Kesaksian Pdt. Yewangoe: Dari Gembala Kerbau Menjadi Gembala Umat

Kesaksian Pdt. Yewangoe: Dari Gembala Kerbau Menjadi Gembala Umat

 

Andreas Anangguru Yewangoe lahir 31 Maret 1945, di Mamboru, Sumba Barat dan tumbuh di tengah keluarga Pdt. S.M. Yewangoe, yang melayani sebagai seorang pendeta di kampungnya. Kehidupan keluarga Pdt. S.M. Yewangoe ini sangat sederhana. Karena gaji pendeta di desa sangat kecil, ayahnya juga harus mencari nafkah sebagai seorang petani. “Kalau tidak bertani, kita semua bisa tidak makan,” kata Yewangoe. Kesulitan dan pengorbanan yang dijalani sang ayah, memberi gambaran tersendiri bagi Yewangoe betapa tidak mudah kehidupan seorang pendeta. Andreas awalnya tidak pernah berpikir untuk mengikuti jejak sang ayah.

Saat mengingat masa kecilnya sebagai anak petani, Yewangoe juga terkenang masa di mana ia dan kawan-kawannya menggembalakan kerbau. Mereka punya hobi yang sama yaitu mengadu kerbau. Setiap kali kerbau sedang diadu, ia dan kawan-kawannya memanjat pohon agar terhindar dari serudukan kerbau yang sedang bertarung. Pengalaman ini tidak pernah dilupakannya.

Membaca Kitab Suci sudah menjadi kebiasaan Yewangoe sejak kecil. “Gereja kami merupakan hasil pekabaran Injil dari Zending Gereformeed. Salah satu ciri Gereformeed adalah pietisme atau semangat kesalehan. Salah satunya melalui disiplin dalam membaca Alkitab di waktu pagi dan malam hari,” katanya. Karena keluarganya cukup sibuk, tradisi membaca Alkitab bersama hanya terjadi di malam hari.

Selain bersama keluarga, secara pribadi Yewangoe membaca Alkitab sendiri, tetapi belum seluruhnya ia baca. Di sekolah Yewangoe sendiri belajar kisah-kisah Alkitab melalui buku Hikayat Suci. Setiap pagi guru-guru membacakan Hikayat Suci sebelum memulai pengajaran. Nantinya ketika kuliah di STT Jakarta, barulah ia menyelesaikan seluruh pembacaan Kitab Suci dari Kejadian sampai Wahyu.

Yewangoe menempuh pendidikan dasarnya selama enam tahun di Sekolah Rakyat Masehi, di Mamboru.  Pendidikan menengahnya dijalani di sebuah sekolah Kristen di Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Menjelang tamat SMA, ayahnya kembali bertanya,”You mau lanjut ke mana?” Yewangoe belum memberikan jawaban pasti. Ayahnya memberi saran untuk melanjutkan belajar ke STT Jakarta. Kebetulan pada waktu itu STT Jakarta menyelenggarakan ujian masuk di Sumba. Yewangoe merupakan satu-satunya peserta yang lulus dari ujian saringan di Sumba. Jadi, setamat SMA pada 1963, Yewangoe meninggalkan kampung halamannya untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT Jakarta.

Menjadi mahasiswa

Perjalanan menuju Jakarta tidak semudah di masa sekarang. Yewangoe berangkat ke Jakarta dengan menumpang kapal hewan. Itu merupakan perjalanan jarak jauh pertamanya keluar Pulau Sumba. Turun dari kapal di Surabaya, dilanjutkan ke Jakarta dengan kereta api. Setibanya di ibukota, ia terkejut menyaksikan perbedaan besar Jakarta dengan kampung halamannya.  Ia mengalami kejutan budaya seperti lazim dialami orang yang baru datang ke ibukota. Perlu waktu dua sampai tiga bulan baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

Studinya di STT Jakarta tidak berjalan mudah, apalagi ia harus belajar bahasa Ibrani, bahasa Yunani, dan bahasa Inggris. Yewangoe mengaku ia bukanlah seorang mahasiswa yang sangat rajin belajar. Dari sekitar 40 orang mahasiswa yang seangkatan dengannya, hanya delapan orang saja yang lulus. Yewangoe bersyukur, ia banyak tertolong karena sering belajar bersama dengan teman-temannya di GMKI. Di persekutuan GMKI, ia dan rekan-rekannya saling menopang dan belajar bersama.

Studi teologi di STT Jakarta membuka perspektif baru bagi Yewangoe, bahwa ilmu teologi itu demikian luas dan dalam. Ia bertekad untuk tidak pernah berhenti belajar sepanjang Tuhan masih memberikan kesempatan hidup. Hingga hari ini Yewangoe masih setia dengan tekadnya tersebut. Hari-harinya tidak pernah lepas dari membaca buku. Buku boleh dikatakan menjadi sahabat karibnya. Biasanya setelah membaca sebuah buku, ia berbagi apa yang telah dibacanya tersebut dengan sang istri.

Mengajar teologi

Pada 1969, Yewangoe menyelesaikan studinya di STT Jakarta. Melihat kontras kehidupan pada masa itu antara Jakarta dan Sumba, ada rekan-rekannya di asrama yang menyarankan Yewangoe untuk menetap di Jakarta. Ada pula tawaran mengajar teologi di Semarang. Namun, karena terikat dengan beasiswa sebagai utusan sinode, Yewangoe kembali ke Waingapu, Sumba, dan melayani sebagai pendeta di Gereja Kristen Sumba (GKS). 

Pada 1971, ia dipanggil untuk menjadi dosen di Akademi Theologia Kupang (kini telah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana). Akademi Theologia Kupang sendiri merupakan proyek kerja sama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dengan Gereja Kristen Sumba (GKS). Usianya ketika menjadi dosen sekitar 25 tahun. Ketika Akademi Theologi Artha Wacana dibuka, GKS memberi syarat, pengajar dogmatika harus dari GKS. Maka Yewangoe sebagai wakil GKS menerima beban tersebut, dan mesti melengkapi dirinya dengan berbagai bahan bacaan tambahan dan studi lanjut. Kebetulan juga nilai-nilainya dalam mata kuliah Teologi Sistematika di STT Jakarta sangat tinggi. Ternyata dalam perkembangannya nanti, Yewangoe semakin tertarik untuk mendalami teologi sistematika. 

Setahun kemudian, pada 1972, ia dipercaya menjadi rektor di sekolah itu untuk masa jabatan empat tahun, meskipun saat itu usianya baru 27 tahun. Ceritanya, rektor sebelumnya (dari GMIT-red) ditugaskan studi lanjut ke Belanda. Ada banyak dosen lain, namun mereka orang asing, seperti Belanda, Jerman, dan sebagainya. Menurut peraturan pada masa itu, pemimpin perguruan tinggi tidak boleh dijabat orang asing. Ia menjadi rektor, karena merupakan satu-satunya orang lokal. 

Yewangoe mengisahkan, menjadi rektor pada usia 27 merupakan  pengalaman yang cukup unik. Mahasiswa banyak yang berusia sebaya dengannya, malah tak jarang ada yang berumur di atas Yewangoe. Meskipun memimpin perguruan tinggi di usia muda tidak gampang, namun Yewangoe mampu menyesuaikan diri dengan baik, karena pengalaman berorganisasinya ketika muda (pernah menjadi Pengurus GMKI Pusat). Untuk menata dan mengatur kurikulum pendidikan, Yewangoe melakukan konsultasi dan koordinasi dengan perguruan-perguruan tinggi teologi lain, terutama di Jakarta dan Yogyakarta.

Studi lanjut

Setelah menyelesaikan satu periode masa jabatannya sebagai rektor, pada 1976, Yewangoe dikirim ke Belanda untuk memperdalam studi teologinya di Universitas Vrije. Pada 1979 ia berhasil meraih gelar doktorandus teologi dan kembali lagi ke Kupang. Sementara itu, Akademi Theologia Kupang telah dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Teologi, dan Yewangoe pun kembali memperoleh kepercayaan untuk menjabat sebagai rektornya untuk periode 1980-1984.

Setelah periode jabatannya sebagai rektor selesai, ia kembali ke Belanda untuk melanjutkan studinya di universitas yang sama. Pada 1987 ia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Theologia Crucis in Asia: Asian Christian Views on Suffering in the Face of Overwhelming Poverty and Multifaceted Religiosity in Asia. Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh penerbit BPK Gunung Mulia dalam bahasa Indonesia.

Ketika Yewangoe menjalani studi doktoral, berkembang teologi inkulturasi atau lebih sering disebut teologi kontekstual. Konsepnya dimulai oleh sekolah-sekolah teologi se-Asia dan Asia Tenggara. Pesannya, agar semakin dikembangkan teologi yang bertolak dari Asia, bukan lagi berorientasi Barat, yang dalam banyak hal kurang relevan dengan situasi dan kondisi gereja-gereja Asia. Yewangoe sebagai pengajar, berusaha untuk mengajak mahasiswa tetap memperdalam teologi sistematika yang konvensional, tetapi juga memperhatikan perkembangan yang sudah muncul di Asia.

Diakui juga oleh Yewangoe, masih ada kesenjangan antara teologi kontekstual yang dikembangkan kalangan akademisi (lembaga teologi) dengan penerapannya di gereja-gereja dalam usaha umat memahami imannya. Misalnya, melalui pengajaran katekisasi maupun ibadah. Namun, pada sisi lain, Yewangoe melihat ada semangat dan kegairahan di tingkat jemaat. Dalam nyanyian-nyanyian jemaat yang dikembangkan Yayasan Musik Gereja, ada usaha menggali kekayaan lokal.

Kembali menjadi rektor

Sekembalinya dari Belanda, Sekolah Tinggi Teologi (STT) Kupang sudah berubah menjadi Universitas Kristen Artha Wacana. Yewangoe kembali mendapatkan kepercayaan sebagai rektor untuk dua periode (1990-1998). Setelah masa jabatannya habis, ia tetap mengajar sebagai salah seorang dosen di Fakultas Teologi. Di samping sebagai dosen, Yewangoe menjabat sebagai salah seorang Ketua Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI). Sekitar 1999, STT Jakarta menawarinya untuk bergabung, karena kebutuhan pengajar dogmatika. Namun, tenaga Yewangoe sendiri jelas dibutuhkan oleh Artha Wacana.

Suatu ketika ada sedikit ketegangan dalam kepengurusan PGI. Sekretaris Umum PGI, Pdt. Dr. Ishak Lambe menyarankan agar Pdt. Yewangoe berada di Jakarta, agar bisa menjadi jembatan komunikasi antara Sekum PGI dengan Ketua Umum PGI. Sekiranya Pdt. Yewangoe berada di Jakarta, dirinya akan dapat pula mengajar di STT Jakarta. Tawaran tersebut disambut terbuka oleh Rektor STT Jakarta, Pdt. Borong.

Menjadi Ketua Umum PGI

Pada 2001, Yewangoe pindah ke Jakarta dan menjadi dosen Teologi Sistematika di STT Jakarta, sambil menjalankan tugasnya sebagai salah seorang ketua PGI untuk periode 2000-2004. Pada Sidang Raya XIV PGI pada 2004 di Caringin, Bogor, Yewangoe terpilih sebagai Ketua Umum organisasi gereja-gereja Protestan Indonesia itu untuk periode 2004-2009. Sebelumnya, ia sudah dipilih sebagai Ketua PGI untuk periode 1994-1999, dan menjadi anggota Majelis Pekerja Harian (MPH) pada periode 1989-1994.

Pergumulan Yewangoe yang paling berat dalam masa memimpin PGI dalam periode pertama, adalah mengembalikan kembali kewibawaan PGI yang sempat surut paska konflik kepengurusan sebelumnya. PGI juga mesti dihadapkan pada rekonsiliasi dan pemulihan paska kerusuhan Ambon.

Bagi Yewangoe, ketika PGI berdiri pada tahun 1950, cita-citanya adalah untuk mewujudkan gereja Indonesia yang satu. Menurutnya, keesaan gereja secara organisasi hampir tidak mungkin, karena eklesiologi dan struktur gereja-gereja di Indonesia tidaklah seragam. Tidak mungkin menghabiskan waktu untuk mencari bentuk yang ideal yang bisa disepakati bersama. Sementara masalah-masalah yang harus dihadapi bersama semakin besar. Maka ia lebih menyarankan sebuah keesaan fungsional. Keesaan fungsional sudah dirumuskan di dalam dokumen-dokumen terutama Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama. Jika gereja-gereja berkomitmen menjalankan tugas dan panggilan bersama tersebut, Yewangoe meyakini gereja-gereja di Indonesia sudah berada dalam rel yang benar menuju keesaan secara fungsional yang merupakan amanat Sidang Raya di Kinasih, Caringin.

Sebagai Ketua Umum PGI, Yewangoe beranggapan bahwa tidak selalu harus dilakukan hal-hal yang besar, yang bombastis dalam melayani gereja-gereja anggota PGI. Sebagai contoh, melalui kunjungan dan kehadiran fungsionaris PGI ke berbagai gereja, mereka merasakan kehadiran PGI dan merasa sebagai bagian dari PGI. Selepas periode kepemimpinan yang pertama, Yewangoe kembali dipilih sebagai Ketua Umum dalam Sidang Raya PGI di Mamasa. Sebagai Ketua Umum PGI selama dua periode, Yewangoe semakin menyadari bahwa persoalan kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia tidak dapat diselesaikan sendirian oleh gereja, tetapi harus diperjuangkan bersama umat beragama/ kepercayaan lain.

Berkarya untuk Negara Sebagai Anggota BPIP

Setelah segala kesibukannya di Jakarta, baik di PGI maupun STT Jakarta selesai, Yewangoe dan keluarga memilih kembali ke Kupang. Yewangoe mulanya berharap dirinya kembali bisa membantu pendidikan teologi di Universitas Artha Wacana.

Suatu siang, Yewangoe sedang beristirahat di rumahnya di Kupang, dering telepon berulang kali terdengar di rumahnya. Yewangoe semula tidak berniat mengangkatnya. Malam harinya, 31 Mei 2017 datang telepon dari Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom (kini Ketua Umum PGI-red), menanyakan apakah sudah menerima telepon dari Sekretaris Kabinet, Pramono Anung? Barulah Yewangoe tersadar mungkin tadi siang merupakan telepon dari Sekretaris Kabinet. Singkat kata, Menteri Sekretaris Kabinet malam itu kemudian menelponnya kembali untuk menanyakan kesediaannya duduk sebagai anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)

Pada 7 Juni 2017, anggota UKP-PIP dilantik Presiden Joko Widodo. Pada saat itu pun para anggota belum tahu dengan lengkap apa yang nanti dikerjakan. Setelah pelantikan, para anggota bertemu untuk melakukan brain storming. Paling tidak arahannya adalah badan ini tidak boleh identik dengan  BP-7. Bukan semacam lembaga doktrinal. Pada 1 Maret 2018, UKP-PIP melalui Peraturan Presiden berubah menjadi BPIP.

Dalam pelayanannya di BPIP, Pdt. Yewangoe merasa syukur karena beroleh kepercayaan dari negara. Yewangoe dan juga anggota Dewan Pengarah yang lain melihat tantangan Pancasila sebagai dasar negara bersama menghadapi tantangan yang semakin hari semakin besar, menghadapi radikalisasi dan globalisasi. BPIP memandang tegaknya negara ini bergantung pada tegaknya Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Yewangoe, BPIP memang lembaga kecil namun memiliki pengaruh yang cukup besar. Di dalam badan yang memiliki pengaruh besar ini, Yewangoe sekarang tidak lagi hanya memperjuangkan kepentingan umat Kristen, tetapi juga memperjuangkan kepentingan seluruh anak bangsa.

Apolitik dan Asosial

Sebagai seorang pemikir dan pemimpin umat, Yewangoe menegaskan gereja harus berpolitik. Umat Kristen tidak boleh bersikap apolitik, sebab politik itu sendiri, menurut Yewangoe, adalah kemampuan hidup bersama dalam polis atau kota atau negara.

“Lebih parah lagi jika umat Kristen menjadi asosial, menarik diri dari hubungan sosial antarsesam warga polis!” tegasnya. Yewangoe menyebut umat Kristen tidak boleh mengurung dan menyembunyikan diri di tengah-tengah komunitasnya. Umat Kristen harus berani tampil keluar, ikut mengusahakan perubahan ke arah yang lebih baik. Umat Kristen punya kewajiban mengusahakan kebaikan dan kemajuan negara (Yeremia 29:7).

Produktif dalam Penulisan

Yewangoe menikah dengan Petronella Lejloh, yang dinikahinya 15 Desember 1970 dan dikaruniai dua orang anak. Anak pertama, Yudhistira Gresko Umbu Turu Bunosoru lahir 1972. Ia mengaku, nama Yudhistira diambilnya dari kisah Mahabarata dalam tradisi Hindu. Si bungsu bernama Anna Theodore (1980). Tidak ada anak-anaknya yang mengikuti jejak sebagai pendeta. Namun, Yewangoe memang tidak pernah mengharuskan anaknya mengikuti jejaknya. Jiwa demokratis sudah mendarah daging dalam hidupnya. Bahkan ia senang jika pandangannya dikritisi oleh istri atau anak-anaknya.

Di luar kesibukannya sebagai seorang pengajar, suami dari Petronella Lejloh dan ayah dari Yudhistira Gresko dan Anna Theodore ini, juga dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif. Tulisan-tulisannya banyak muncul di surat kabar Suara Pembaruan maupun Sinar Harapan.

Di luar tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar, Pdt. Yewangoe telah menulis banyak buku, di antaranya: Tidak Ada Ghetto, Gereja di Dalam Dunia (2009), Agama dan Kerukunan (2002), Lea (2002), Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila (2002), Pengantar Sejarah Dogma Kristen (2001), “Theologia Crucis” di Asia: Pandangan Kristen Asia tentang Penderitaan (1987), Pendamaian (1983). 
Yewangoe sudah memiliki kebiasaan menulis sejak muda. Ketika masih mengajar di Akademi Theologi Artha Wacana Kupang, pada awal 1980-an di Kupang terbit surat kabar harian Pos Kupang. Surat kabar tersebut merupakan surat kabar pertama di Kota Kupang.

Yewangoe diminta rutin menulis untuk kolom hari Sabtu. Isi tulisannya beragam, dari politik maupun berbagai masalah sosial. Jadi, Yewangoe makin lama makin terlatih menulis di koran. Untuk mengejar deadline, Yewangoe bahkan sudah terbiasa menulis di tengah suasana yang ramai atau riuh rendah. Sesibuk apapun pelayanannya, sampai hari ini ia terus berbagi tulisan. Karena bagi Yewangoe menulis adalah sebuah kegembiraan.