LAI dan Pahlawan Aksara

LAI dan Pahlawan Aksara

 

Pa Guru jangan pergi, Bapa harus hidup dan mati disini bersama kami," kata Bapa-bapa dan Mama-mama serta anak-anak peserta pembelajaran PBA LAI sambil menangis. Ini terjadi saat para pendamping lapangan program PBA (Pembaca Baru Alkitab) LAI di delapan kampung, dua distrik, Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua berpamitan untuk mengakhiri tugas mereka.

Enam pemuda pendamping lapangan program PBA LAI sudah menjalankan tugas pendampingan selama sekira 14 bulan di pelosok Distrik Kombai dan Distrik Manggelum. Mereka adalah Aloisius Kalli yang bertugas di Kampung Dema, Anderias Baga  di Kampung Wanggemalo, Haposan Surlian Samosir di Kampung Ugoh, Paulus Koba Kole di Kampung Manggelum, Mangga Tiga dan Kewa, Amrin Tolage di Kampung Gaguop, dan Daniel Subyakto di Kampung Burunggop.

Enam pemuda ini berasal dari Sumba, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera. Mereka sangat setia dan bahkan bertaruh nyawa dalam mendampingi 637 peserta belajar yang tersebar di delapan Kampung.  Kondisi lokasinya rata-rata di pedalaman Papua yang terbatas aliran listrik dan tiada sinyal HP. 

Mula-mula mereka tidak diizinkan oleh keluarga untuk melayani di pedalaman Papua. Namun karena mereka memiliki panggilan dan tekad yang sangat gigih untuk melayani, maka akhirnya keluarga ikut mendukung meski dengan perasaan sangat berat.

Tugas mereka sebenarnya mendampingi para tutor yang sudah mendapatkan pelatihan mengajar peserta belajar baca tulis agar bebas dari buta aksara. Namun karena banyak tutor di lapangan yang sering tidak menjalankan tugas, maka enam pemuda ini akhirnya mengajar bapa-bapa, mama-mama, dan anak-anak yang belum bisa baca tulis.

Pengalaman yang paling mengharukan adalah mereka semua sudah setidaknya dua kali terserang malaria dan ada yang nyaris meninggal. Satu orang selain pernah dua kali terserang malaria juga harus dibawa ke RS Jayapura (yang harus menempuh perjalanan menyusuri sungai, naik pesawat kecil, lalu naik mobil) karena terkena infeksi serius di perutnya. Mereka sungguh bertaruh nyawa.

Sulitnya medan pelayanan yang harus ditempuh lebih sering dengan jalan kaki, bahkan sampai membutuhkan waktu delapan jam, tidak membuat mereka mundur sampai program selesai. Mereka sungguh-sungguh prihatin dengan kondisi kampung yang ada sekolahnya namun tidak ada guru.

Mereka juga sangat prihatin dengan kondisi kurang gizi, sehingga setiap hari mereka semangat masak bubur kacang hijau untuk dibagikan kepada peserta program PBA.

Program PBA LAI ini sudah dimulai akhir 2017.  Karena sulitnya medan dan sangat terbatasnya tenaga tutor, program yang sedianya berlangsung satu tahun, terpaksa diperpanjang menjadi hampir dua tahun.

Dari 637 peserta yang semula tidak bisa baca tulis, akhirnya ada 301 dinyatakan lulus dan mampu membaca Alkitab. Puji Tuhan.

Para pendamping lapangan ini begitu menyatu dengan para peserta program PBA di kampung masing-masing. Ada yang sampai diberi nama marga di kampung karena sudah dianggap keluarga sendiri. Tidak heran, mereka saling bertangis-tangisan saat hari perpisahan tiba.

Masih banyak yang harus dilakukan Pemda Kabupaten Boven Digoel untuk menyejahterakan warganya. Jumlah warga buta aksara masih cukup banyak. LAI sudah berkontribusi melalui program PBA yang dikerjakan dengan "berdarah-darah". Kiranya program percontohan ini dapat diteruskan oleh Pemda Kabupaten Boven Digoel.

LAI tahun ini meneruskan pelayanan PBA untuk warga buta aksara di Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Akan ada pahlawan-pahlawan aksara yang lain lagi di sana.

Oleh Sigit Triyono (Sekum LAI)

Salam Alkitab Untuk Semua