika ada binatang yang tidak terdapat di Indonesia, tak jarang berhasil ditemukan binatang sejenis, yang namanya dapat dipergunakan.

Setelah konsep terjemahan disetujui oleh Komisi Penerjemah, maka sama seperti dahulu, konsep itu dikaji oleh Komisi Pembaca, yang sudah beberapa waktu terbagi atas seksi Perjanjian Lama dan Seksi Perjanjian Baru. Memang, tidak ada lagi niat menghasilkan terjemahan kilat. Meski demikian, baik BP LAI, NBG maupun kemudian UBS, yang terlibat dalam pendanaan, menghendaki supaya terjemahan selesai paling lambat 1968. Para penerjemah dengan senang hati berusaha keras mengejar waktu, meskipun kadang ada halangan-halangan tertentu. Misal ada anggota penerjemah yang sakit atau harus melakukan beberapa pekerjaan lain yang tidak dapat ditolak. Misalnya, Wuwungan, beberapa bulan lamanya harus mengisi jabatan pendeta di GPIB Bogor, Abineno sibuk sebagai ketua DGI, De Kuiper harus bertindak sebagai wakil instansi zending luar negeri di Jakarta menggantikan Pdt. J. Bos yang sedang cuti. 

Keadaan sosial politik juga tak jarang mengganggu pekerjaan tim penerjemah. Pada tahun 1963, hubungan diplomatik Belanda dan Indonesia dipulihkan sehingga situasi para pekerja Belanda membaik.  Akan tetapi, selama tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Soekarno, keadaan politik merusak suasana kerja. Sastra nasional pun dirugikan olehnya. Tentang keadaan tersebut Grijns menulis: “…khususnya perkembangan sastra mengalami pengaruh negatif iklim politik, ekonomi dan budaya. Hampir tidak muncul lagi produk-produk sastra yang bernilai. Mutu bahasa surat-surat kabar dan majalah-majalah mengalami kemunduran. Larangan-larangan dan slogan-slogan mematikan kreativitas para penulis. Publikasi karya-karya baru dan cetak ulang buku-buku lain dipersulit oleh kelangkaan kertas dan tingginya harga.” 

Selepas peristiwa 30 September, dan kemudian orde pemerintahan berganti, suasana mulai berubah. Berkat perubahan politik ini “kehidupan sastra mendapat dorongan hidup baru. Puisi-puisi baru mendapatkan  tempat dalam beberapa majalah. Di antaranya ada yang dipimpin oleh redaktur yang selama masa pemerintahan totaliter tetap bersikap independen….Di bidang prodsa juga diharapkan ada perkembangan baru,“demikian Grijns menyatakan lebih lanjut. 

Bagaimanakah perkembangan penerjemahan selanjutnya? Tim penerjemah menjelaskannya melalui sebuah buku kecil yang berjudul, “Sedikit Tentang Terdjemahan Baru Alkitab dalam Bahasa Indonesia”. Dalam buku  yang terbit pada 1967 itu tim penerjemah membagi penerjemahan seluruh Alkitab dalam 3 tahap, yaitu: 

Tahap     I    : Kejadian – Ester

Tahap     II    : Ayub- Maleakhi

Tahap III    : Perjanjian Baru

Setelah bekerja selama 15 tahun (mulai dari 1952), tahap I sudah siap sedia untuk untuk dicetak. Dari tahap I tersebut, sudah pernah dicetak 7 buku, yaitu: Kedjadian, Keluaran, Ulangan, Jusak, Hakim-hakim, Rut dan Ester. Tetapi naskah yang sudah pernah dicetak ini pun sudah direvisi sekali lagi. Belakangan ini berhasil ditambah lagi dua buku yang dicetak, yaitu: Semangat Membangun I dan II (Ezra dan Nehemia).

Dari Perjanjian Baru, sudah pernah dicetak Surat dari Penjara (Filipi) sebagai ujicoba, yang menjadi buah sulung percetakan LAI di Ciluar, Bogor. 

Menyusul selanjutnya Kitab-kitab yang masuk dalam proses pencetakan adalah: Samuel, Efesus, Galatia. Sekiranya Tuhan menghendaki Ttim berharap, Perjanjian Lama selesai pada 1968, dan keempat Injil selesai diterjemahkan pada akhir 1967. Jika naskah tersebut selesai, maka telah tiba waktunya bagi BP LAI untuk mengundang gereja-gereja dan perguruan-perguruan tinggi teologi di Indonesia dalam rangka menerima masukan berkaitan konsep naskah terjemahan. Karena pada akhirnya hasil terjemahan tim akan menjadi Alkitab gereja, Alkitabnya umat Kristen di Indonesia. 

(bersambung)