Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan(1)

Hidup Adalah Belas Kasihan Dan Anugerah Tuhan(1)


Kesaksian Pdt. Dr. Margie Ririhena lepas dari Covid-19

Kepastian seseorang terpapar Covid-19 tentu saja setelah menjalani rapid test dan swab test. Tetapi saya mulai khawatir, dalam arti mulai menduga jangan-jangan saya terpapar virus Covid ketika rekan-rekan saya dalam kegiatan gereja dinyatakan positif Covid bahkan ada yang meninggal. Jangan-jangan saya juga positif Covid. Walaupun saya tidak mengalami gejala sama sekali. 

Memang pernah saya tiga atau empat hari saya mengalami flu dan sempat demam, namun saya berpikir itu hanya kelelahan karena padatnya kegiatan yang saya jalani. Sampai pertengahan Maret, saya masih aktif berkegiatan bahkan masih menjalani rapat di Bandung dalam rangka kegiatan PGIW Jawa Barat. Pada saat itulah saya diberitahu ada rekan sepelayanan yang meninggal dan ditengarai akibat terpapar Covid-19, karena prosesi pemakamannya dengan menggunakan aturan protokoler Covid-19. 

Tentang di mana saya terpapar Covid-19, tidak pernah saya ketahui dengan pasti. Memang saya ikut hadir dan cukup aktif dalam persidangan Sinode GPIB di Bogor, bahkan salah seorang anggota Panter (Panitia Materi) Persidangan. Saya juga diminta menjadi moderator dalam beberapa diskusi bersama beberapa narasumber.  Namun, menurut Dinas Kesehatan Kota Bekasi yang memeriksa saya, selang waktu antara saya dinyatakan positif Covid-19 dengan masa berjalannya persidangan Sinode GPIB jaraknya terlalu jauh. Dinas Kesehatan menganggap tidak mungkin terpapar dari persidangan GPIB di Bogor tersebut. 

Ketika menjalani rapid test kondisi saya baik-baik saja, tanpa gejala sama sekali. Saya cukup kaget ketika pada Sabtu malam, 28 Maret 2020 hasil rapid test menyatakan saya positif Covid-19. Pada saat itu saya sedang mempersiapkan diri untuk menjalani rekaman khotbah Ibadah Minggu Online di GPIB Galilea.   Pada waktu itu informasi tentang Covid-19 masih sangat minim. Yang muncul di media adalah berita-berita yang cenderung menakutkan. Berita kematian, berita orang-orang yang tidak bisa ditolong. Hasil rapid test membuat saya sedikit panik. Saya bingung bagaimana cara menyampaikan informasi tersebut kepada jemaat. 

Namun, sesaat kemudian saya diam, meneduhkan diri dan berdoa. Saya mohon pimpinan Tuhan untuk menyampaikan khotbah kepada umat. Suami saya katakan,”Kamu harus tetap berkhotbah, karena jemaat sudah menunggu. Besok Minggu mereka harus mendengar Kabar Baik, dan kamu harus menyampaikan suatu pesan.”

Pernyataannya menyemangati saya dalam menyampaikan pesan kepada jemaat. Saya seperti mengkhotbahi diri saya sendiri. Saya katakan,”Kita mungkin susah tetapi di luar sana banyak orang yang lebih susah dari kita. Kita mungkin juga sedang sakit, tetapi di luar banyak yang lebih menderita dari kita. Karena itu kita tidak boleh meratapi terus menerus kesakitan dan penderitaan kita. Kita harus bangkit.” 

Hingga selesainya ibadah minggu online GPIB Galilea, belum ada warga jemaat yang tahu. Selesai ibadah, saya mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan pesan lewat Whasttapp kepada majelis dan warga jemaat. Memang terasa berat, perasaan saya bercampur aduk. Tetapi mau tidak mau saya harus menyampaikan informasi tersebut. Saya tinggal di tengah-tengah umat. Saya khawatir jika ada umat yang terpapar virus dari saya. Saya ingin memutus mata rantai penyebaran virus secepatnya. 

Selain khawatir dengan warga jemaat dan para pelayan gereja yang berinteraksi dan beraktifitas bersama saya sehari-hari, saya juga khawatir dengan ibu saya yang sudah berusia lanjut (82 tahun) dan keluarga saya. Maka saya memberi tahu keluarga dekat dan para majelis gereja, orang-orang yang saya rasa bertemu dengan saya dalam beberapa minggu belakangan.

Bersambung....