Jansen Sinamo:   Kita Terus Berkarya, Karena Allah Juga Terus Berkarya

Jansen Sinamo:  Kita Terus Berkarya, Karena Allah Juga Terus Berkarya

 

Kerja adalah rahmat: Aku bekerja tulus penuh rasa syukur

Kerja adalah amanah: Aku bekerja penuh tanggung jawab

Kerja adalah panggilan: Aku bekerja tuntas penuh integritas

Kerja adalah aktualisasi: Aku bekerja penuh semangat

Kerja adalah ibadah: Aku bekerja penuh kecintaan

Kerja adalah seni: Aku bekerja tekun penuh keunggulan

Kerja adalah kehormatan: Aku bekerja tekun penuh keunggulan

Kerja adalah pelayanan: Aku bekerja paripurna penuh kerendahan hati

 

Jansen Sinamo, kini lebih sering disebut orang sebagai Mr. Etos, Guru Etos, bahkan ada yang menyebutnya Bapak Etos Indonesia. Ia adalah konseptor dan pengembang program pelatihan sumber daya manusia berbasis etos. Ribuan orang dari berbagai badan usaha maupun organisasi nirlaba telah menerima pelatihannya tentang Delapan Etos Dasar sebagai pemandu langkah menjalani karya dan pelayanan sehari-hari.

Bagi yang belum kenal, Ir. Jansen Sinamo adalah motivator berkebangsaan Indonesia. Beliau telah berpengalaman lebih dari 20 tahun menyampaikan ceramah, seminar, dan pelatihan di berbagai lembaga dan korporasi milik negara, perusahaan swasta, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Jansen juga dikenal sebagai penulis buku yang produktif, dan kolumnis di surat kabar.

 

Masa Kecil

Lahir sebagai anak sulung dari delapan bersaudara, sejak kecil Jansen sudah dilibatkan orang tuanya di ladang, kebun dan sawah. Meski berasal dari keluarga sederhana, ibunya berharap Jansen bisa bersekolah setinggi mungkin agar bisa meretas belenggu kemiskinan dan meraih sukses dalam hidupnya. Tak jarang ibunya memberi nasihat dan motivasi sampai meneteskan air mata. Tak heran, dari kecil Jansen belajar dengan tekun dan berjuang keras untuk meraih prestasi. Setiap tahun ia menjadi langganan juara kelas di sekolahnya. 

Sejak kecil Jansen memiliki minat baca yang sangat tinggi. Namun, sumber bacaan tidak tersedia di sekolah atau daerahnya, di Sidikalang, Sumatera Utara. Maka, buku pertama yang ia baca adalah Alkitab dalam bahasa Batak Toba (Bibel). Membaca Alkitab dalam bahasa Batak Toba meningkatkan kemampuan Jansen yang seorang Pakpak untuk berbahasa Batak Toba. Jadi, sejak dini pula Jansen terbiasa dengan tiga bahasa: di rumah dengan keluarga berbahasa Pakpak, di lingkungan pergaulan menggunakan bahasa Toba, di sekolah bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia. 

Cerita-cerita Alkitab seperti air bah, kisah Adam dan Hawa, Sodom dan Gomora, Musa memimpin Israel menyeberangi Laut, Daud dan Goliat membuat Jansen terkagum-kagum . Sebagai anak kecil, tentu saja Jansen memilih kisah-kisah yang berkesan heroik dan melompati bacaan-bacaan yang terkait hukum-hukum agama dan ajaran-ajaran rohani yang berat. Ada beberapa cerita Alkitab favorit yang bahkan ia baca berulang kali dan menjadi teman pengantar tidur. Secara tidak sadar, Alkitab menjadi bacaan sentral yang membentuk cara pandang Jansen terhadap kehidupan. 

 

Kuliah di Bandung

Selain di rumah, Jansen mengenal kisah-kisah Alkitab dari guru agamanya di sekolah dan melalui Sekolah Minggu. Sebagai juara kelas, Jansen memiliki nilai-nilai tinggi di berbagai mata pelajaran, dan termasuk menguasai Fisika dan Matematika. Kesukaannya pada Fisika dan Matematika mengantarnya untuk melanjutkan kuliah ke Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung (ITB). Padahal keluarganya berharap agar ia masuk sekolah pendeta, kebetulan nilai-nilai pelajaran agamanya juga cukup tinggi. Pada waktu itu memi

Awal menjalani kuliah di ITB, Jansen tidak terlalu aktif dalam kegiatan gereja ataupun persekutuan. Seperti umumnya mahasiswa, fokus utamanya hanyalah belajar dan belajar sebaik mungkin. Pada semester 2, barulah Jansen mengikuti perkuliahan agama. Karena di kampung sudah merasa banyak tahu tentang kekristenan, Jansen tidak tertarik untuk mengambil mata kuliah Agama Kristen. Bahkan, ia ingin tahu lebih banyak Agama Hindu. “Pada saat itu  mahasiswa bebas mengambil mata kuliah agama apa pun. Jadwal kuliah agama di ITB hari Sabtu pagi. Anehnya, dosen agama Hindu sering tidak hadir, asistennya pun tak ada.” 

 

Bertemu Ibu Dorothy I. Marx

Untuk mengisi waktu, Jansen memutuskan untuk mengikuti mata kuliah agama Kristen sebagai pendengar. Tak disangka, di ruang kuliah Agama Kristen, ia berjumpa dengan seorang dosen yang hebat sekali cara mengajarnya. Namanya Ibu Dorothy I. Marx, seorang keturunan Yahudi berkewarganegaraan Inggris. Kehebatan Ibu Dorothy mengajar membuat Jansen terpukau dan memutuskan untuk ikut kuliah Agama Kristen. 

Cara mengajar Ibu Dorothy sangat menarik, tidak seperti guru agama lainnya. Beliau selalu mengundang kami untuk berani mengajukan pertanyaan. Setiap ada kesempatan bertanya, Jansen tidak pernah melewatkan kesempatan tersebut. Sebagai mahasiswa sains, banyak hal dalam Kitab Suci yang dirasa tidak jelas dan ingin dipertanyakan. Ternyata ibu Dorothy selalu mampu menjawab dengan baik. Total selama empat semester Jansen berjumpa dengan Ibu Dorothy (dua semester kuliah Agama, sisanya kuliah Etika). Dalam kuliah Etika banyak didiskusikan berbagai persoalan seperti: bayi tabung, riba, etika bisnis, etika-etika kedokteran dan sebagainya.

Tahun depannya, Jansen dipercaya Ibu Dorothy untuk menjabat sebagai asisten mata kuliah Agama Kristen dan Etika. Tugasnya membantu Ibu Dorothy mengoordinir para mahasiswa, mendampingi mempersiapkan retret, mengatur jadwal konseling, bahkan mengurusi mahasiswa yang membutuhkan kacamata. 

Setiap Minggu sore para mahasiswa Kristen mengadakan persekutuan di rumah Ibu Dorothy I. Marx. Setiap Kamis pagi juga diadakan Pemahaman Alkitab (PA) bersama. Semua materi sudah dipersiapkan Ibu Dorothy, para mahasiswa tinggal mengikutinya. 

Selama mendampingi Ibu Dorothy sebagai asisten dosen, Jansen tak jarang menemani pelayanan Ibu Dorothy ke berbagai tempat. Bukan hanya di lingkungan kampus, namun juga di berbagai gereja di Kota Bandung. Seringnya mendampingi Ibu Dorothy membuatnya dipercaya menjadi pembicara di sebuah gereja. Sempat muncul keraguan di hati, namun Ibu Dorothy membantunya membedah materi hingga menyusun teknis penyampaiannya. Jansen tampil percaya diri. Tak begitu lama, Jansen sudah dikenal sebagai seorang pembicara persekutuan di kalangan pemuda dan guru-guru Sekolah Minggu di Bandung.

 

Dari Seismic Engineer menjadi Motivator

Usai kuliah, Jansen bekerja sebagai seorang seismic engineer di Jakarta. Namun, undangan- untuk menjadi pembicara persekutuan juga semakin sering diterimanya.  Sepertinya di Bandung telah beredar informasi dari mulut ke mulut bahwa Jansen sudah biasa menjadi pembicara persekutuan. Sebagai seismic engineer, Jansen lebih banyak berada di depan layar komputer, bekerja di bagian data processing

Suatu ketika, Jansen diajak oleh Bapak Soen Siregar, Ketua Perkantas untuk mengikuti training yang diselenggarakan oleh Dale Carnegie International. Training dijalaninya sore hari, sepulang dari kantor. Tak lama kemudian ia dikirim ke Australia untuk mengikuti sertifikasi calon trainer Dale Carnegie. 

Berbekal sertifikat dari Australia, Jansen Sinamo memiliki kualifikasi mengajar training dalam bahasa Inggris.  Kebetulan pada saat bersamaan, bisnis minyak dunia sedang menurun, sehingga perusahaannya ikut terkena imbasnya. Ia pun fokus menjalani profesi sebagai trainer dari Dale Carnegie. Sebagai anak muda ia melihat kesempatan berkembang dari bisnis training tersebut cukup cerah. Menjadi seorang trainer, Jansen bukan hanya mengajar namun sekaligus menjadi tenaga marketing untuk menawarkan materi-materi pelatihan. Sebagai pionir training motivasi, setiap tahun Dale Carnegie International menyelenggarakan konfrensi dan pembekalan untuk meningkatkan wawasan di Amerika atau setingkat Asia Pasifik. 

Setelah sekian lama berkarya di Dale Carnegie, Jansen mulai berpikir untuk mandiri. Semula diawali dari rasa ketidakpuasan. Materi-materi dalam Dale Carnegie dianggap oleh Jansen terlalu Amerika, bahkan totally America.  Sementara di Indonesia, tim pelatih sudah menghadapi permintaan-permintaan pelanggan akan kontekstualisasi dan customisasi tema atau materi pelatihan. Jansen mencoba mengadaptasi materi Dale Carnegie dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam konteks Indonesia. Upaya Jansen dilarang oleh kantor pusat Dale Carnegie. Ia pun mendapatkan teguran. Padahal Jansen menganggap upayanya menguntungkan Dale Carnegie. Itulah awal perpisahan Jansen dengan Dale Carnegie. 

 

Pelatihan Berbasis Etos

Situasi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 cukup memengaruhi langkah Jansen. Banyak bank dan perusahaan-perusahaan yang gulung tikar. Padahal banyak dari lembaga-lembaga dan perusahaan tersebut pernah diajar oleh Jansen Sinamo bersama Dale Carnegie International. 

Jansen mulai merenung. Ada beban berat di hati dan pikirannya. Timbul pertanyaan dalam hatinya, “Apakah mungkin training yang kita adakan selama ini  tidak menyentuh akar permasalahan badan usaha tersebut?” Jansen mulai melihat akar permasalahannya pada tidak adanya penerapan etika dalam bisnis. Jansen melihat dalam sistem politik dan tatanan sosial Indonesia yang begitu rusak, kesuksesan ekonomi terancam pula, setidaknya sangat rentan. Materi Dale Carnegie yang terlalu Amerika agaknya kurang cocok diterapkan pada situasi tersebut. 

Sesudah bergumul dengan intuisi, menimbang dengan hati, berdiskusi intensif dengan berbagai pihak, Jansen meyakini bahwa untuk konteks Indonesia lebih tepat diselenggarakan pelatihan-pelatihan berbasis etika. Kebetulan sekali dirinya pernah menjadi asisten Ibu Dorothy dalam mata kuliah Etika. Kebenaran juga, beberapa kali Jansen diundang berbagai perusahaan untuk menjadi pembicara dengan tema etika. Maka, pada 1998 terciptalah delapan modul etos kerja profesional yang telah disebut di atas. 

Ketika Jansen mulai menawarkan konsep pelatihan berbasis etos tersebut, sambutan dari berbagai perusahaan dan instansi tidak diduganya. Mereka menyambut gembira dan menilai pelatihan etos sangat sesuai dengan konteks Indonesia. Hasil dari pelatihan tersebut juga positif. Banyak perusahaan kemudian menerima prinsip delapan etos tersebut sebagai acuan dan pegangan menjalankan usaha. Dari tahun 1998 hingga 2003, Jansen terus berusaha mengembangkan dan menyempurnakan konsep delapan etosnya. Materi maupun bukunya terus diperbaiki agar dapat menjawab kebutuhan klien. Jansen pun semakin fokus pada materi pelatihan berbasiskan etos. 

 

Jatuh Sakit

Kesibukannya yang begitu tinggi dan perjalanan panjang berkeliling ke berbagai kota membawakan pelatihan, membuat Jansen sempat abai dengan kesehatannya. Sering ia hanya tidur dua atau tiga jam sehari karena kesibukannya mempersiapkan pelatihan dan menulis. Maret 2008, ia jatuh sakit dan mengalami stroke. Sebagian badannya sempat lumpuh. 

Stroke membawa hikmah tersendiri bagi Jansen Sinamo. Meskipun stroke membuat fisiknya mengalami penurunan, namun Jansen bersyukur karena ia masih diberikan anugerah umur panjang, walaupun Tuhan sempat membawanya pada keadaan “berhadap-hadapan” dengan maut.  

Saat menjalani pemulihan paska stroke, Jansen memiliki banyak waktu untuk merenung dan mendalami hal-hal rohani. Undangan-undangan dari klien untuk membawakan pelatihan mulai menurun. Hal tersebut tak lepas dari keterbatasan fisiknya pada saat itu. Daya kerja dan staminanya belum pulih seperti semula. Namun, pengalaman panjang menjalani pemulihan stroke telah mendorongnya juga untuk menghayati konsep etos dengan lebih mendalam. 

Penghayatan tersebut membawanya kembali kepada dasar pertama dari etos, yaitu semangat, roh, spirit. Pelan namun pasti, Jansen menyadari bahwa kesembuhannya juga tergantung pada semangatnya. Sangat penting untuk menjaga semangat hidup, semangat untuk sembuh dan pulih seperti sediakala. Dokter yang merawatnya pun mengatakan demikian. Ketika seseorang memiliki semangat besar untuk hidup, seseorang masih memiliki kesempatan besar untuk sembuh. Sebab ketika sakit dan lemah, seperti pada penderita stroke, sejumlah penyakit lain ikut membonceng, seperti rasa rendah diri, patah semangat, malu, mudah tersinggung, dan merasa diri tidak berharga. Menurut Jansen, seringkali para pembonceng tersebut lebih berbahaya dari boncengannya. 

Untuk menyebarluaskan dan meregenerasi konsep etosnya, Jansen kini mengembangkan cara tersendiri. Ia melatih orang-orang untuk memperoleh sertifikasi sebagai trainer dan guru etos. Hingga sekarang, sekitar 120 orang telah terverifikasi menjadi guru etos. Di tahun 2020 bersamaan dengan masa pandemi ini ia juga tetap berusaha berkarya dengan membagikan pengalaman-pengalamannya melalui channel Youtube pribadi yang diberi nama 8etos. Selama dua tahun ini dia sudah membagikan 13 tayangan tentang kisah-kisah inspiratif dan 46 tayangan tentang pengalaman-pengalaman menarik yang pernah dia alami.

Banyak orang bertanya, bagaimana stroke malah menajamkan pemahaman Jansen Sinamo tentang konsep etos. Jansen menjawab, justru melalui pengalaman menderita sakit, nilai etos lebih ia hayati, makin mendarah daging dalam hidupnya. Etos telah menjadi jalan hidupnya yang sejati, bukan sekadar konsep ceramah. Jansen tidak mau terbelenggu oleh keterbatasannya. Kalau Tuhan saja hingga sekarang masih terus berkarya, maka kita juga harus tetap berkarya. 

Demikianlah Jansen Sinamo, yang demikian luas bacaannya, dari mitos hingga ke etos. Semoga lewat karya dan pemikirannya, banyak orang dicerahkan, arah hidupnya diluruskan agar terwujud kerinduan doa yang sering dikutip Jansen, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di surga. Kerinduan Jansen Sinamo pada akhirnya adalah kerinduan kita juga. Yaitu mewujudkan kehendak Tuhan melalui talenta dan karya kita sehari-hari.