Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan (2)

Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan (2)

Kesaksian Pdt. Dr. Margie Ririhena lepas dari Covid-19

Pada hari itu Minggu, 29 Maret pukul 14.00 siang saya dijadwalkan menjalani test swab di Laboratorium Dinas Kesehatan Bekasi, Hasil pemeriksaan swab akan keluar dalam dua hari. Pada tanggal 31 Maret 2020 pagi, hasil tes swab akhirnya keluar dan  kembali membuat saya terkejut. Ternyata saya benar-benar dinyatakan positif Covid-19. Sesungguhnya saya masih berharap hasil pemeriksaan swab berkebalikan dari rapid test. Tepat di tanggal 31 Maret, itu adalah hari ulang tahun saya dan saya mendapatkan kado yang luar biasa dari Tuhan. Peristiwa yang tentu tidak mungkin saya lupakan seumur hidup saya.

Tetapi yang menarik malam sebelumnya, saya seperti sedang dipersiapkan Tuhan untuk menerima kabar ini. Saya  membaca bagian firman Tuhan dari Habakuk 3: 17-19 : “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku.” Malam itu, saya membaca bagian Alkitab tersebut berulang kali sambil berusaha merenungkannya.

Pagi hari sekitar pukul 6, saya mengunggah teks Habakuk 3 tersebut di media sosial saya sebagai ungkapan syukur atas pertambahan usia. Selang dua jam setelahnya, Dinas Kesehatan memberitahukan informasi bahwa saya positif Covid-19. Saya kemudian menyadari mungkin ini cara Tuhan juga untuk mempersiapkan hati dan pikiran saya.

Puji Tuhan, dalam situasi yang sulit tersebut, saya merasakan Majelis Jemaat adalah support system yang luar biasa bagi saya. Semua bereaksi positif. Mereka mengatakan: Ibu apa yang bisa kami tolong? Ibu Pendeta kami mendoakan semoga cepat sembuh. Warga jemaatpun memberikan dukungan moral, jamu/obat tradisional dan doa. Dukungan mereka menguatkan hati saya. Saya katakan kepada mereka,”Doa kalian dan bagaimana kita terus bekerja untuk melakukan yang terbaik di masa-masa seperti ini adalah obat terbaik bagi saya.”

Sebenarnya jauh sebelum menjalani rapid test saya telah menjalani isolasi mandiri. Tepatnya sejak 16 Maret 2020. Saya mulai berhati-hati, meskipun saat itu tidak merasakan gejala terpapar virus, dan belum ada pembuktian melalui test. Saya sudah mulai bertanya-tanya dalam hati jangan-jangan saya terpapar Covid=19. Saya sudah membatasi pertemuan dan menjaga jarak dengan umat maupun keluarga. 
Hanya saja paska pemberitahuan dari Dinas Kesehatan, isolasi diri menjadi lebih ketat. Piring, gelas, sendok dan sebagainya yang saya pakai untuk konsumsi makanan harus dipisah dan saya cuci sendiri, demikian juga dengan pakaian saya cuci sendiri.  
Puji Tuhan, selama dinyatakan positif terpapar virus Covid dan menjalani masa isolasi di rumah, tidak terjadi penurunan kondisi. Tidak perlu harus dirawat. Tidak terlihat gejala-gejala menakutkan seperti yang sering diceritakan banyak orang dan media. Walaupun di sisi lain yang paling saya khawatirkan adalah jika saya adalah carrier, pembawa virus. Kalau tidak melakukan isolasi dengan ketat, saya tentu saja dapat menjadi pembawa virus yang berpotensi membahayakan orang lain.

Di tengah isolasi ketat saya tetap merasa fit, tetap bisa beraktivitas. Saya tetap dapat melakukan pertemuan atau rapat melalui aplikasi Zoom, menulis dan menguji mahasiswa. Saya juga tetap melakukan percakapan pastoral dengan umat dari dalam kamar yang adalah ruang isolasi saya. Setiap pagi saya mengirimkan pesan singkat kepada seluruh presbiter dan warga jemaat. 
Pada saat seperti itu saya seperti diingatkan kembali sebuah buku karya Henry Nouwen, Yang Terluka, Yang Menyembuhkan. Saya menyadari, saya mungkin sedang terluka dan sedang sakit, tetapi kesakitan saya dapat menyembuhkan kesakitan orang lain. Saya tidak boleh terus meratapi diri, saya harus bangkit untuk menyembuhkan diri saya sendiri dan orang lain yang ada di sekitar saya, melalui terapi-terapi pastoral yang dilakukan terus-menerus. Banyak umat yang membutuhkan pertolongan. Ada dari antara warga jemaat yang sedang sakit, ada yang mengalami pergumulan masalah ekonomi dalam situasi yang semakin sulit, ada yang mempunyai masalah keluarga. Sebagai pendeta saya tidak boleh berhenti melayani mereka hanya karena saya terpapar Covid-19. (bersambung)