Firman Berdimensi Rangkap:   Alkitab Sebagai Tulisan Manusiawi/Ilahi

Firman Berdimensi Rangkap:  Alkitab Sebagai Tulisan Manusiawi/Ilahi

 

Pernahkah kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang mempersoalkan hakikat Alkitab? Ada yang bertanya, misalnya, surat-surat Paulus sebenarnya ‘kan tulisan manusia biasa yang dialamatkan kepada jemaat-jemaat, mengapa kita mengakuinya sebagai “firman Tuhan”? Begitu pula, dalam beberapa kitab sejarah, kerap ditemukan kisah tentang raja-raja Israel yang naik takhta dan turun takhta, lalu meninggal dan dimakamkan. Lho, catatan sejarah seperti ini koq diperlakukan sebagai firman Tuhan? Surat-surat, silsilah-silsilah, doa-doa berbagai aturan kurban, dll., memang tampak seperti gejala manusiawi semata-mata, sehingga wajar-wajar saja muncul pertanyaan mengenai kedudukannya sebagai firman Tuhan. Kalau begitu, apa dasarnya bagi umat Yahudi dan Kristen untuk menerimanya sebagai firman Tuhan? 

Kita mulai “wisata rohani” ini dengan sebuah catatan kecil. Seperti yang ditegaskan Prof. Jacob van Bruggen yang mengajar di Universitas Teologi Kampen, Belanda, “Kekristenan bukanlah agama kitab”!  Kekristenan mempunyai dan mengakui kitab-kitab, tetapi di balik kitab-kitab ini, yang diimani sesungguhnya adalah Satu Pribadi, yang berkomunikasi dengan manusia untuk mengungkapkan rencana agung mengenai keselamatan umat manusia kini dan nanti: “Kita tidak mulai berada di dunia ini dengan dokumen-dokumen mengenai Allah. Di Taman Firdaus, di senja yang sejuk, Dia mengunjungi kita secara pribadi untuk berbicara dengan kita. Pena dan kertas tak diperlukan; karena ada kontak langsung, mata beradu mata” (Kej 2.16; 3.8-9). Dengan kata lain, sebelum dikenal tulisan, sudah ada “firman Tuhan” yang menyapa manusia. Ketika Abram dipanggil untuk meninggalkan negerinya (Kej 12.1-3), peristiwa itu belum dituliskan tetapi diceritakan berulang kali dari generasi ke generasi. Boleh dikatakan, babak baru yang menuliskan firman Tuhan yang disampaikan secara lisan dimulai dari Musa, tokoh di balik kelima kitab Taurat. Dari mana Musa mengetahui Allah menciptakan dunia dan seisinya serta memberi berbagai petunjuk kepada umat-Nya? 

Pertanyaan demikian lagi-lagi mengajak kita untuk mengakui hakikat Alkitab sebagai firman Tuhan dan tulisan manusia. Berbeda dengan keyakinan tertentu yang mengimani firman Tuhan turun langsung dari surga, dalam keyakinan umat Israel dan umat Kristen yang berakar pada keyakinan umat Israel, Allah tidak berbicara dalam ruang hampa (vacum). Ketika Ia menciptakan dunia, pada saat yang sama, Ia memulai “sejarah”, ya sejarah hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya, khususnya manusia. Alkitab memperlihatkan keyakinan dasar yang amat penting untuk memahami Alkitab: Allah Pencipta memperkenalkan diri-Nya, hadir dalam sejarah umat-Nya dan terus-menerus berkomunikasi dengan umat-Nya melalui berbagai cara (Ibr  1.1). 

Ada kalanya pesan-Nya disampaikan langsung kepada orang-orang tertentu, terutama para nabi. Ada kalanya melalui mimpi. Namun, juga melalui gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang mengandung pesan ilahi menyangkut rencana-Nya bagi dunia dan umat-Nya. Umat Yahudi dan Kristen tidak membatasi firman Allah hanya pada kata-kata yang dimulai dengan rumusan yang khas: “Demikianlah firman Tuhan”. Itu sebabnya, daftar panjang silsilah dalam 1 Tawarikh atau silsilah Yesus Kristus dalam Matius 1 dan Lukas 3 diyakini sebagai firman Tuhan sama seperti bagian lain dari Alkitab kita. Allah menyampaikan “pesan-Nya” melalui daftar yang terkesan “kering dan asing” ini, antara lain, bahwa perjanjian-Nya diteruskan dan diwujudkan melalui generasi-generasi tak putus-putusnya. Bahkan, Allah menitipkan “pesan umum” bagi umat manusia melalui ciptaan-Nya. “Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya,” demikian diungkapkan dalam Mazmur 19. Menariknya, dalam mazmur yang sama, pesan umum ini kemudian disandingkan dengan “Taurat TUHAN  yang sempurna” (ay 8-9). Pesan umum ini hanya memberi gambaran kasar mengenai Tuhan yang menciptakan segala-segalanya, tetapi masih perlu dibuat lebih spesifik untuk memberi pengenalan akan Tuhan yang mengungkapkan isi hati-Nya dan rencana keselamatan-Nya bagi umat pilihan-Nya!

Umat Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Baru sama-sama mengakui, seluruh tulisan yang terhimpun dalam proses yang melintasi zaman selama ribuan tahun merupakan karya agung yang diinspirasi oleh Roh-Nya (2Ptr 1.20-21).  Ada banyak yang berbicara dan mengklaim telah mendapat pesan dari Tuhan, tetapi berulang kali juga terbukti hanya menyampaikan pesan yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi. Konflik antara Nabi Yeremia dan “Nabi” Hananya adalah sebuah contoh nyata (Yer 28). Dalam sejarah perjalanan gereja, pertarungan antara pembawa pesan Tuhan yang  sejati dan pembawa pesan palsu ini tetap menjadi tantangan di sepanjang perjalanan sejarah umat Tuhan hingga kini. Patut digarisbawahi, Alkitab memang merupakan suatu seleksi dalam proses panjang yang melibatkan pertarungan antara pesan-pesan yang sepenuhnya manusiawi dan pesan-pesan yang benar-benar mengusung wibawa ilahi meskipun disampaikan secara manusiawi. Karena itu, kita tidak perlu heran, ada banyak tulisan yang pernah diklaim oleh kalangan tertentu sebagai firman Tuhan tetapi dalam proses seleksi yang panjang akhirnya gagal mendapat pengakuan sebagai firman Tuhan. Sebut saja, Injil Yudas, Injil Petrus, Injil Masa Kanak-kanak Yesus yang sempat dipopulerkan media massa beberapa waktu lalu.

Kata kuncinya adalah istilah theopneustos (‘diembusi napas ilahi’, yakni diilhamkan) seperti yang disebutkan dalam surat 2 Timotius 3. Pertama-tama, kepada Timotius, Paulus menegaskan bahwa sejak kecil Timotius sudah mengenal Kitab Suci  yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus (ay 15). Kitab Suci ini kemudian disejajarkan dengan “segala tulisan yang diilhamkan Allah” dan bermanfaat untuk “mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (ay 16). Proses pengakuan akan pengilhaman ini  tidak serba instan melalui sidang-sidang atau konsili-konsili.  Inilah salah satu aspek yang sangat kompleks tetapi sangat mendasar dalam pengakuan akan status sakral tulisan-tulisan yang dihasilkan secara manusiawi. Ada keyakinan, dengan tuntunan Roh, umat Tuhan dalam lintasan zaman secara bertahap mengakui wibawa tulisan-tulisan tertentu setelah melewati proses pengujian yang sangat panjang. Tidak cukup bila seorang nabi atau utusan Tuhan mengklaim dirinya sebagai penyambung lidah Tuhan.

Dalam hal ini, Alkitab sangat khas dan unik karakternya. Setiap tulisan yang dihasilkan baik oleh penulisnya ataupun dituliskan oleh pengikut dan juru tulis yang mencatat pesan lisan yang diwartakan oleh para utusan Tuhan selalu menempuh proses pengujian terlebih dahulu. Indikasi akan pengakuan wibawa ilahi, kita temukan dalam tulisan-tulisan Alkitab sendiri yang mengacu kepada nubuat atau pesan yang pernah disampaikan sebelumnya. Dalam kitab Daniel, misalnya, kita membaca acuan kepada firman Tuhan yang disampaikan oleh Nabi Yeremia tentang jumlah tahun yang berlaku atas timbunan puing Yerusalem (Dan 9.2). Tentu saja, berbagai kutipan dalam Perjanjian Baru menunjukkan pengakuan akan otoritas kitab-kitab Perjanjian Lama sebagai firman Tuhan. Sebagai contoh praktis, perintah untuk tidak memberangus mulut lembu yang sedang mengirik dikutip dalam 1 Korintus 9.9. Kutipan dari Ulangan 25.4 ini jelaslah telah diakui otoritasnya sebagai firman Tuhan. Menariknya, dalam 1 Timotius 5.18, kutipan yang sama disejajarkan lagi dengan pernyataan “seorang pekerja patut mendapat upahnya”. Ternyata, kutipan ini adalah ajaran Yesus Kristus sendiri seperti yang dicatat dalam Matius 10.10 dan Lukas 10.7. Artinya, dalam masa penulisan surat Timotius, perkataan Yesus yang diingat dan kemudian dicatat oleh kedua penulis Injil mempunyai otoritas sebagai firman yang setara dengan Perjanjian Lama! Gejala yang serupa pun teramati menyangkut tulisan Paulus. 

Walaupun tidak secara eksplisit dikutip, dalam surat 2 Petrus disebutkan bahwa tulisan Paulus telah disalahtafsirkan oleh sebagian orang seperti yang mereka lakukan terhadap “tulisan-tulisan lain” (3.15-16). Istilah Yunani untuk “tulisan-tulisan” dalam nats ini adalah graphê (jamak, grapha) kata yang sering digunakan untuk menyebut Kitab Suci, misalnya, dalam Matius 21.42: “Belum pernahkah kamu baca dalam Kitab Suci?” (bnd. 1Tim 5.18; 2 Tim 3.16 yang sudah dikutip sebelumnya; juga Luk. 24.27; Yoh 5.39; Kis 17.2; Yak 2.8; 2Ptr 1.20). 

Dimensi rangkap Alkitab mengajak kita untuk menerima kebenaran ilah sembari mengakui keterbatasan wahana manusia untuk menyampaikannya. Ketika Roh mengilhami proses penulisan Alkitab, para penulisnya tidak “dirasuki” sehingga hanya menjadi “mesin pencatat” yang yang tidak mencerminkan kekhasan pribadinya. Keragaman isi dan gaya penulisan dalam berbagai kitab memperlihatkan ciri manusiawi ini. Penulis surat Ibrani, misalnya, menunjukkan kepiawaiannya menulis dalam bahasa Yunani yang tinggi menggunakan struktur kalimat yang kompleks, sementara penulis Injil Markus menulis dengan bahasa Yunani yang jauh lebih sederhana. Kalimat demi kalimat sering dihubungkan hanya dengan kai (‘dan’). Peran Roh sebagai sumber yang mendorong proses penulisan jelaslah tidak mereduksi kemanusiaan para penulis-Nya. 

Mengingat peran Roh yang menuntun dengan tetap menghormati kebebasan para penulis, tidak mengherankan bila ada kalanya teks yang dikutip agak berbeda dengan sumbernya.  Contoh nyatanya adalah kutipan dari Yesaya 61.1-2 dalam gulungan kitab yang dibaca Yesus di sinagoga di Nazaret (Luk 4.18-19). Inti pesan yang hendak disampaikan masih sama, tetapi kata-katanya berubah. Begitu pula, rincian tertentu tidak harus persis sama dengan apa yang kita ketahui dari bagian lain Alkitab. Dalam permulaan Injil Markus, penulis mengutip nats yang disebutkan berasal dari kitab Yesaya, padahal bagian pertama kutipan itu (“Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan bagi-Mu”) sebenarnya berasal dari Maleakhi 3.1. 

Kita membaca fenomena yang serupa, walau tak sama, dalam penulisan yang dilakukan Barukh bin Neria. Ketika nubuat Yeremia dibacakan oleh Barukh di hadapan Raja Yoyakim, raja menolak isinya yang menubuatkan kehancuran Yerusalem, lalu membakar bagian demi bagian yang dibacakan (Yer 36.20-32). Yeremia kemudian diperintahkan Tuhan untuk mengambil gulungan lain dan menuliskan di dalamnya “segala perkataan yang semula ada di dalam gulungan yang pertama yang dibakar oleh Yoyakim, raja Yehuda” (ay 28). Menariknya, dalam penulisan ulang ini disebutkan, isinya masih ditambahi lagi dengan perkataan lain (ay 32). 

Demikianlah dimensi rangkap Alkitab tak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua-duanya harus dipertahankan sama seperti hakikat Yesus Kristus yang adalah Allah dan sekaligus manusia. Meminjam ungkapan John Stott yang singkat-padat: 

“On the one hand God spoke, determining what he wanted to say, yet without smothering the personality of the human authors. On the other hand, human beings spoke, using their faculties freely, yet without distorting the truth which God was speaking through them.” 

Alkitab adalah firman Allah dalam dimensi rangkap yang harus dihormati dan diakui bersama-sama. Di satu sisi, Allah berbicara menyampaikan kehendak-Nya tanpa menekan kepribadian para penulis; di sisi lain, para penulis berbicara sesuai dengan kemampuan masing-masing secara bebas tanpa mendistorsi kebenaran yang hendak disampaikan Allah dengan perantaraan mereka. 

Pengakuan akan dimensi rangkap ini mempunyai implikasi yang nyata dalam kehidupan kita umat percaya: 

  1. Kita membaca Alkitab dan mengimaninya sebagai firman Tuhan dengan memohon pencerahan Roh Kudus agar semakin tajam mendengar pesan-Nya yang menyapa dan memperbarui hidup kita (bnd. 2Tim 3.16).   
  2. Kita mempelajari Alkitab seperti buku lainnya yang ditulis manusia biasa dengan memanfaatkan akal budi dan menimba wawasan dari berbagai disiplin ilmu yang meneliti bahasa, naskah, sejarah, budaya dan berbagai dimensi manusiawinya.
  3. Dengan memahami kekayaan latar belakang dan pesannya dalam konteks “dulu dan di sana”, pesan ilahi bagi setiap generasi “kini dan di sini” dapat digali dengan penuh tanggung jawab dan tidak ditafsirkan “menurut kehendak sendiri” (2Ptr 1.20).

 

Oleh: Pdt. Anwar Tjen, Ph.D
Kepala Departemen Penerjemahan LAI