Gus Aan Anshori: Toleransi Berarti Tidak Menutup Diri

Gus Aan Anshori: Toleransi Berarti Tidak Menutup Diri

 

Setiap tanggal 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional. Peringatan ini didasarkan pada hasil kesepakatan dari Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1995 untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global tentang sikap toleran. Istilah toleran sendiri menurut kamus Bahasa Indonesia berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Di seputar Hari Toleransi Internasional tersebut kami berbincang dan belajar banyak arti toleransi dan kebangsaan dari seorang intelektual muda NU dan pengajar di Universitas Ciputra Surabaya, Gus Aan Anshori. 

Sehari-harinya Gus Aan mengajar di Universitas Ciputra Surabaya. Selain itu beliau sering diundang untuk menjadi narasumber seminar atau sekarang webinar di berbagai forum bukan hanya seiman namun juga lintas iman. Meskipun sibuk menulis, mengajar dan menjadi narasumber berbagai seminar Gus Aan mengaku sebagian besar kesibukannya justru sebagai bapak rumah tangga. 

“Mas, sebenarnya pekerjaan saya lebih banyak di sektor domestik. Istri saya seorang ASN (Aparatur Sipil Negara), kesibukannya cukup luar biasa, sementara kami tidak memiliki asisten rumah tangga. Maka, tak jarang saya memasak, mengantar anak ke sekolah. Di luar pekerjaan rumah tangga saya melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan interfaith (lintas iman), diskusi soal-soal gender seksualitas dan beberapa pekerjaan sosial lain,”tuturnya.

Gus Aan memandang apa yang dihidupinya setiap hari sebagai bagian dari menjunjung tinggi toleransi. Ia menyadari dalam budaya Jawa terlebih dengan latar belakang muslim, superioritas laki-laki begitu kuat. Laki-laki adalah imam. Ia mengaku sejak awal menikah sudah sepakat untuk menerapkan prinsip tidak boleh saling memaksa dengan istrinya. 

“Saya berusaha untuk melihat setiap orang setara, tidak peduli umurnya berapa, tidak peduli latar belakang gendernya. Bahkan tidak peduli latar belakang agamanya. Meskipun berat itu merupakan bagian dari toleransi,”tegasnya. 

 

Dulunya intoleran

Jiwa toleran Gus Aan sesungguhnya tidak muncul tiba-tiba. Tidak begitu saja alami muncul sejak lahir. Melainkan melalui proses yang panjang. 

“Saya dulunya bukan orang yang toleran. Terlebih dengan orang Kristen dan Tionghoa. Saya pernah menuliskan pengakuan tersebut dalam buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”, “terangnya.

”Saya sejak lahir beridentitas mayoritas semua. Saya terlahir sebagai orang Jawa, suku terbesar yang kalau boleh dengan bangga mengatakan: we are the owner of this republic. Saya orang Islam, Sunni dari kalangan Nahdiyin. Kalau melihat asal-usul, darah saya juga terhitung agak biru. Laki-laki heteroseksual.  Saya dibesarkan dalam tradisi mayoritas yang tidak pernah mengalami diskriminasi. Sehingga itu membentuk cara pandang saya waktu kecil hingga masa muda. Misal, saya tidak suka dengan orang Tionghoa, karena di desa saya tidak ada orang Tionghoa,”lanjutnya. 


Seingat Gus Aan, ia tidak pernah punya teman Tionghoa sejak kecil hingga masuk kuliah. Jika dihitung lamanya 19 tahun. Desa tempat kelahirannya, Kauman di Kecamaatan Mojoagung, Jombang, Jawa Timur bukan wilayah terpencil atau terpelosok. Bahkan boleh dikatakan salah satu desa terhormat. 

“Tujuh belas desa di kecamatan saya, selalu menjadikan Kauman sebagai kiblat urusan keagamaan. Saya masih ingat setiap akhir Ramadlan, banyak orang dari desa sekitar berbondong-bondong ke Masjid kami untuk menunggu fatwa apakah besok berlebaran atau tidak. Pendek kata, Kauman adalah imam bagi 17 desa yang lain,”katanya. Sebagai desa urban di jantung kota kecamatan, bagi Gus Aan Kauman tergolong unik. Tidak ada satupun warga Kauman yang non-muslim, tidak juga berketurunan Tionghoa. Gus Aan tidak pernah mempertanyakan hal tersebut kepada orang tuanya. 

Mayoritas penduduk desa Kauman adalah pedagang. Maka menjadi unik, meskipun leluhur turun-temurun tidak memperbolehkan orang yang berbeda agama dan berbeda etnik tinggal di desa Kauman, namun di sisi lain warga Kauman sehari-hari berinteraksi bahkan nongkrong bersama dengan orang-orang Tionghoa dan Kristen di Pasar Mojoagung. 

 

Perjumpaan Pertama 

Pernah Gus Aan menulis tentang perjumpaan pertama dengan orang Kristen dan Tionghoa. Tionghoa pertama yang berinteraksi dengannya adalah perempuan tua berdandanan kucel, suka membawa keranjang penuh uang, yang hampir tiap pukul 11 siang melewati lapak ibu Gus Aan di Pasar Mojoagung. Ya, hampir tiap hari. Panggilannya Cik Nik, pemilik lapak sembako tempat ratusan pedagang kecil (pengecer) Jawa membeli dagangan, termasuk ibu Gus Aan. 

“Secara personal, kala itu, Cik Nik merupakan gambaran tepat bagaimana sosok Tionghoa dijejalkan ke memori saya; pelit, tidak ramah, cuek, bicaranya straight-forward, hidupnya hanya untuk urusan harta. Beberapa Tionghoa yang saya temui saat kecil kebanyakan seperti itu. Saya tidak suka dengan mereka dan mulai menggebyah uyah (menyamaratakan) semua Tionghoa,”demikian tulis Gus Aan. 

Sementara persentuhannya dengan orang Kristen berawal dari kebiasaan membantu ibunya berdagang di Pasar Mojoagung. Waktu itu Gus Aan sekitar kelas 6 SD. Ibunya memiliki seorang pelanggan. Dirinya sudah lupa siapa nama ibu tersebut. Yang unik, Ibu itu kerap kali datang memakai kebaya rapi dan bersanggul. Ibu Gus Aan mengatakan, ibu tersebut habis ke gereja. Karena keakraban di antara pedagang dan pembeli, hubungan menjadi akrab. Menjelang puasa, ibu saya punya kebiasaan weweh, yaitu istilah Jawa yang arti dasarnya memberi. Tradisi weweh adalah tradisi  mempersiapkan banyak makanan seperti layaknya orang hajatan, yang terdiri dari nasi, lauk pauk dan terkadang ditambah aneka jajanan pasar dan kemudian dikirim ke orang-orang terdekat, seperti: tetangga, mertua, orang tua, saudara, dan teman-teman, tidak hanya yang muslim tapi juga non muslim. Nah, si ibu pelanggan tersebut termasuk yang mendapatkan kiriman weweh. Yang mengantarkan ke rumahnya adalah Gus Aan. Di rumah ibu tersebut Gus Aan melihat ada salib. Kelihatannya ibu tersebut warga GKJW, Gereja Kristen Jawi Wetan. 

“Saya sudah diberikan pemahaman, janga melihat salib lama-lama. Maka saya merasa cukup melirik sebentar saja,”kata Gus Aan sambil tertawa. Di satu sisi tidak boleh melihat tanda salib, di sisi lain menjaga tali silaturahmi dengan saling berbagi dan memberi. Di situ dirinya melihat semacam paradoks. 

“Ketidaksukaan saya terhadap Tionghoa, gereja dan salib pada waktu itu saya anggap sebagai hal yang wajar. Bahkan terhadap hampir semua Tionghoa seperti Cik Nik, diam-diam saya kerap merasa kasihan sebab saya melihat mereka sebagai kandidat kuat penghuni neraka.  Bersenang-senanglah di dunia. Kalian akan teronggok di dasar neraka karena tidak memilih Islam,” lanjutnya.

Sungguhpun tidak suka terhadap Tionghoa, Gus Aan dan teman-temannya kerap menikmati wayang Potehi di Klenteng Bho Hway Bio yang berjarak hanya 500 meter di sebelah barat kampungnya. Setiap bulan Agustus, klenteng tersebut memainkan lakon wayang hampir sebulan penuh, dari sore hingga malam hari. 

“Meski boleh menonton, kami diwanti-wanti orang tua agar tidak coba-coba masuk ke dalam klenteng. Cukup di halamannya saja. Jangan pernah masuk. Nanti kamu nggak selamat. Bisa-bisa jadi anjing dan nggak bisa pulang,”kenangnya. 

Bertahun-tahun hingga masa remaja Gus Aan memegang teguh petuah tersebut sungguhpun rasa penasaran terus mengerubungi dirinya, “Apa yang ada di dalam klenteng itu?Jahat sekali menjadikan anak kecil sebagai anjing?” 

 

Titik Balik

Saat memasuki bangku kuliah dan berkecimpung di dunia gerakan lintas iman, ketakutan dan kesalahpahaman Gus Aan terhadap kaum Tionghoa maupun Kristen pelan-pelan mencair. Ia mengakui sosok KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, berperan sangat dominan, meskipun dirinya mengaku tidak pernah bertatap muka dengannya.

“Melalui berbagai tulisan terkait sepak terjangnya yang saya baca di akhir SMP dan SMA, saya seperti menerima antibiotik atas mencokolnya sikap radikal yang tumbuh sejak lama. Prosesnya memang pelan sekali, namun saya masih bisa rasakan hingga saat ini. Kiprah Gus Dur benar-benar membuyarkan imaji saya tentang seorang kiai pada umumnya yakni sosok yang lebih asyik duduk, ingin dilayani, ogah membela yang tertindas dan kerap bertindak laksana dewa dengan pedang agama,”katanya. “Bagaimana mungkin ada sosok berdarah sangat biru di kalangan Islam Sunni Indonesia mau bersusah payah membela kelompok minoritas dan tidak mempedulikan cibiran atas tindak-tanduknya?” demikian Gus Aan kerap memuji Gus Dur. 

Sekira tahun 1996 kekaguman Gus Aan kepada Gus Dur semakin bertumbuh ketika membaca pembelaan Gus Dur terhadap pasangan Khonghucu yang dihalangi perkawinanya. Pasangan itu menggugat ke pengadilan, dan Gus Dur pernah ikut hadir di ruang sidang, sebagai suporter. Bagi Gus Aan kedatangan Gus Dur di bangku persidangan adalah hal sangat mengagetkan. Ia pada waktu menjabat sebagai Ketua PBNU, pemimpin dari jutaan kaum sarungan. 

“Saya melihat itu sangat heroik. Belum pernah saya jumpai model kiai seperti itu. Saya merasa cocok berimam ke dia!” tegasnya. Padahal Gus Aan pun mengakui ia tidak pernah bisa memahami semua maksud, cara pandang maupun langkah Gus Dur yang kadang unik. Bagi banyak anak muda Nahdiyin, sosok Gus Dur menjadi energi sekaligus panutan dalam menapaki dunia pergerakan di akhir 90-an. 

“Namun jika ditanyakan kapan turning point saya mungkin tidak mudah, karena proses perubahan cara berpikir yang saya sebutkan pelan-pelan tadi. Namun, kalau boleh saya menyebut bahwa indikatornya kapan saya pertama kali masuk gedung gereja, mungkin sekitar tahun 2000. Indikator tersebut saya rumuskan sendiri. Menurut saya sehat atau tidak secara toleransi di dalam persfektif Islam dan Kristen jika masing-masing berani masuk gereja ataupun masjid. Pada tahun 2000 gereja yang pertama kali saya masuki adalah GKJW Bongsorejo. Artinya perlu lima tahun sejak saya masuk kuliah baru saya akhirnya berani secara sadar mengunjungi gereja. Saya awalnya ke Bongsorejo dalam rangka riset dan mewawancarai tokoh-tokoh agama. Ternyata itu menjadi pintu pembuka, dan belakangan saya semakin sering dan akrab dengan rekan-rekan GKJW maupun dengan rekan-rekan dari gereja lain,”tuturnya. 

“Belakangan saya baru sadar, Mas. Setiap orang muslim kan harus disunat. Saya ingat bahwa yang menyunat saya namanya Pak Mantri Sutoyo, beliau adalah seorang anggota majelis GKJW. Yang unik hampir seluruh orang Islam di daerah saya kalau menyunatkan diri selalu ke Pak Sutoyo yang seorang Kristen. Bagi saya ini bagaikan sebuah perjanjian suci. Betapa banyak kontribusi orang-orang yang berbeda agama di dalam hidup saya bahkan terhadap perjalananan iman saya,”lanjutnya. Kesarana ini membuat Gus Aan mulai bersikap terbuka dan tidak lagi selalu berpandangan negatif terhadap orang yang berbeda dengannya. Gus Aan berpikir bahwa semestinya dalam setiap agama mengajarkan keterbukaan, bahwa setiap manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Bahwa orang lain yang kita pandang berbeda, tak jarang punya jasa dan peran dalam perjalanan hidup kita. Akhirnya muncul kesadaran, bahwa setiap manusia pada dasarnya saudara bagi sesamanya, yang semestinya harus saling mendukung dan mencintai. Saling menghargai keunikan dan perbedaan masing-masing. 

Agama yang suci dan sakral menjunjung tinggi dan mengajarkan nilai-nilai kemanusian. Setiap agama mengajarkan jalan menyembah Sang Pencipta, meskipun menyebutnya dengan nama-nama yang berbeda. Namun di titik implementasi menurut Gus Aan seringkali menjadi bias. Agama yang awalnya agung dan sakral tiba-tiba dalam pengajaran menyatakan tidak ada kebenaran dan kebaikan di luar agama kita. 

“Kita mengasihi sesama dengan tulus dan kemudian dalam benak kita dengan keras menyatakan saya lebih selamat daripada kamu, ajaranku jauh lebih baik dari ajaranmu, tanpa kita mau saling belajar dan membuka diri,”tuturnya. 

Gus Aan memandang cara pandang yang bias terhadap orang yang berbeda etnis ataupun agama bagaikan virus, yang kalau dibiarkan akan semakin berkembang dan meluas. Ketika berkembang menumbuhkan apa yang dinamakan negative stereotype. Melabeli orang di luar identitasnya dengan label negatif. Orang yang berbeda akan dipandang sebagai salah, sesat dan jahat. Yang menjadi masalah semakin virus intoleransi berkembang, semakin menyatu dengan insan dan dianggap sebagai kewajaran. Muncullah apa yang disebut Gus Aan sebagai prejudice, artinya kerelaan saat melihat orang yang berbeda identitas mengalami ketidakadilan. 

Yang lebih menjadi keprihatinan Gus Aan adalah, seringkali virus intoleransi justru meluas dan berkembang melalui lembaga-lembaga pendidikan. Anak-anak dari kecil secara tidak sadar banyak yang sudah ditanamkan nilai-nilai intoleransi terhadap mereka yang berbeda agama, etnis dan bahkan gender.

Maka bagi Gus Aan, untuk mengubah cara pandang dan menumbuhkan semangat toleransi tidak ada lain selain memperbaiki lembaga dan sistem pendidikan di Indonesia. Sedari kecil anak-anak harus diajarkan untuk melihat mereka yang berbeda sebagai sesama dan saudara. 

“Akan baik jika salah satu praktiknya anak-anak dari kecil diajarkan oleh sekolah untuk mengunjungi tempat-tempat ibadah dari berbagai agama untuk menumbuhkan jiwa saling menghormati dan menghargai,”terangnya. 

“Murid-murid SD Petra, Sekolah Dasar Penabur jangan hanya diajak mengunjungi gereja. Ajaklah jalan-jalan ke masjid terdekat dengan sekolah mereka. Begitu juga Sekolah Dasar  Islam jangan hanya diajak mengunjungi pesantren atau panti asuhan Islam. Kalau hanya mengunjungi yang sealiran itu berarti menggarami lautan, tidak akan menumbuhkan perjumpaan dan penghormatan. Sebenarnya simple namun tinggal para pelaku pendidikan mau menerapkan atau tidak,”lanjutnya.  

Yang berikutnya, menurut Gus Aan adalah melakukan revolusi persfektif. Daripada memandang sesama sebagai insan yang lebih rendah, lebih baik mengubah cara pandang bahwa kita tidak mungkin hidup tanpa sesama kita. Selanjutnya daripada mencari perbedaan di antara agama atau etnis yang berbeda, lebih baik melihat bahwa ada lebih banyak persamaan daripada perbedaan di antara kita. Ini juga yang diajarkan Gus Dur kepada murid-muridnya. Mencari persamaan daripada perbedaan. Membangun persaudaraan daripada perselisihan. 

Orang Samaria Yang Murah Hati

Gus Aan yang tak jarang diundang untuk mengajar katekisasi di gereja tersebut tak lupa menyampaikan kritikan tajamnya kepada pengikut-pengikut Kristus. “Maaf, saya sering mendengar kisah perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati. Hampir semua orang Kristen mendengarnya tetapi tidak mau mengembangkan cerita soal orang Samaria itu dalam hidup setiap hari. Mereka sungguh-sungguh mengimani ajaran orang Samaria yang baik hati dari Yesus tersebut, tapi ketika dihadapkan dengan orang yang berbeda aliran gereja, yang tidak seiman sering kali yang muncul adalah prejudice. Yang muncul juga perasaan lebih benar dari orang lain. Misal dihadapkan pada Saksi Yehova, banyak yang langsung berteriak mereka sesat, mereka bukan Kristen. Selalu muncul label negatif terhadap yang tidak sama,”terangnya. Melalui perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati Yesus ingin mengingatkan bahwa orang yang sering kamu cap buruk, jahat, tidak murni atau sesat ternyata adalah sesama, saudara dan di perjalanan hidup mungkin menjadi penolong atau penyelamat kita. 

“Selama orang Kristen tidak bisa menerapkan ajaran tentang Orang Samaria yang Murang Hati sehingga mampu mengubah cara pandang kita dalam mengasihi sesama, orang Kristen tidak akan mungkin berlari kencang mengubah dunia. Ini sesuatu yang harus dilakukan. Karena jika orang-orang Kristen sanggup bertransformasi dan berlari kencang dalam menerapkan kebaikan, orang-orang lain di luar Kristen pun akan ikut terdorong melakukan kebaikan,”terangnya kritis. 

Gus Aan juga menyatakan bahwa dalam diri setiap insan semestinya muncul kesadaran bahwa dirinya bukan orang yang sempurna tanpa dosa. Baginya imperfection is perfect. Ketidaksempurnaan justru adalah kesempurnaan. Ketidaksempurnaan adalah bagian wajar dari diri kita. Dengan pengakuan dan kesadaran tersebut membuat kita hidup sebagai orang yang lebih merdeka. 

“Kita adalah para pendosa. Di dalam tradisi Islam sendiri, setiap kali kita berdoa kita harus mengakui bahwa kita adalah pendosa. Dengan menyadari hal ini kita akan menyadari bahwa kita tidak boleh menghakimi sesama kita. Masakan pendosa menghakimi sesama pendosa,”tuturnya.  

 

Pilihan Hidup Yang Tidak Selalu Mudah

Menjadi pengusung gerakan toleransi atau persaudaraan lintas iman tidak menjadikan hidup Gus Aan selalu mudah. Kerap kali ia dicap mencari sensasi bahkan dicap pernah dicap sesat. Pernah sampai dirinya berada di simpang jalan, karena menghadapi tekanan-tekanan yang berat dari banyak orang. 

“Ya, tekanan sudah biasa saya rasakan. Itu baru masuk gedung gereja. Belum ketika mendukung kesetaraan gender atau pembahasan soal identitas seksual seperti LGBT. Padahal pada dasarnya saya hanya ingin menunjukkan bahwa orang-orang yang kerap kita cap negatif, kita cap sesat itu adalah sesama kita manusia. Punya hak yang sama sebagai manusia. Jangan dikuyo-kuyo,”terangnya. Karena dukungannya terhadap kaum yang terpinggirkan ia sering dibully dan beroleh ancaman di media sosial. Istrinya tak jarang khawatir dengan berbagai pilihan aktivitas sosial suaminya. Terlebih istrinya seorang ASN. Tapi keyakinannya terhadap prinsip-prinsip toleransi dan kebenaran senantiasa membangkitkan kembali semangatnya. 

 

Religiusitas Kaum Muda 

Tentang religiusitas kaum muda Indonesia Gus Aan juga menanggapi dengan kritis. Di satu sisi banyak anak-anak muda di berbagai sekolah dan perguruan tinggi semakin bersemangat menekuni ajaran agamanya. Tapi di sisi lain ada juga anak-anak muda yang melihat betapa agama sering menjadi alat politik dan sumber perpecahan, malahan ogah belajar agama dan cenderung memilih menjadi insan sekuler atau agnostik.

“Tujuan setiap agama sesungguhnya ingin menjadikan kita sebagai orang yang baik. Manusia diharapkan menjadi garam dan terang, menjadi rahmatan lil alamin. Para agamawan mengatakan jalan satu-satunya adalah agama. Lalu orang-orang muda melihat dan mengamati, banyak orang semakin beragama, semakin rajin ke gereja, semakin rajin ke masjid malah semakin intoleran. Bagaimana bisa demikian? Maka saya meyakini untuk menjadi seorang yang baik ada banyak jalan. Pilihan jalan setiap orang harus kita hormati dan hargai termasuk jika ada orang yang meyakini bahwa menjadi baik tidak harus melalui agama,”tuturnya. Bertoleransi artinya menghargai dan menghormati setiap orang yang memiliki pandangan bahkan berbeda atau bertolak belakang dengan kita. 

Bagi Gus Aan perjalan hidup mengajarkan dirinya untuk bersyukur kepada Tuhan atas semua hal yang ia terima. Untuk setiap perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda dengannya. “Saya ingin bersyukur bahwa sekarang saya semakin mengikis kesalahpahaman saya terhadap orang-orang yang berbeda pandangan,”tuturnya. “Itu menjadikan hidup saya lebih ringan. Sekarang saya tidak lagi takut masuk ke gereja, melihat anjing berlari, atau melihat salib.”

Hidup bagi Gus Aan sekadar mengalir mengikuti kehendak ilahi. Setiap orang harus mengejar tujuan untuk terus berbuat kebaikan. Kalaupun kebaikan kita belum direspon positif oleh sesama, teruslah kita ulangi kebaikan tersebut. Terus berusaha kita pancarkan. Benci tidak harus dibalas dengan benci. Seperti matahari ciptaan Tuhan yang senantiasa memancarkan cahaya kebaikan, demikianlah haruslah jalan hidup setiap insan. 

Gus Aan sedemikian sering bertemu dengan orang-orang Kristen yang baik. Sarannya adalah agar kebaikan tersebut ditularkan dan disebarkan. Caranya orang Kristen jangan hanya berkumpul dengan sesamanya di dalam gereja. Meskipun sering mengalami perlakuan intoleran, Gus Aan menyarankan orang Kristen jangan menutup diri. Tujuannya supaya banyak orang semakin mengenal dan memahami kekristenan dan bisa mengikuti teladan perbuatan baiknya. Jangan menutup diri, namun jadilah garam dan terang bagi dunia.