IBU: PEREMPUAN PERKASA.

IBU: PEREMPUAN PERKASA.

 

Selama Pandemi COVID-19 pada 2020 kita menyaksikan nama-nama Jacinda Ardern, Tsai Ing Wen serta Angela Merkel disebut sebagai perempuan-perempuan perkasa. Mereka, masing-masing adalah Perdana Menteri Selandia Baru, Presiden Taiwan dan Kanselir Jerman, dan mereka dianggap berhasil dalam menekan penyebaran COVID-19 di negara mereka pada tingkat yang minimum. Mengapa? Kita lihat jawabnya nanti.

Di negara kita, pada tataran yang lain kita juga menjumpai adanya perempuan-perempuan perkasa dalam kehidupan sehari-hari. Di Yogyakarta, kita melihat ada fenomena khas di pasar-pasar tradisional yang tidak terdapat di daerah lain. Mereka adalah perempuan-perempuan berusia paruh baya hingga sepuh yang berprofesi sebagai buruh gendong di pasar-pasar. Pekerjaan mereka bervariasi mulai dari membawakan belanjaan ibu-ibu rumah tangga dengan upah Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000, membawa belanjaan pengusaha warung, hingga terlibat dalam bongkar muat muatan truk secara borongan dengan hasil kira-kira Rp.100.000 per orang yang harus ditebus dengan menggendong muatan berbobot 70kg hingga 100kg sekali jalan. Inilah perempuan-perempuan perkasa di sektor informal dari Yogyakarta.

Ketika ditanya mengapa mereka mau melakukan pekerjaan berat ini, rata-rata pengakuan mereka seragam. Mereka berpendidikan rendah. Rata-rata hanya berpendidikan SD. Tetapi mereka bercita-cita luhur. Mereka ingin agar anak-anaknya mampu meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi demi penghidupan yang lebih baik. Dan ternyata benar, ada diantara ibu-ibu tersebut mampu membantu perekonomian keluarga sehingga 3 anaknya mampu bersekolah hingga meraih gelar sarjana. Untuk itu, semua penderitaan harus dijalani. Selain membutuhkan kekuatan fisk tidak jarang  mereka harus ketabahan untuk berpisah dengan keluarga, tinggal di los-los pasar dan hanya berjumpa dengan keluarga dua minggu sekali atau sebulan sekali. Banyak dari mereka adalah bagian  komunitas “bara” (dibaca: boro), para pengembara, atau pekerja migran lokal.

Selain di Yogyakarta, kita juga menjumpai para perempuan perkasa di Nusa Tenggara Timur (NTT)/Sumba. Mereka adalah para penenun kain tradisional. Pada mulanya mereka menenun karena tradisi/adat. Mereka menenun untuk disimpan untuk berbagai keperluan adat penting seperti pernikahan atau  sebagai bekal bagi anak perempuan ketika menikah. Pembuatan kain tenun tradisonal Sumba memakan waktu yang lama. Antara 3 bulan hingga 3 tahun, tergantung ukuran, kerumitan motif serta pewarnaan. Pada saat yang sama NTT adalah salah satu kantung kemiskinan di negeri ini. Selain wilayah yang kering/sulit air, adat yang mensyaratkan nilai “belis” (mahar, seserahan) yang tinggi mengakibatkan kepala keluarga menabung untuk memenuhi belis ini – yang semakin hari semakin tinggi – sehingga alokasi dana untuk pendidikan dan kesehatan kurang diprioritaskan.

Namun, dengan pendampingan beberapa LSM/NGO ketrampilan para penenun ini mulai diberdayakan demi dana pendidikan dan kesehatan. Akibatnya kini sudah ada anak-anak muda yang berhasil meraih gelar sarjana yang dibiayai dari hasil menenun tersebut. Dan kini, siapa di Nusantara ini yang tidak mengenal kain Sumba yang bernilai tinggi yang tengah diupayakan memperoleh pengakuan sebagai “Warisan Budaya Dunia” oleh UNESCO.

Demikianlah dunia ini penuh oleh perempuan-perempuan perkasa? Alkitab juga mencatat adanya perempuan-perempuan perkasa. Salah satunya adalah Debora, nabi, hakim sekaligus “ibu bangsa” bagi Israel pada waktu itu. Tertulis dalam Alkitab, “Pada waktu itu Debora, seorang nabiah, isteri Lapidot, memerintah sebagai hakim atas orang Israel, Penduduk pedusunan diam-diam saja di Israel, ya mereka diam-diam, sampai engkau bangkit, Debora, bangkit sebagai ibu di Israel” [Hakim-Hakim 4:4; 5:7] – Sejarah Abad XX juga mencatat adanya seorang “Ibu Bangsa” bagi Israel modern dalam diri Perdana Menteri Golda Meir (memerintah tahun 1969-1974) – satu-satunya Perdana Menteri Israel Perempuan hingga kini. Pada masa itu Israel mengalami beberapa konflik seperti “War of Attrition” 1968-1970, Pembantaian Olimpiade Munich 1972 dan Perang Yom Kippur 1973. Tahun-tahun yang sulit. Dilukiskan bahwa perdana menteri adalah “Ibu yang menangisi anak-anaknya namun tetap teguh berjuang demi anak-anak bangsa yang dicintainya” Demikian pula Jacinda Ardern, Tsai Ing Wen serta Angela Merkel adalah ibu-ibu bangsa yang menangis sekaligus berjuang bagi anak-anak bangsa demi melewati Pandemi COVID-19. Jika laki-laki adalah makhluk yang logis namun seringkali kering emosi, maka perempuan adalah IBU yang melahirkan, membesarkan, mendidik, sekaligus mengayomi dan melindungi anak-anaknya. Itulah kelebihan kepemimpian perempuan.

Buat bangsa kita adalah sangat tepat memperingati hari perjuangan/pergerakan perempuan Indonesia pada 22 Desember sebagai “Hari Ibu” – bukan sebagai mother’s day – melainkan menghormati perempuan sebagai “Ibu Bangsa (mother of the nation) yang melahirkan generasi-generasi baru bangsa ini, membesarkan, merawat, mendidik serta melindunginya. Sebuah peran yang luhur dan mulia serta penuh perjuangan. Demikian juga peringatan hari perempuan sedunia pada 8 Maret merupakan bentuk apresiasi atas perjuangan kaum perempuan. Maka, tidaklah mengherankan jika para teolog perempuan yang terilhami oleh tulisan-tulisan Marie-Claire Barth Frommel menghayati dan memahami hati Allah bagaikan hati seorang ibu. Allah yang penuh kelembutan, kasih sayang, pengampun dan pemelihara seluruh makhluk ciptaan-Nya.

Abad XXI dan ke depan semakin menuntut peran yang seimbang dan tidak bias jender antara laki-laki dan perempuan. Masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga saling melengkapi sebagai “mitra yang sejajar” [Kejadian 2:18]. Demikian harapan seluruh umat manusia di bumi ini. Oleh karena itu  pula, segenap ‘civitas biblica’ di negeri ini berdoa dan menaruh harapan yang besar terhadap kepemimpinan seorang perempuan perkasa yang memimpin Lembaga Alkitab Indonesia yang mampu berperan sebagai Ibu bagi civitas biblica negeri ini. Selamat memperingati International Women’s Day, 8 Maret 2021. ***


Pdt. Sri Yuliana, M.Th.