JALAN SUNYI SANG PAHLAWAN

JALAN SUNYI SANG PAHLAWAN

 

Dalam sebuah acara Jamboree Anak-Anak -untuk mengisi liburan sekolah- ada seorang pembina bertanya kepada peserta, “Anak-anak siapakah pahlawan kalian?” Ada banyak jawaban. Ada yang menyebut nama-nama pahlawan nasional, ada yang menjawab polisi, tentara, banyak pula yang menyebut Tuhan Yesus, ada pula yang menyebut Spiderman, dan sebagainya.

Ketika pembina bertanya lebih lanjut, apa alasan anak-anak tersebut memilih pahlawan pilihan mereka, yang menjawab nama pahlawan nasional menyebut bahwa mereka berjuang melawan penjajah, yang menyebut polisi menyebutkan karena polisi menangkap orang jahat, yang menjawab tentara menyebut bahwa tentara menjaga negara dari serangan musuh, dan seterusnya. Sejak kecil, secara tidak sadar, anak-anak telah dikonsep bahwa pahlawan adalah pembela hak, penegak kebenaran serta keadilan melalui perlawanan bersenjata. Demikian pula Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pahlawan sebagai, “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani”. Senada.

Namun dalam Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa, 10 November kemarin ada sesuatu yang berbeda. Salah satu yang mendapat gelar Pahlawan Nasional adalah Usmar Ismail, dan Tanda Kehormatan Bintang Jasa diberikan kepada 300 orang yang meninggal dunia selama penanganan Pandemi COVID-19. Jadi, tidak selamanya mereka yang mendapat gelar pahlawan nasional adalah mereka yang mengalami pertempuran dengan musuh. Walau selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949, Usmar Ismail menjalani dinas militer aktif dengan pangkat terakhir Mayor, namun bukan karena hal itu beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional. Usmar Ismail mendapat gelar Pahlawan Nasional karena jasa beliau sebagai pelopor perfilman nasional agar mampu bersaing dengan film-film Holywood yang menguasai perfilman dunia, walau untuk itu beliau harus jatuh bangun untuk mewujudkan ‘passion’-nya. Studio film-nya di kawasan Mampang pernah disita pemerintah karena persoalan keuangan. Namun kini orang mengakui beliau sebagai Bapak Perfilman Nasional juga sebagai Pahlawan.

Di hari yang sama, 10 November kemarin, Presiden juga menghadiri malam Penganugerahan Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2021. Dalam sambutannya beliau mengatakan, “66 tahun yang lalu Bapak Haji Usmar Ismail dan Bapak Jamaludin Malik memprakarsai penyelenggaraan Festival Film Indonesia sebagai perayaan dan apresiasi tertinggi bagi perfilman Indonesia. Karena itu, tahun ini, pagi tadi, sebagai wujud penghargaan tertinggi untuk para pejuang kebudayaan, atas nama bangsa dan negara, saya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Bapak Haji Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia," Pada bagian lain beliau juga mengatakan, bahwa beliau bangga karena dalam masa sulit Pandemi COVID-19 ada 4 film nasional yang meraih penghargaan internasional. Beliau juga memuji insan perfilman nasional yang mampu melihat kehidupan masyarakat dari sudut-sudut pandang yang belum terpikirkan oleh pemerintah. “Sebuah pandangan yang tajam, yang diwujudkan dalam sebuah film yang sangat apik”, beliau menambahkan.

Seorang pahlawan memang seringkali harus menempuh jalan perjuangan yang sunyi dan panjang penuh kerikil-kerikil tajam serta onak dan duri. Ada sebuah prinsip yang baik yang menjadi nilai-nilai yang dianut oleh para taruna akademi militer West Point di Amerika Serikat yang menjadi bagian dari doa harian mereka, “Encourage us in our endeavor to live above the common level of life. Make us to choose the harder right instead of the easier wrong, and never be content with a half truth when the whole can be won”, yang jika diterjemahkan kurang lebih berarti, “Dorong dan beranikan kami agar selalu berusaha keras untuk hidup di atas rata-rata kehidupan orang kebanyakan. Ijinkan kami untuk melalui jalan yang sulit namun benar daripada memilih jalan yang mudah namun salah, dan kami tidak puas jika hanya mampu meraih  sebagian tujuan hidup kami  jika seluruhnya dapat kami raih.” Saya rasa, Usmar Ismail, juga para pahlawan dan para pejuang secara sadar atau tidak memegang prinsip ini, bahkan Sang Guru kita Yesus Kristus pun demikian juga, “Ya, Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu daripadaku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki”. [Matius 26:39].

Anak-anak peserta Jambore mungkin tidak sadar ketika menyebut Tuhan Yesus sebagai pahlawan, bahwa ada jalan penderitaan, penuh perjuangan nan sunyi, bahkan penghujatan yang harus dijalani oleh seorang pahlawan. Via Dolorosa. Bagi anak-anak yang menjawab “Tuhan Yesus adalah pahlawan kami” adalah jawaban aman yang tidak mungkin disalahkan oleh kakak pembina, walau mungkin tidak sadar akan makna yang dalam dan implikasi seorang pahlawan. Bagi anak-anak, “Tuhan Yesus adalah  Pahlawan” hanyalah sebatas Yesus sebagai juru selamat yang sudah menebus dosa-dosa mereka. Titik. Itulah yang mereka ketahui dari Sekolah Minggu dan cerita dari orang tua mereka. Tapi, bagi kita orang dewasa makna “Yesus Pahlawan” seperti apa yang ingin kita terapkan dalam hidup keseharian kita? Apakah sekadar pemberi berkat, berkat dan berkat serta kemudahan dalam hidup? Atau beranikah meneladanibn dan  menjalani kehidupan  “the harder right than the easier wrong” sebagai murid Kristus? Kristus pernah berkata kepada para murid, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” [Yohanes 4:34]menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas-tas-tas-tas, itulah misi seorang pahlawan dan melakukan kehendaknya adalah misi seorang Kristen dan itu adalah makanan sehari-hari.

Siapapun dapat menjadi pahlawan selama ia melakukannya demi kebaikan orang lain, tanpa dinding pemisah dan konsep-konsep yang berbeda dalam otak kita. Menjadi seorang pahlawan tidak selamanya juga harus angkat senjata, berperang di dunia nyata maupun dunia maya lalu dengan bangga menyatakan kepada dunia bahwa ide dan gagasan yang didapatnya adalah dari perjuangan panjang. Seorang pahlawan yang sesungguhnya adalah yang berkarya dan berjuang, sekalipun di jalan yang sunyi.