Harison Mocodompis : Hidup itu harus punya tujuan!

Harison Mocodompis : Hidup itu harus punya tujuan!

 

“Hidup itu harus punya tujuan!” demikian kata Harison Mocodompis, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangerang Selatan. Menurutnya orang yang hanya menjalani hidup tanpa tujuan  yang pasti biasanya akan kacau dan tidak punya arah. “Setiap orang harus memiliki tujuan hidup, dan kemudian harus tahu bagaimana langkah-langkah mencapai tujuan tersebut. Tentu saja tujuan hidupnya harus berada di dalam koridor kebaikan, kebenaran, kejujuran dan keadilan,” tuturnya lagi. 

Harison sudah cukup lama berkarya di BPN. Terhitung sudah dua puluh empat tahun berkarya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ia merintis karirnya bertahap dari bawah di Manado, kemudian dipindahkan ke Jakarta. Dan sekarang di BPN Tangerang Selatan. Melalui berbagai lika-liku dan suka duka perjuangan hidup. Sebuah pencapaian yang tidak pernah terpikirkan saat dirinya kecil atau bahkan remaja. 

Tempatnya berkarya, sekarang bertumbuh menjadi sebuah lembaga yang berjuang membenahi diri untuk memberikan layanan yang lebih prima kepada warga negara. Mengutip dari Media Kompas saat ini sudah sekitar 124.120 sertifikat tanah yang diserahkan di 26 Provinsi di Indonesia. Di masa lalu seringkali masyarakat memandang pengurusan sertifikat tanah serba ribet dan lama. Sekarang pemerintah sedang berusaha membenahi berbagai hal agar pengurusannya lebih mudah dan cepat sesuai Standar Operation Procedure (SOP) yang berlaku. 

Jika melihat nama belakangnya, Mocodompis, orang mungkin bertanya-tanya dari mana asalnya. Nama Mocodompis ternyata merupakan nama keluarga besar yang berasal dari Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Namun, sudah lama orang tuanya merantau ke Sorong, Papua Barat dan bekerja di sana. Di Sorong inilah empat puluh enam tahun yang silam Harison dilahirkan. Belum lama lahir, orangtuanya membawa Harison pulang kembali ke Tahuna, di Kepulauan Sangihe. Harison dititipkan dan tinggal bersama omanya. Maka Harison pun kemudian melewati masa kecil, pendidikan dasar hingga lulus SMA di Tahuna. 

Sejak kecil Harison sudah terbiasa bergaul akrab dan bermain bersama teman-teman yang berasal dari berbagai suku. Karena di Tahuna bukan hanya tinggal orang Sangir dan Talaud, di beberapa wilayah juga tinggal beberapa komunitas Melayu, Tidore dan bahkan sebagian kecil Arab. Harison mengenang suasana pertemanan waktu itu sangat demokratis dan menyenangkan. Orang Sangir, Talaud, Arab, Melayu dan Tidore semuanya berbaur. 

Dikisahkan saat menjelang masa Natal  teman-temannya dari berbagai latar belakang ini ikut bersama-sama membantu mencari pohon yang akan dihiasi menjadi Pohon Natal di gereja. Dan ketika tiba waktu untuk sholat Maghrib, teman-temannya pun izin menunaikan sholat di masjid. Tidak lama setelah Sholat Magrib teman-temannya kembali datang untuk melanjutkan menghias Pohon Natal tersebut. Demikian juga saling menolong tiba ketika teman-teman muslim merayakan hari rayanya. Keragaman dan toleransi yang sudah tertanam sedari kecil ini ikut membangun karakter Harison hingga dewasa. 

Pergaulan yang plural ini turut membentuk Harison sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Karakter Harison yang dikenal ramah, humoris dan mudah bergaul memang tidak terbentuk dalam satu malam namun melalui perjuangan panjang dalam. Orang yang mengenal Harison sedari kecil pasti akan segera merasakan perbedaan jika bertemu kembali dengan Harison saat ini. 

“Setiap orang untuk menjadi matang harus melewati beberapa proses yang menuntun dia ke perubahan yang revolusioner,”tuturnya. Harison awalnya dikenal sebagai sosok pemalu dan sedikit tertutup. Namun, saat duduk di bangku SMP ia memperhatikan teman-teman sebayanya yang famous, disukai oleh para guru dan teman-teman, baik laki-laki maupun lawan jenis adalah  mereka yang memiliki ketrampilan berkomunikasi. 

“Dia harus bisa masuk ke segala lapisan dan kalau bisa dia harus bisa lucu”, tambah Harison. Nilai inilah yang kemudian dipelajari, diserap dan dilatih oleh Harison sehingga menjadi nilai tambah agar bisa mudah bergaul dan beradaptasi dengan lingkungan baru. “Saya kemudian belajar untuk mengubah diri saya dan hasil dari proses perubahan itulah yang saat ini saya coba nikmati,” kenang Harison. Baginya kemampuan berkomunikasi adalah seni yang harus terus dipelajari lewat pengalaman hidup.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya, Harison melanjutkan ke Perguruan Tinggi di STIE Eben Haezer Jurusan Akuntansi di Manado. Seperti kebanyakan mahasiswa pada umumnya ada rasa cemas  yang muncul setelah menyelesaikan studi. Apakah nantinya mudah untuk memperoleh pekerjaan? Demikian pertanyaan yang muncul dalam benaknya.  

Harison berkarya dan diterima menjadi karyawan BPN, ternyata bermula dari sebuah kebetulan atau ketidaksengajaan. Begitu lulus sarjana, pada 1997, Harison segera mendaftarkan diri untuk membuat kartu kuning atau kartu tanda pencari kerja di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Setiap pemilik kartu kuning akan mendapatkan informasi-informasi lowongan kerja dari pemerintah. Proses pembuatan kartu kuning itu dia dibantu pengurusannya oleh seorang ibu, karyawan Disnaker. Sampai hari ini Harison tidak pernah ingat nama ibu tersebut. Karena kebetulan waktu itu ada pembukaan lowongan BPN, Harison didaftarkan si ibu tersebut untuk menjalani saringan masuk BPN.

Seperti sudah jalannya, di bulan Desember 1997 Harison menerima panggilan untuk mengikuti ujian tes masuk di BPN Manado. “Bu ini tes apa?” tanya Harison kepada si Ibu di Disnaker. Ibu itu menjawab, “Saya melihat adik mengurus kartu kuning pencari kerja. Kebetulan di BPN ada lowongan karyawan, maka saya daftarkan saja, siapa tahu diterima,” jawab ibu tersebut. Puji Tuhan, Harison diterima. Terhitung per Mei 1998 Harison memulai bekerja di BPN Manado. 

Sebagai seorang pengikut Kristus dan sekaligus Aparatur Sipil Negara (ASN) di BPN Harison tidak melupakan integritasnya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Apalagi saat ini marak isu-isu mafia tanah dan sebagainya yang kadang-kadang menyeret orang-orang di dalam BPN, ditambah stigma masyarakat yang sudah terlanjur beranggapan kalau berurusan dengan kantor pemerintahan harus memakai uang. 

Harison melihat permasalahan ini terjadi bukan hanya karena niat, tetapi juga karena ada kesempatan. Selain dari sisi oknum aparat, praktek uang pelican sering terjadi karena ketidaksabaran dari oknum masyarakat yang mengurus sertifikat tanah ke BPN. 

“Saya ingin cepat pak, bisa gak? Saya ingin cepat. Sudah berapa sih? Siapa yang harus saya hadapi?”  demikian ia menirukan oknum masyarakat. 

“ Padahal sistem di kantor itu sebenarnya sudah mengikat,” lanjut Harison. “Penyelesaian produk entah sertifikat atau hal lainnya itu bisa diukur jangka waktu penyelesaiannya dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Sudah ada aturan jelasnya,”jelasnya. 

Maka dari itu salah satu bentuk perbaikan layanan menurut Harison adalah memperbaiki komunikasi kepada masyarakat. Agar masyarakat bisa memahami dengan baik aturan dan prosedur pengurusan layanan. “Ketika sebuah layanan publik itu tidak terdeliver sesuai dengan waktu atau ketentuan yang sudah dijanjikan menurut peraturan, maka sering ada semacam kealpaan/kelupaan untuk menyampaikan ke masyarakat problem utamanya,” lanjut Harison. Kalau ada keterlambatan petugas harus memberikan informasi. Karena tidak memperoleh informasi lengkap, akhirnya masyarakat tidak pernah tahu dan mengalami penumpukan kekecewaan. 

Soal ada oknum aparat BPN yang terlibat dalam kasus pertanahan bagi Harison hal tersebut tidak perlu disangkal berlebihan dan tidak perlu dibenarkan terlalu besar. “Bagi saya pribadi, hal itu merupakan suatu proses yang harus dibenahi bagi sebuah organisasi suatu bangsa yang memang sedang masuk ke dalam tahap kematangan lebih tinggi,” katanya. Seiring sejalan dengan sistem yang semakin membaik, kebiasaan dan prosedur pemerintahannya turut membaik, masyarakatnya pun juga kemudian makin pintar, teredukasi, dan terinformasi. “Saya rasa lingkungan yang akan terbentuk di masa mendatang adalah lingkungan yang tidak nyaman lagi terkait dengan praktik-praktik tidak sehat seperti itu,” kata Harison.

Sebagai langkah lanjutan diperlukan adanya pencegahan misalnya dengan cara mengedukasi masyarakat untuk bisa mengurus sendiri proses pengajuan tanpa menyuruh orang. “Bisa datang sendiri mencari informasi ke kantor BPN sebelum mengurus permohonan sebuah layanan. Mengapa harus mempercayakan kepada orang lain (semisal makelar-red) jika bisa mengurus sendiri,” kata Harison. Di sisi lain pencegahan dari dalam BPN adalah dengan terus memperbaiki diri dan memperkokoh sistem. “Ini yang harus kita dorong, kita tumbuhkembangkan supaya ke depannya itu jangan lagi ada kesan bahwa kantor-kantor pelayanan publik maupun kantor-kantor pemerintah itu dalam tanda kutip sebagai tempat yang tidak bersih,” tambah Harison.  

Menurut Harison dalam usaha memerangi birokrasi yang buruk, korupsi di lingkungan pemerintahan, mafia tanah dan lain sebagainya tidak bisa serba instan dan memerlukan perjuangan. Pada intinya menurut Harison, kuncinya adalah menciptakan dan mengelola sistem pemerintahan dengan fungsi optimal setiap bagian yang membuat orang yang berniat jahat tidak nyaman bergerak. 

“Nah, disinilah fungsi kehadiran anak-anak Tuhan, apakah masih bisa mendengar suara Tuhan? Jujur dalam bertindak, ikhlas dan berani dalam menghadapi hal-hal yang kadang-kadang dalam praktek di lapangan tidak mudah untuk dilakukan,” terang Harison. 

Sebagai pemimpin di BPN Tangerang Selatan Harison merasakan situasi yang begitu membahagiakan karena dia diterima oleh teman-teman yang sebagian besar beragama Muslim. Sambil bekerja bisa sekaligus juga berdialog antar agama dengan mereka tentang kebaikan-kebaikan ajaran Kristus melalui perilaku hidup sehari-hari dan sebaliknya Harison pun bisa menyerap kebaikan-kebaikan stafnya yang beragama Muslim. 

Pengalamannya di masa kecil turut membantu Harison konsisten bersikap plural dan toleran. Pernah dirinya ketika menjabat Kepala Sub Bagian Luar Negeri di Kementrian ATR/BPN dan sedang menjalankan tugas di Madrid, Spanyol, Harison yang menolong teman-temannya yang  Muslim ketika mencari masjid terdekat untuk bersholat Jumat. 

“Padahal saat itu saya juga tidak bisa berbahasa Spanyol,” kenang Harison. Harison senang setiap kali bisa memberikan pertolongan atau bantuan kepada rekan-rekan kerjanya. Harison bisa menunjukkan bahwa semua perbedaan yang berkaitan dengan agama, suku ras dan sebagainya bukanlah sebuah rintangan untuk bekerja bersama-sama dengan solid. “Yang saya harus lakukan adalah meningkatkan kemampuan berkomunikasi, mengingat perbedaan latar belakang yang harus saya hadapi,” kata Harison. 

Demi meningkatkan layanan pekerjaan di tengah era digital, Harison tidak ragu untuk memanfaatkan segala bentuk media dan teknologi yang ada. Misal mengedukasi masyarakat lewat media-media baru seperti: Instagram, FB, maupun siniar (podcast) yang memang lebih disukai oleh anak-anak muda sekarang. Khususnya untuk menjelaskan berbagai informasi terkini berkaitan dengan kegiatan dan layanan BPN.  Media-media baru seperti Youtube dan podcast ini  tak jarang dipergunakan Harison untuk menyampaikan berbagai tema-tema berat namun dikemas secara sederhana, detail dan harus tetap fun

“Saya kalau bercerita tentang pelayanan BPN atau tentang berbagai hal lain di Youtube atau podcast tidak hanya tentang tata cara kerja, aturan-aturan dalam organisasi. Kita harus mengemasnya secara menyenangkan agar dialog menjadi monoton. Kalau monoton, tidak sampai menit keduapun para penonton (kaum milenial) akan bosan lalu kemudian menutup gadgetnya dan tidak mau menonton lagi,” kata Harison. 

“Jadi saya harus cerita dengan cara dan gaya sederhana seperti memberitahu bahwa selama Republik ini ada kamu masih ada harapan untuk membeli tanah dan membeli rumah. Kamu harus mempertahankan rumahmu, tanahmu dengan sebaik-baiknya,” lanjut Harison. 

Menurut Harison, di masa sekarang setiap orang harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam menghadapi berbagai dinamika yang sangat cepat. “Kalau kita tidak bisa beradaptasi menyesuaikan perkembangan zaman saya pikir kita akan kesulitan menyampaikan pesan-pesan kita, apapun itu,” lanjut Harison. 

Sebagai anak daerah yang berhasil menapaki karir di lembaga pemerintahan, Harison menolak pandangan anak-anak muda Kristen yang beranggapan bahwa kesempatan untuk berkarya atau berkarir di lembaga pemerintahan itu sangat sulit. Ada yang masih beranggapan bahwa bagi seorang pengikut Kristus, yang merupakan minoritas, sulit untuk masuk atau berkarir di lembaga pemerintahan. Harison justru melihat, setiap pengikut Kristus memiliki kesempatan untuk berkarya dan menunjukkan jati dirinya sebagai pengikut Kristus yang pantas menjadi teladan bagi orang lain. 

Harison mengambil contoh tokoh dan kisah dalam Alkitab yang bisa merepresentasikan situasi dan kondisi anak-anak Tuhan di tengah warga bangsa ini. Di dalam Kitab Daniel ada Sadrakh, Mesakh, dan Abednego yang dipakai dan dipercaya penguasa Babel pada saat itu, Nebukadnezar, yang secara pemahaman agama berbeda dengan mereka. Dalam semangat dan kualitas pekerjaan mereka lebih dari orang-orang lain di Babel. Kemudian ada tokoh Ester dan tokoh-tokoh lain yang hidup di dalam pemerintahan dan berkarya di tengah penguasa dan masyarakat yang berbeda latar belakang iman dan budayanya. 

“Masalah sebenarnya bukan berasal dari perbedaan iman ataupun agama, tetapi kita harus bertanya buah-buah apa sebenarnya yang kita hasilkan sebagai anak muda Kristen,” kata Harison.

 

Buah-buah yang kita hasilkan dan kemudian kita lakoni sebagai seorang yang beriman mestinya adalah buah-buah kebaikan,” lanjut Harison. 

Konkretnya menurut Harison buah Roh yang tampak dalam: kasih, kebaikan, sukacita, lemah-lembut, kebaikan, dan kejujuran, penguasaan diri dan sebagainya harus terpancar dari diri kita dan dapat dirasakan orang banyak. Bagi Harison tidak ada satu hukum pun di dunia ini maupun sistem pemerintahan di dunia ini yang menolak buah-buah roh itu. Harison menegaskan bahwa Kristus datang ke dunia bukan sekadar membawakan Kabar Baik atau Kabar Sukacita bagi semua manusia. Kristus hadir untuk menawarkan sebuah gaya hidup yang lerbih baik, yang pantas diikuti dan dibagikan. Menjadi tugas kita untuk memperlihatkan gaya hidup pengikut Kristus tersebut dalam hidup sehari-hari. 

“Dikotomi pemikiran mayoritas dan minoritas, membuat kita minder dan malahan membuat kita lupa untuk berbuah,” kata Harison. 

Anak muda Kristen harus bisa menunjukkan sisi baik dari dalam dirinya yang menembus batas-batas perbedaan iman, suku agama maupun ras. Sehingga yang akan tampil bukan lagi agamanya apa atau sukunya apa tetapi apa yang bisa dihasilkan dan berguna bagi kemajuan bangsa ini dari waktu ke waktu. Harison percaya ketika saat ini dipercaya untuk memimpin staf-staf yang berbeda agamanya karena kualitas pekerjaan dan kemampuan kepemimpinan yang dia lakoni selama ini. Atasannya tidak melihat latar belakang suku atau agama Harison, tetapi apa yang mungkin dilakukan oleh seorang Harison untuk bangsa dan negara yang sama-sama dicintainya ini. 

Di atas semua kemampuan pribadi dan kesempatan yang ada, Harison memandang bahwa jalan hidup setiap orang sudah diatur oleh Tuhan. Dan kehendak Tuhan selalu baik. “Yang harus kita lakukan adalah percaya, berserah dan tunduk kepada kedaulatan Tuhan,”tegasnya. 

Di tengah berbagai kesibukannya sebagai abdi negara dan juga menyelesaikan studi S3 di IPB Bogor, suami dari Youla G. Kowaas dan bapak tiga orang anak ini dikenal punya kebiasaan unik, yaitu membagikan petikan-petikan ayat Alkitab, renungan atau kata-kata mutiara kepada rekan-rekannya di berbagai grup Whattsapp. “Misi saya sederhana, saya ingin berbagi harapan kepada semua orang!”tuturnya. Melalui pesan-pesan yang dikirimkan tersebut dirinya hanya ingin menguatkan semua orang dan berbagi sukacita. 

“Kadang kita tidak menyadari setiap hari begitu banyak orang yang berhadapan dengan berbagai masalah dalam hidupnya. Kita tidak tahu pergumulan dan kesulitan apa yang menimpanya. Mungkin dia hanya seorang yang sedang dilanda kekecewaan atau bahkan mungkin hari ini dia adalah seorang yang sedang berada di titik kritis, memutuskan apakah dia masih tetap melanjutkan hidupnya di dunia yang fana ini atau dia harus segera mengakhirinya. Perjuangan saya adalah bagaimana pesan-pesan sukacita itu, pesan-pesan harapan itu harus sampai kepada siapa pun,” kata Harison. “Lewat pesan-pesan itu saya ingin meyakinan setiap orang yang memiliki pergumulan bahwa harapan selalu ada bagi orang yang percaya kepada Tuhan, dan bahwa setiap pergumulan akan dapat diselesaikan dengan meyakini pertolongan-Nya,” tambahnya. Harison bukan sekadar berucap, melainkan karena pengalaman hidupnya sendiri yang meyakinkannya betapa Tuhan tidak pernah meninggalkannya di titik-titik sulit kehidupan. 

Pernah suatu ketika di masa-masa sulit Harison seperti “menguji” Tuhan. Uang di kantongnya sudah habis. Sementara ia mesti membeli susu untuk anaknya dan mie instan untuk makan malam. Waktu itu harga susu empat belas ribu. Dirinya berpikir uang sebesar dua puluh ribu akan cukup untuk membeli susu anaknya dan untuk makan dia bertahan hidup malam itu. Maka, Harison pun kemudian berdoa dan tidak lama Tuhan menjawab doanya segera. Tuhan memberikan persis dua puluh ribu tidak lebih dan tidak kurang. Jawaban Tuhan ini seperti tamparan bagi Harison. Karena kecemasannya membuat dia tidak meyakini dan meragukan pemeliharaan Tuhan kepada keluarganya. 

Pernah juga lain waktu Harison menangis di Gereja karena hanya bisa memberikan persembahan tidak lebih dari lima ribu perak, padahal saat itu dia adalah ASN golongan tiga. Dirinya sudah tinggal di Jakarta sementara istri dan anak-anaknya masih di kampung halaman. Gajinya sebagian besar teralihkan sebagai bentuk tanggung jawab menghidupi istri dan anaknya yang berada di kota lain. Gajinya hanya cukup untuk biaya kost, hidup hemat dan mengirim uang untuk kebutuhan keluarganya. Sampai di suatu ibadah minggu ketika tiba waktunya memberikan persembahan dirinya bergumul. Jika ia persembahkan dua puluh ribu atau lima puluh ribu itu artinya malam ini dirinya tidak makan. 

Harison selalu mengingat masa-masa penuh kesulitan itu dengan penuh ucapan syukur dan sebagai bagian dari proses hidupnya. Pengalaman hidup tersebut membentuknya menjadi orang yang peka terhadap kesulitan orang lain. Maka kata Harison, ketika Tuhan masih memberikan kepada setiap insan nafas, usia, dan kemampuan untuk berkarya di dunia ini, maka itu bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk memberi manfaat bagi orang lain juga. Ada orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita untuk kita tolong dan bantu.  Sebesar apapun atau sekecil apapun bantuan kita akan meringankan beban orang tersebut. Dukungan dan bantuan kita akan meyakinkan sesama yang bergumul bahwa selalu ada harapan dan masa depan yang lebih baik di dalam Tuhan. 

Benar pernyataan Harison. Kita hidup dan diciptakan untuk sebuah tujuan. Bukan tanpa arti dan kebetulan. Dan tujuan terbesar kita lahir ke dunia ini untuk melakukan pekerjaan Tuhan. Bahkan Yesus datang ke dunia ini juga untuk sebuah tujuan. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri tapi hidup untuk Tuhan. Seperti tulis Rasul Petrus kepada umat percaya di Asia kecil dalam 1 Petrus 2:9: yakni supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Dan Harison meyakini benar panggilan ini, menjadi utusan Tuhan untuk memberitakan terang-Nya yang ajaib melalui buah-buah kehidupan yang baik.

 

Perlando