Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan (3)

Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan (3)

Kesaksian Pdt. Dr. Margie Ririhena lepas dari Covid-19

Pada saat saya menjalani isolasi, ada pula warga jemaat yang tidak tahu bahwa saya sedang terpapar Covid-19. Mereka seperti biasa menelpon saya. Rata-rata mereka dari kalangan lanjut usia dan rentan di jemaat. Mereka kesepian, mereka hidup sendiri, sebatang kara, tanpa suami, anak ataupun cucu. Mereka ketakutan di tengah situasi yang sulit akibat pandemi. Bagi saya, melayani mereka yang kesepian dan ketakutan malah telah meneguhkan dan menguatkan saya. Ternyata ada banyak orang yang sedang hidup dalam kesusahan. Mereka membutuhkan cerita-cerita baik, harapan-harapan dan kepastian bahwa Tuhan juga ada bersama mereka. Walaupun untuk sementara saya hanya bisa melakukannya lewat telepon dan WA.

Selama masa isolasi, secara aktif petugas dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi melakukan kontrol. Mereka sangat terbuka dalam berkomunikasi dan sangat menolong dalam proses pemulihan. Mereka memberi banyak informasi yang positif. Saat itu di berbagai media yang sering muncul adalah berita-berita negatif yang menganggap infeksi Covid-19 merupakan penyakit tanpa solusi dan pengharapan. Kesan bahwa layanan Dinas Kesehatan sering dicap buruk ternyata juga tidak terbukti. Pelayanan Dinas Kesehatan Kota Bekasi sangat komunikatif. Mereka terbuka 24 jam. “Kapanpun ibu perlu pertolongan silakan WA ataupun menelpon, kami akan menjawab dan menolong,”demikian kata dokter yang menolong saya. Mereka betul-betul melayani dengan tulus warga masyarakatnya.

Munculnya pertanyaan reflektif di benak saya selama positif covid 19 adalah, “Mengapa saya bisa sakit? Mengapa saya bisa terpapar virus?” Jawaban pertama yang muncul di benak saya adalah: pasti ada maksud Tuhan di balik peristiwa yang saya alami ini. Saya betul-betul mengimani dan mengaminkan pernyataan ini. Suatu ketika setelah sembuh saya menonton siaran televisi dan ada dr. Monika Theresia dari RS Maranatha Bandung yang menjelaskan tentang hasil dari pengobatan Covid-19 dengan plasma darah. Ketika melihat berita tersebut, saya kemudian seperti mendapat jawaban “Ini maksud Tuhan untukmu,”demikian pikir saya.

Menurut penelitian dr. Monika, donor plasma dari penderita yang sudah sembuh dan memiliki imunitas bisa menolong mereka yang dalam keadaan kritis maupun yang sudah menggunakan ventilator. Saya yang tidak bergejala saja demikian kaget dan shock ketika mendengar vonis positif covid 19, terlebih lagi yang  terisolasi di Rumah Sakit atau berada di ruang ICU.

Besoknya saya mencoba menghubungi orang-orang yang dapat memberi info tentang donor plasma di  rumah sakit terdekat yang bisa melakukan pengambilan plasma darah. Ternyata benar, tidak perlu jauh-jauh ke Bandung, sebab RSPAD Gatot Soebroto bisa melakukannya. Saya mencoba mengontak RSPAD dan menanyakan apakah di sana saya dapat  mendonorkan plasma darah. Ternyata RSPAD bisa melakukannya, mereka menjadwalkan tanggal yang sama-sama kami sepakati. Sekarang saya sudah mendonorkan plasma melalui RSPAD. Semoga bisa menolong mereka yang sungguh-sungguh membutuhkannya.

Di jemaat GPIB Galilea Bekasi tempat saya melayani, bersama dengan  para presbiter, kami memutuskan untuk mengalihkan seluruh dana Paskah yang perayaannya tidak dapat dilaksanakan sebagaimana lazimnya, untuk kegiatan kemanusiaan. Salah satunya, kami memberikan bantuan dana kepada warga jemaat yang pekerjaannya terdampak oleh pandemi Covid, misalnya: ojek online, yang mengalami PHK, yang mengalami pengurangan gaji yang siginifikan. Mereka mendapatkan bantuan dari gereja.

Di luar itu, gereja juga membagikan masker (pada waktu itu belum sepopuler sekarang penggunaan masker). Ada seorang warga jemaat yang berprofesi penjahit memberi contoh video tutorial dalam hal menjahit masker. Kemudian tutorial tersebut dishare di antara ibu-ibu dan mereka ikut menjahit masker (walau tetap saja kami harus memesan karena kebutuhan masker yang dibagikan cukup banyak) dan kemudian gereja menyebarkannya.

Memang tidak banyak yang bisa saya lakukan ketika sakit. Setelah pulih, saya melihat makin banyak warga yang terdampak efek Covid-19. Bukan hanya lagi soal penyakitnya, karena kesadaran untuk menjaga kebersihan dan menjaga jarak sudah mulai tumbuh di tengah umat. Namun, yang utama adalah dampak ekonomi dan psikis yang semakin perlu diperhatikan gereja dengan serius. Gereja membentuk tim Satgas Covid 19 Jemaat yang memiliki beberapa kegiatan antara lain, membuat sentra ketahanan pangan  jemaat Galilea. Dengan mengumpulkan dana, sembako, atau apapun yang bisa dikumpulkan, misalnya beras, minyak, mie instan, telur dan sarden yang merupakan bahan makanan dasar untuk bertahan hidup. Dalam khotbah-khotbah, saya kerap mengingatkan diri saya dan jemaat untuk memastikan jangan sampai ada jemaat yang tidak dapat makan, dan memastikan jangan ada tetangga kita yang tidak dapat makan karena tidak ada makanan. Kita harus sama-sama bergerak untuk memastikan semua orang dapat makan. Karena kunci utama bertahan dari Covid-19, menurut saya adalah cukup makan makanan yang sehat. Kalau orang kelaparan pasti daya tahan tubuh akan menurun.

Sebagai seorang pendeta, saya merasa hidup itu ada hanya karena belas kasihan Tuhan. Kalau Tuhan mengizinkan saya hidup sampai hari ini, maka saya harus memanfaatkannya untuk melakukan kebaikan, jangan ditunda. Karena belum tentu besok atau lain hari saya bisa melakukan pelayanan ini. Saya berefleksi bahwa Hidup ini adalah sebuah kesempatan, namun sekaligus juga hanya karena belas kasihan Tuhan, bukan karena kekuatan kita.

Terhadap banyak orang yang diliputi rasa khawatir berlebihan terhadap Corona, saya menyarankan untuk menjaga jarak, menjaga kesehatan dengan baik. Protokol pemerintah harus kita taati. Kita juga harus percaya bahwa Tuhan tidak pernah tertidur. Tuhan ada dalam hidup ini. Maka dari itu jangan takut melewatinya. Kalau kita diizinkan melewatinya pasti ada rencana Tuhan di baliknya dengan tetap mengikuti protokol penanganan pasien covid 19.

Teruslah bekerja, berkarya meskipun dalam segala keterbatasan dari rumah. Tidak usah menunggu situasi normal, jangan menunggu kaya dan berlebih baru melakukan kebaikan bagi sesama yang membutuhkan. Salah satu kegiatan di jemaat Galilea yang bias dilakukan oleh semua keluarga adalah aksi “Nasi Bungkus Halal Untuk Sahabat.”, dari meja makan keluarga-keluarga di gereja kami, tiap keluarga berbagi dengan sesama minimal satu bungkus yang diambil dari jatah makan keluarga. Satu bungkus nasi sudah bisa menolong satu nyawa yang kelaparan. Meskipun dari rumah, banyak hal baik yang masih bisa kita lakukan.

Yang terakhir, meskipun kita sadar dukungan keluarga, para sahabat, presbiter dan jemaat menjadi support system kita, namun jangan lupa bahwa firman Tuhan sangat berarti dalam meneguhkan kita di tengah masa pandemic ini. Karena itu tetaplah membaca Alkitab, karena firman Tuhan itulah makanan rohani yang menguatkan kita dalam segala situasi. Manusia hidup memerlukan makanan, namun makanan rohani juga sangat kita butuhkan. Secara seimbang kita harus menikmatinya dengan penuh sukacita. Jangan abai membaca firman Tuhan!