KETIKA CINTA KITA BERSEMI

KETIKA CINTA KITA BERSEMI

 

Sejak sekolah dasar, kita sudah diperkenalkan dengan bunga terbesar di dunia (diameter terbesar) yakni Bunga Rafflesia Arnoldii yang merupakan tanaman endemik Bengkulu. Nama Rafflesia Arnoldii ini diambil dari nama Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di India-Timur/India-Belanda, khususnya Jawa, pada tahun 1811-1814 dan Gubernur Bencoolen (Bengkulu) pada 1817-1822. Pada saat di Bengkulu inilah dalam suatu perjalanan, rombongan ini menemukan bunga yang kemudian menjadi legenda dunia. 

Dalam memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang jatuh pada 5 November, ada sebuah pertanyaan menggelitik, “Adakah nama satwa atau puspa yang diberi nama “Orang Indonesia”? Ternyata ada! Yakni Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus), yang diambil dari nama penemu ikan tersebut yakni Pak Mujair dan Anggrek “Madame Tien Suharto” atau Anggrek Hartinah (Cymbidium hartinahianum) yang endemik Sumatera Utara dinamai dengan nama Ibu Negara pada waktu itu.   

Pemberian nama-nama puspa dan satwa dengan nama orang Indonesia bukan sekedar mengenang pribadi-pribadi yang dianggap punya peran sejarah atau sebagai penemunya, tetapi juga mengandung ajakan kepada masyarakat untuk lebih mencintai puspa dan satwa yang hidup di negeri sendiri. Penemuan-penemuan semacam itu terjadi juga di dunia sains, entah terjadi secara kebetulan dan tidak disengaja seperti dikisahkan di atas maupun rekayasa enjiniring di labiratorium, memerlukan perjalanan lanjutan panjang untuk menguji penemuan itu sebagai sebuah penemuan ilmiah yang sahih. Misalnya, proses pembuatan Vaksin COVID-19, seperti yang saat ini menjadi perhatian dunia. Prototype vaksin sudah dihasilkan, namun vaksin tersebut belum dapat digunakan sebelum vaksin itu selesai menjalani uji klinik, seperti yang diatur dalam undang-undang kedokteran di seluruh dunia. Para peneliti di dunia sains adalah orang-orang yang bekerja dalam senyap, tekun, ulet, penuh komitmen, dan idealisme serta cinta. Tanpa cinta, idealisme dan komitmen akan mudah luntur, sebab “If you do what you love, you’ll never work a day in your life” (Marc Anthony). Inilah kekuatan sekaligus buah-buah cinta. Mencintai pekerjaan juga merupakan bentuk dari tanggung jawab atas seluruh ciptaan. Mengapa bisa demikian?

Mari kita sejenak bicara tentang Cinta. Sebagaimana Allah menunjukkan betapa besar cinta Allah kepada ciptaan-Nya. Alkitab menyaksikan tentang peristiwa air bah (Kej. 8:1-22) yang serta merta diikuti dengan perjanjian pemulihan ciptaan oleh Allah. Dari sana kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada jaminan perlindungan dari hukuman ilahi yang selaras dengan ide perlindungan yang sudah muncul di bagian sebelumnya. Allah melindungi manusia dari binatang buas dengan cara memberikan ketakutan dalam diri binatang terhadap manusia (9:2). Artinya, manusia diberi kemampuan dan jaminan untuk mengatur binatang. Allah juga memberi perlindungan bagi manusia dari ancaman sesamanya. Ia menetapkan pembalasan atas setiap kejahatan, baik yang dilakukan oleh binatang maupun oleh orang lain (9:5-6). Dalam kisah ini, Allah memberi perlindungan bagi manusia dari diri-Nya sendiri. Ia tidak akan memusnahkan manusia lagi (9:11, 15). Allah ingin menegaskan kepada Nuh dan keturunannya bahwa Ia bukanlah sosok yang menakutkan. Hukuman hebat yang ditimpakan-Nya bukan disebabkan oleh kodrat-Nya yang penuh murka, melainkan karena dosa-dosa ciptaan yang begitu fatal. Walau demikian cinta Allah tetap bersemi. Ia menebar benih-benih cinta itu dan memelihara seluruh ciptaan dengan segala kebaikan dan pemulihan.

Melalui kesaksian Alkitab, kita diingatkan untuk terus menabur cinta dan mencintai kehidupan agar kita berhasil dalam menjalaninya. Cinta kita bukan hanya untuk diri kita sendiri atau para kekasih kita, melainkan kepada seluruh ciptaan, termasuk satwa dan puspa. Mencintai dengan cara berdamai dan memeliharanya. Semisal, orang Jawa memiliki pandangan adiluhung dalam falsafah “memayu hayuning bawana”. Itu merupakan sebuah falsafah kuno yang mengajarkan budi luhur bagi masyarakat Jawa. Dalam kepercayaannya, sebagai bentuk harapan akan harmoni kehidupan yang dapat memberikan kedamaian kepada seluruh alam. Wujud memayu hayuning bawana adalah manusia harus sudah mengerti akan kebaikan yang terdapat pada dirinya, dan juga kebaikan jagat raya. Inilah ‘telos’ masyarakat Jawa yang menciptakan makna bersosial, dan memberikan keselarasan bagi seluruh kehidupan. Betapa indahnya kehidupan ketika cinta kita bersemi!

Benih-benih cinta kepada ciptaan ini perlu kita taburkan juga kepada generasi baru, generasi penerus kita. Generasi yang tampan, cantik, indah dan menarik, namun di sisi lain rapuh dan sangat tergantung pada gawai dan teknologi. Semua yang diinginkan sepertinya hanya semudah “klik” pada gawai dan semakin jauh dari alam. Sedemikian besar pengaruh cinta dalam kehidupan ini. Cinta kepada keluarga membuat kepala keluarga bekerja menafkahi keluarga. Cinta tanah air membuat kita berpartisipasi dalam pembangunan negara dan bangsa baik dalam daya, dana dan spiritual. Pengalaman kita sebagai generasi yang lebih tua perlu kita bagikan kepada generasi yang lebih muda, dan benih-benih cinta harus kita semaikan kepada generasi baru, kita rawat, kita pupuk, agar generasi baru menjadi generasi yang lebih kuat dan berkualitas. Kita menginginkan generasi intan, generasi yang tampan, cantik, indah, menarik sekaligus kuat, bukan generasi kristal yang indah, tampan/cantik, menarik namun rapuh. Benih-benih cinta harus kita sebarkan, karena cinta merupakan bagian penting dari memayu hayuning bawana – merawat, menata dan menyelaraskan alam semesta. Mari kita bayangkan kembali, apa yang akan terjadi, ketika cinta kita bersemi.

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th