Gembala Yang Digerakkan Belas Kasihan

Gembala Yang Digerakkan Belas Kasihan

Mgr. Vitus Rubianto Solichin, S.X.: Gembala Yang Digerakkan Belas Kasihan

Mgr. Vitus Rubianto Solichin, S.X. lahir di Semarang, Jawa Tengah 15 November 1968, buah cinta dari pasangan Michael Mustomo Solichin (alm.)  dan Lidwina Dwiyani. Menjadi imam bukanlah sebuah cita-cita, namun sedari kecil dirinya sudah tertarik pada figur para bruder/misionaris Katolik. 

“Ada seorang Bruder, orang Belanda, yang mengasuh ayah saya sewaktu masih sekolah. Bruder tersebut begitu dekat dengan keluarga kami. Saya juga dibantu untuk masuk SMP di Semarang, hingga papa saya meninggal dan keluarga kami akhirnya pindah ke Muntilan, kemudian tinggal bersama kakek dan nenek saya,”kenangnya.”Saya menyelesaikan studi SMP di Muntilan. Iman saya bertumbuh di tempat ini, karena Muntilan cukup terkenal sebagai kota “panggilan”. 

Tertarik pada figur seorang pastor misionaris Jesuit yang tinggi dan pintar berbahasa Jawa, Vitus pun memutuskan untuk masuk Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan, Magelang. Nantinya dia ingin berharap masuk Serikat Jesuit dan diutus menjadi misionaris. “Saya melihat di Jawa banyak pastor-pastor dari Serikat Jesuit, jadi saya membayangkan nantinya tidak perlu berkarya jauh-jauh dari rumah,”katanya. Saat mengajukan diri masuk ke Serikat Jesuit ternyata Vitus diminta untuk memikirkan kembali panggilannya. Hingga kemudian dia mencoba untuk masuk di kongregasi yang lain, yaitu Serikat Xaverian. Di tempat ini Vitus diterima karena memang panggilannya pas dengan visi dan misi Serikat Xaverian. 

“Awalnya saya berpikir tidak perlu berkarya jauh-jauh dari rumah, namun ternyata pikiran saya keliru,”tuturnya. “Menjadi seorang misionaris berarti harus mau diutus ke mana saja. “

Maka Vitus mulai bermimpi suatu saat menjadi seorang misionaris bukan di Indonesia, tetapi ke negeri-negeri yang jauh, seperti Tiongkok. “Ada sosok seorang misionaris dari Serikat Sabda Allah (SVD), Josef Renademech, yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang misionaris yang menjelajahi tempat-tempat terasing dan terbelakang,”tuturnya. 

Vitus lulus studi filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta dan menyelesaikan studi teologi di Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Usai belajar filsafat dan teologi, Vitus ditahbiskan sebagai Imam Xaverian pada 7 Juli 1997, lalu menjalankan studi Kitab Suci di Institut Biblicum di Roma dari tahun 1997 hingga 2001 dengan gelar Lisensiat; mengajar Kitab Suci di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung antara tahun 2001 sampai 2007; dan mendapatkan gelar Doktor setelah belajar di Universitas Kepausan Gregoriana pada tahun 2007 hingga 2012. Oleh Serikat Xaverian, Vitus ditugaskan sebagai anggota tim pembina Xaverian dan anggota dewan Provinsi Xaverian Indonesia.

”Jadi sebenarnya saya lebih lama tinggal lama tinggal di Jakarta dibanding kota-kota lainnya, karena mulai selesai seminari, kemudian masuk kuliah dan menjalani pendidikan seminari tinggi saya jalani di Jakarta sampai kemudian menjadi imam dan ditugaskan untuk belajar Kitab Suci di Roma, pulang ke Jakarta, kemudian berangkat lagi ke Roma untuk studi doktoral, setelah itu saya kembali lagi ke Jakarta. Selain melayani di Paroki sebagian besar waktu saya adalah sebagai dosen di STF Driyarkara. Di mana saya lulus di situ, di situ juga saya mengajar,”terangnya. 

Meskipun ia merasa bahagia menjadi seorang pengajar yang membagikan ilmu, Vitus mengakui dulunya ia kurang percaya diri berbicara di muka umum.”Saya memang suka dengan cerita, tetapi untuk berbicara di muka umum, saya bukan orang yang punya bakat sebagai MC atau public speaker,”tuturnya. 

Sejak kecil hobi Vitus adalah membaca dan menggambar. Sejak umur empat tahun, Vitus sudah berlangganan majalah dan membaca banyak buku. Malahan ia memiliki sebuah perpustakaan kecil di rumahnya. Ayahnya mendukung kegemaran Vitus menggambar. Beliau membiarkan Vitus mencorat-coret tembok hingga lemari pakaian keluarga. Pada suatu hari ulang tahun, sang ayah memberikannya sebuah hadiah sederhana namun baginya terasa istimewa, yaitu papan tulis. Lewat papan tulis tersebut Vitus menghabiskan waktu dan membiarkan imajinasinya berkembang. Vitus bahkan pernah menggambar cerita komik. 

Kebiasaan membaca dan menggambar terus bertumbuh hingga bangku kuliah dan bahkan ketika sudah menjadi pengajar dan imam. 

“Saya awalnya tidak menyadari, namun sewaktu kuliah saya banyak memiliki buku-buku bacaan pada mata kuliah yang saya senangi. Biasanya kalau kita senangi, maka nilainya juga memuaskan,”katanya sambil tertawa. 

Waktu masih berstatus frater, Vitus sudah menjadi asisten dosen dari Rm. Prof. Dr. Martin Harun,OFM, pakar Kitab Suci Gereja Katolik. Pater Martin mengatakan bahwa mengajar itu bagaikan “belajar dua kali”. Karena seorang pengajar harus belajar dan membaca lebih banyak dan berulang-ulang. 

“Mengajar ternyata tidak mudah, apalagi saya mengajar teman-teman saya sendiri. Mereka kalau diajar Pater Martin tidak banyak bertanya, namun begitu saya yang mengajar banyak sekali pertanyaan dari teman-teman,”kenang Vitus. 

Meskipun awalnya sulit, namun Vitus akhirnya senang dan menikmati perannya sebagai pengajar, karena membuat ia terpacu untuk semakin banyak belajar. “Meskipun saya senang mengajar di dalam kelas, namun sebenarnya saya lebih suka mengajar melalui praktik keterlibatan sosial secara langsung,”lanjutnya. 

Awal Keterlibatan Sosial

Ketertarikan Vitus dengan panggilan sosial dan dialog antaragama tidak muncul begitu saja. Semuanya bahkan sudah dimulai sejak dirinya masih remaja. Saat ayahnya meninggal dunia, tiang utama keluarganya pun runtuh. Keadaan ekonomi keluarganya cukup sulit, sehingga ia harus dititipkan kepada keluarga besar kakek dan neneknya yang merupakan pengikut Budha. 

Keluarga besar kakek dan neneknya kala itu adalah tokoh agama Budha di daerah Magelang dan Muntilan. Rumah mereka sering menjadi persinggahan biksu-biksu Budha dari Thailand, karena waktu itu belum ada Vihara Budha di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa tahun kemudian kakeknya ikut serta dalam pembangunan Vihara Budha di sebelah Candi Mendut. 

“Maka sejak remaja saya terbiasa ngobrol dengan para biksu. Saling menimba ilmu. Selain dengan para biksu, saya juga sering berdiskusi dengan paman saya yang mendalami agama Budha. Bahkan kami masih saling berdiskusi hingga hari ini. Jadi kebiasaan bertanya jawab dan berdialog antar agama sudah saya mulai sebelum saya masuk seminari,”terangnya. 

Ketika menjadi mahasiswa di STF Driyarkara, di Jakarta, ia sudah ditugaskan untuk mendampingi mendampingi aksi buruh bersama Institut Sosial Jakarta di bawah Rm. Sandiawan Sumardi. Waktu itu Indonesia masih di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masa-masa ketika mendampingi buruh, petani dan masyarakat yang terpinggirkan memiliki risiko yang amat tinggi. 

Di kampus Driyarkara, Vitus aktif dalam teater rakyat yang mencoba menafsirkan Teologi Pembebasan dari Paulo Freire disesuaikan dengan konteks Indonesia dan diaplikasikan untuk memberikan advokasi kepada masyarakat bawah. “Kami mengangkat tiga tema besar, yaitu: becak, pembantu rumah tangga dan buruh. Biasanya teater rakyat itu ditutup dengan diskusi massal karena teater tersebut ditampilkan dengan gaya lenong dan ketoprak tapi akhirnya melebur dengan umat untuk membuat suatu penyadaran sosial,”jelasnya.

Dalam mengejawantahkan konsep Teologi Pembebasan, Vitus diinspirasi oleh pandangan  teolog pembebasan Asia, Aloysius Pieris dari Sri Lanka. “Pieris mencoba “mengawinkan Marxisme dan Injil” dan mendialogkan pandangan imannya terebut dengan umat Budha di Sri Lanka,”terangnya. “Cara Pieris tersebut saya pakai dalam rangka membangun dialog dengan Islam dan dalam penulisan buku pertama saya Paradigma Asia,”lanjutnya. Di sisi lain Vitus juga banyak diinspirasi oleh pandangan Oscar Romero, Uskup San Salvador, tentang sosok Yesus yaitu Tuhan yang bereinkarnasi menjadi manusia, sosok Kristus Allah yang turut menderita, dan Kristus, Allah yang mau turun ke bawah, ke tempat yang lebih rendah. 

Menjadi Uskup Keuskupan Padang

Pada 19 November 2019, Mgr. Martinus Dogma Situmorang, OFM.Cap dipanggil Tuhan. Maka posisi Uskup Keuskupan Padang mengalami kekosongan sepeninggal beliau. Sekitar pertengahan 2020, di tengah-tengah masa pandemi, Vitus dipanggil menghadap oleh Duta Besar (sering disapa Nunsius) Vatikan, Mgr. Piero Pioppo. 

“Saat dipanggil biasanya orang sudah mulai bertanya-tanya, mengapa kita dipanggil menghadap. Namun, saya tidak terlalu memikirkannya karena saya memang sering diminta untuk menerjemahkan teks dari Bahasa Italia tentang khotbah atau pesan dari Bapak Duta Besar. Saya mengira mendapat tugas yang sama,”kenangnya. “Namun, ternyata maksud panggilan kali ini lain, karena saya ditanya berbagai hal seputar pelayanan.”

Hingga Juni 2021 Vitus diberitahu bahwa ia akan menjadi Uskup Padang. Sebagai manusia biasa, Vitus  juga sempat merasa khawatir, bahkan dalam panggilan yang kedua dari Nunsius, Vitus sudah memikirkan segala macam penolakan. Ketakutan ini berasal dari perasaannya yang merasa tidak cukup mengenal Padang. Ia sendiri juga menganggap dirinya sangat minim pengalaman pastoral. Satu-satunya pengalaman pastoralnya adalah ketika ia masih berstatus seorang frater dan menjalani Tahun Orientasi Misi (TOM) di Kepulauan Mentawai, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Selebihnya, hingga setelah meraih gelar Doktor bidang Kitab Suci dari Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, ia lebih banyak terjun di dunia pendidikan Kitab Suci. 

Segala macam rencana penolakannya tersebut gagal diungkapkan sebab Mgr. Pioppo ternyata tidak memberinya kesempatan untuk bicara. “Bapa Suci (Paus-red) mau ini diterima dengan ketaatan,” jelas Vitus menirukan ucapan Mgr. Pioppo. 

Maka, ketika kembali dari berdoa di kapel, hanya sebuah kalimat yang terucap oleh Vitus, sederhana tetapi sekaligus indah dan memang demikian adanya, yakni,“Dengan bantuan rahmat Tuhan saya bersedia.” Keyakinannya bertambah kuat karena dirinya yakin Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkannya dan bahkan berdoa untuk dirinya. 

Pada 3 Juli 2021 secara resmi diumumkan RD. Dr. Vitus Rubianto Solichin, SX. terpilih sebagai calon Uskup Padang, dan tiga bulan setelahnya yaitu pada 7Oktober 2021, Mgr. Dr. Rubianto Solichin, SX. ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Padang yang baru. Waktu itu suasana pandemi Covid-19 masih melanda Indonesia. Maka upacara dan perayaan tahbisan dilaksanakan dengan khidmat, hati-hati namun tetap dipenuhi sukacita dan syukur. Ada 17 orang uskup yang hadir dalam upacara penahbisan dan sekitar 330 umat yang ikut menghadiri perayaan tersebut. 

Keuskupan Padang sesungguhnya bukan tempat pelayanan yang baru bagi Mgr. Vitus Rubianto, karena ketika masih berstatus frater dan menjalani masa orientasi pastoral, beliau pernah melayani selama beberapa tahun di Kepulauan Mentawai. 

Dalam tahbisannya, Mgr. Vitus Rubianto mengangkat motto “Misercordia Motus”. Motto yang diambilnya ini sesungguhnya diinspirasi oleh salah satu tokoh idolanya, Paus Fransiscus, salah satu Paus yang memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Paus Fransiscus memiliki motto “Miserando atque eligendo” (dipilih karena belas kasihan-Nya) yang diinspirasi dari peristiwa panggilan St. Matius. 

Mgr. Vitus kemudian mencoba mencari ayat padanan dalam Kitab Suci dan kemudian menemukan tiga kisah dalam Injil Lukas: Janda di Nain (Lukas 7), Perumpamaan orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10), dan Perumpamaan Tentang Anak Yang Hilang (Luk. 15:20). “Dalam tiga perikop ini ada tiga petikan kalimat “Misercordia Motus Es” yang artinya tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Saya menghilangkan kata kerja “es” sehingga tinggal Misericordia Motus seperti dalam motto yang saya angkat,”terangnya. “Sebenarnya hanya ada satu kata utama “Misericordia”, sebuah kata sederhana namun memiliki makna yang besar,”lanjutnya. 

Bagi Mgr.Vitus, motto yang diangkat tersebut sangat cocok dan punya keterkaitan dengan kondisi pelayanan di wilayah Keuskupan Padang, khususnya di Kepulauan Mentawai. Lokasinya yang cukup terpencil dan tidak mudah menjangkaunya, membuat tidak banyak orang yang mau menjalani pelayanan di tempat ini. Maka motto “hanya oleh belas kasihan” menjadi motivasi dalam menjalani pelayanan di tempat ini. 

“Apalagi yang mampu menggerakkan kita kalau bukan belas kasihan? Saya berharap visi ini juga menjadi visi keuskupan sehingga umat tidak bisa hanya tinggal diam, melihat saudara-saudaranya yang memerlukan pertolongan dan dukungan,”lanjutnya.

Tantangan Pelayanan di Keuskupan Padang

Menurut Mgr. Vitus Rubianto, kekayaan terbesar yang dimiliki oleh Keuskupan Padang bukan dari sisi materi. Ia mengakui saat tiba di Padang, ia melihat gedung keuskupan yang indah dan megah. Namun, kekayaan utama dari Keuskupan Padang terutama adalah kebudayaan yang begitu beragam. Wilayah Keuskupan Padang begitu luas meliputi: Riau daratan, Sumatera Barat daratan, dan Sumatera Barat kepulauan dengan beragam latar belakang dan budaya. 

“Karena itu tantangan terbesarnya adalah bagaimana membuat umat memiliki pemahaman bahwa gereja-gereja lain juga merupakan saudara dalam satu tubuh Kristus. Jangan pernah memiliki pemahaman sektarian, seperti gereja di Sumatera Barat daratan tidak perlu memikirkan saudaranya di Mentawai dan beranggapan Mentawai keadaannya susah dan tidak ada harapan untuk maju. Gereja harus memiliki kesatuan hati dan bersedia maju bersama.  Tidak boleh ada yang memikirkan dirinya sendiri,”jelasnya. 

Untuk mewujudkan kebersamaan tersebut menurut Mgr. Vitus dibutuhkan tranparansi dan solidaritas mulai dari semua pemimpin gereja hingga seluruh umat di Keuskupan Padang.

Kerja Sama dalam Program Literasi Bersama LAI

Sudah bertahun-tahun Lembaga Alkitab Indonesia menyelenggarakan program pemberantasan buta aksara berbasiskan Alkitab yang dikenal dengan nama Program Pembaca Baru Alkitab (PBA). Pada tahun 2023 ini program PBA dilaksanakan di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Gereja Katolik menjadi salah satu mitra LAI dalam menyelenggarakan program tersebut. 

Program PBA di Kepulauan Mentawai dimulai dari wilayah yang populasi cukup besar dan latar belakang pendidikannya memang belum merata. Menurut Uskup Padang, ada ribuan orang yang mungkin masih tertinggal dalam pendidikan, artinya tidak memiliki kemampuan literasi. Tidak bisa membaca dan menulis di zaman yang serba digital sungguh merupakan tantangan tersendiri. 

“Dengan motivasi belas kasihan, tentu kita tidak mungkin meninggalkan saudara-saudara kita ini tanpa berbuat sesuatu,”tegas Mgr. Vitus. “Maka dari itu saya menyambut baik program PBA ini karena kita seperti diundang untuk membaca surat cinta dari Tuhan tersebut. Dengan menguasai baca dan tulis, tiba-tiba mata kita terbuka dan mengerti banuak hal,”lanjutnya. 

Uskup Padang awalnya tidak pernah membayangkan bahwa Kitab Suci bisa dipakai untuk gerakan pengentasan kemiskinan ataupun pemberdayaan sosial. Beliau menyebut pada 1999 di Mentawai pernah dibuat juga semacam program pemberantasan buta aksara, namun dengan metode yang berbeda dari LAI. Mgr. Vitus optimis program PBA tahun 2023 di Mentawai akan berlangsung jauh lebih baik, karena manajemen dan penataan program yang lebih baik, terutama karena pimpinan program lapangan dan beberapa staf lapangan LAI tinggal di lokasi dan memantau pelaksanaan program PBA. 

“Saya merasa terharu. Seandainya saya masih muda dan tidak dalam jabatan ini, saya juga bersedia menjadi voluntir program ini. Ini benar saya katakana dari hati,”tuturnya. “Tinggal bersama umat dan menetapkan target yang jelas sungguh amat baik. Maka kami pasti akan memberikan dukungan yang besar untuk pelaksanaan kegiatan ini. Harapannya memang banyak orang yang terbantu dalam membaca dan menulis. Segi praktisnya mereka nantinya juga dapat memahami perkembangan dunia saat ini dan juga memahami isi Kitab Suci melalui membaca sendiri,”lanjutnya lagi. 

Sekitar 25 tahun yang lampau saat masih muda dan melayani di Mentawai, Mgr. Vitus menceritakan umat sudah terbiasa dengan sabda Allah. Mereka mendengar dan mendiskusikannya melalui sermon. Petugas yang tinggal di dekat umat datang pada malam hari sebelum Hari Minggu kemudian membahas Kitab Suci bersama umat dalam Sermon untuk menemukan pesan atau tema yang akan dibawakan dalam ibadah Minggu esok harinya. “Jadi meskipun belum tahu baca dan tulis, umat mau untuk mendengar dan membahas isi Kitab Suci,”tuturnya.  

Di salah satu tempat bernama Sikabaluan, saat masih melayani di Mentawai, Mgr. Vitus pernah membentuk komunitas muda yang ketika membahas Kitab Suci menggunakan simbol-simbol untuk menandai kata-kata tertentu agar lebih mudah dikenali umat dalam bentuk tulisan. “Kitab Suci dapat menjadi sarana untuk untuk mengumpulkan dan membina umat salah satunya melalui program literasi bersama LAI ini,”katanya.  

Berbekal pengalamannya dalam melayani di Mentawai dan pengalaman panjang mengajar Kitab Suci, Mgr. Vitus percaya bahwa membangun komunitas basis merupakan cara yang tepat untuk memandirikan dan membangun jemaat. 

“Saya percaya bahwa kemandirian umat itu bukan dari atas tetapi dari bawah, dari akarnya. Dalam arti negatif mandiri memang bisa berarti berjalan sendiri-sendiri, maka mereka membutuhkan satu pelayanan kegembalaan, supaya kekuatan ini bisa menjadi kekayaan yang besar. Komunitas basis saya alami sewaktu melayani di Mentawai dulu. Mereka rutin berkumpul untuk membaca dan mendengar sabda Tuhan dan sharing pengalaman,”terangnya. 

Pada lambang moto Uskup Padang tergambar sebuah perahu yang menunjuk pada misi Gereja. Perahu (aba) ini kalau di Mentawai juga berfungsi sebagai tempat makan (lula), di mana orang berkumpul bersama untuk menikmati berkat makanan yang ada. Di dalam lambing tersebut juga tergambar  sosok burung pelikan yang merobek dirinya, agar darahnya keluar dan bisa dimakan oleh anak-anaknya agar mereka tidak mati kelaparan. Gereja perdana mengambil gambaran burung pelikan ini sebagai simbol Kristologi, yaitu  Yesus yang memberikan diri-Nya bagi dunia. Kita murid-murid-Nya juga dipanggil untuk mengikuti teladan-Nya. Semua kebersamaan dan pengorbanan tersebut digerakkan oleh rasa belas kasihan dan kesediaan berkorban. Misericordia Motus. 

Sumber tulisan:  Wawancara LAI dengan Uskup Padang, April 2023

Tatkala Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX Tidak Diberi Kesempatan Menolak, artikel dalam hidupkatolik.com

Mgr. Vitus Rubianto Solichin, SX, dalam kawali.org