Jangan Istirahatkan Kata-Kata

Jangan Istirahatkan Kata-Kata

 

Memperhatikan laporan beberapa badan dunia seperti UNESCO, OECD, serta beberapa lembaga riset, dikatakan bahwa tingkat literasi Indonesia sangat rendah. Mengutip Laporan PISA tentang tingkat literasi Indonesia, nampak bahwa tingkat literasi Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara yang disurvei atau peringkat 6 dari bawah.

Apakah literasi itu? Dalam tingkat yang paling sederhana, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Dalam tingkat yang lebih tinggi adalah kemampuan untuk membaca, menulis, berhitung dan memahami sains dasar. Dalam pemahaman umum saat ini literasi adalah kemampuan memahami, mencerna dan mengolah informasi serta mampu menarasikannya kembali. Dalam hal survei PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan oleh OECD – Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan – yang melakukan penelitian terhadap kemampuan siswa usia 15 tahun dalam bidang bahasa, matematika dan sains setiap 4 tahun sekali, dilaporkan bahwa siswa-siswa Indonesia berada pada kisaran skor 370 dari hasil rata-rata 500.

Laporan hasil survei PISA 2018 yang dipublikasikan pada 2019 tersebut menuai pro-kontra. Ada yang setuju adapula yang menyangkal. Walaupun demikian marilah kita menguji beberapa fakta dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kita sering mendengar kata ajakan, “Ayo kita ke Blok M menggunakan busway”. Sepertinya tidak ada yang salah dengan kalimat itu, karena kita sudah terbiasa mendengarnya. Namun apabila kalimat itu kita ubah menjadi, “Ayo kita ke Jogja menggunakan rel kereta api” tentu perkataan itu menuai protes. “Kita ke Jogja menggunakan kereta api, bukan rel kereta api”. Bukankah busway adalah jalur khusus bus yang mempunyai pengertian yang setara dengan rel kereta api? Bukankah seharusnya kalimat ajakan ke Blok M tersebut adalah, “Mari kita ke Blok M menggunakan Bus Trans Jakarta”. Salah kaprah berbahasa demikian sangat banyak dijumpai di sekitar kita sehari-hari.

Salah kaprah demikian juga banyak dijumpai di lingkungan gereja, misalnya, sapaan dari seorang pendeta dari mimbar, “Saudara-sudara yang kekasih . . .” Pendeta tersebut punya banyak kekasih? Seluruh jemaat yang hadir dianggap sebagai kekasih? Lain halnya jika  kalimat  tersebut diperbaiki menjadi, “Saudara-saudara yang saya kasihi” atau “Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan”? Demikian pula dengan kalimat doa, “Tuhan ampuni dosa-dosa kami”. Tuhan mengampuni dosa atau mengampuni orang berdosa? Rasanya kalimat tersebut akan lebih baik jika diubah menjadi, “Tuhan ampuni kami, orang-orang yang berdosa ini”. Demikian juga, jika kita memperhatikan kata-kata “menempelak” dan kita lihat maknanya di Kamus Besar Bahasa Indonesia akan sangat berbeda dengan persepsi yang kita tangkap selama ini.

Dalam bahasa terkandung makna, gagasan dan pokok-pokok pikiran. Bahasa tersusun dari kata-kata. Jadi, salah menggunakan atau memilih kata menjadikan gagasan yang akan disampaikan akan salah dimengerti pula. Kata adalah elemen bahasa terkecil yang mengandung makna. Alam semesta ini tercipta dari gagasan Tuhan yang diucapkan seperti tertulis dalam Kitab kejadian 1:1-3, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum terbentuk dan kosong, gelap gulita menutupi samudera raya dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah, “Jadilah terang” Lalu terang itu jadi.” – Alam semesta ini diciptakan Tuhan dengan Firman. Firman adalah perkataan atau sabda Tuhan. Demikian besar kuasa perkataan Tuhan hingga alam semesta tercipta melalui kata.  Kata memiliki kekuatan pada dirinya sendiri. Demikian pula besar kuasa perkataan kita sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah [Kejadian 1:26]. Oleh karena itu kita perlu perlu tertib dalam berbahasa dan memilih kata. 

Kepada kita Tuhan menyampaikan gagasan, petunjuk serta peringatan melalui kata dan bahasa. Alkitab adalah kumpulan perkataan Tuhan dan kumpulan narasi yang ditulis untuk menyampaikan gagasan Tuhan kepada umat-Nya. Oleh karena itu, Alkitab ditulis dan diterjemahkan dengan bahasa yang baik dan benar. Dalam alam pemikiran yang seperti ini, kita sebagai umat dan makhluk ciptaan Tuhan juga perlu berbahasa dengan baik dan benar, agar kita dapat menerima gagasan Tuhan dengan baik dan benar serta menyampaikan gagasan-gagasan Tuhan tersebut kepada sesama dan seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, jangan batasi  kata-kata dari kekuatan yang dimilikinya. Jangan menghancurkan tatanan dalam berbahasa. Sebab dalam kata dan bahasa terbangun spiritualitas kita. Kita berpikir dan menghayati kehadiran Tuhan melalui narasi, melalui kata, bahasa, logika serta tata bahasa yang baik dan benar. 

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah puisi yang diinspirasi oleh puisi Wiji Thukul dan difilmkan pada tahun 2016 dengan judul "Istirahatlah kata-kata."

 

Jangan!

Jangan!!  

Jangan!!!  

 

Jangan kau istirahatkan kata-kata!

Meskipun dia hanya sepatah kata  

Meskipun dia tak laku berganti rupiah

Meskipun dia diculik lalu beralih makna

Meskipun dia dibenci dan terancam mati

Meskipun dia sebatang kara menanti ajal

 

Jangan,

Jangan kau istirahatkan kata-kata!

Kata adalah mata, liar nan tajam menusuk sang kejam

Kata adalah jeritan, kaum pinggir tertindas takhta

Kata adalah nurani, bergetar mengglegar hingga singgasana  

Kata adalah cahaya, terang Ilahi dalam kelam kejam dunia

Kata adalah sabda, suara nabi untuk mereka yang mabuk kuasa

Kata adalah rindu, untuk yang merindu di seberang sana

Kata adalah semangat, untuk mereka yang letih lesu

Kata adalah cinta, untuk mereka yang tercinta

Kata adalah nafas, untuk mereka yang hilang asa

Kata adalah doa, untuk Sang Khalik pemilik kata

Jangan!

Jangan!!

Jangan!!!

 

Jangan...

Jangan kau istirahatkan kata-kata 

Tidurlah engkau, tetapi...

Jangan kau istirahatkan kata-kata ...



Pdt. Sri Yuliana, M.Th.