MARI BERAGAMA SECARA BERBUDAYA

MARI BERAGAMA SECARA BERBUDAYA

 

Di suatu penugasan di luar negeri, di sela-sela kesibukan sebuah konferensi yang berkaitan dengan gereja, saya dan beberapa kawan dari berbagai negara sedang berjalan-jalan untuk melihat-lihat (sight seeing). Di tengah keramaian, rombongan kami berjumpa dengan kawan dari Indonesia dengan kawan-kawannya. “Syalom Sista, apa kabar? Ini kawan-kawan saya, mari kita saling berkenalan” demikian sapanya dengan keramahan ala SDSA – Sok dekat sok akrab. Setelah perkenalan dan cipika-cipiki, kedua rombongan pun berpisah. Teman saya bertanya, apakah saya seorang Yahudi atau keturunan Yahudi, karena disapa dengan salam “Syalom”.

Bagi kita di Indonesia, salam “Syalom” sepertinya sudah menjadi budaya/salam orang Kristen. Tetapi, di luar negeri, “Syalom” adalah salam khas diantara sesama orang Yahudi, dan orang Yahudi pada umumnya beragama Yudaisme. Jadi dengan mengucapkan “Syalom” yang bersangkutan menyatakan identitasnya sebagai Yahudi dan penganut Yudaisme. 

Di Israel kini, jumlah umat Kristen kurang lebih 3%. Heran? Akan lebih mengherankan lagi bagi kita di Indonesia bahwa sebagian besar dari 3% itu adalah orang Arab! Ya Arab! Kata Arab secara internasional dipahami sebagai suatu entitas etnis yang berbahasa Arab yang secara tradisional tinggal di wilayah yang membentang dari Irak di timur, Yaman di selatan, hingga Afrika Utara. Sementara bagi orang Indonesia pengertian Arab pada umumnya adalah warga negara Arab Saudi. Sedangkan orang Arab Kristen di Israel pada umumnya keturunan Lebanon, Syria dan Arab lainnya yang sudah tinggal di wilayah itu turun-temurun dan bukan tidak mungkin mereka adalah keturunan dari orang-orang yang dibaptis oleh Petrus dan kawan-kawannya pada peristiwa Pentakosta (Kisah Para Rasul 2: 37-41).

Di Israel, Yahudi-Kristen tidak menyebut dirinya sebagai Kristen, melainkan sebagai Yahudi-Mesianik. Artinya orang Yahudi yang mengakui Yesus sebagai mesias. Orang Yahudi-Yudaisme tidak mengakui kemesiasan Yesus dan hingga kini masih menantikan “Mesias yang akan memerintah seperti Raja Daud dengan segala kebesarannya”. Orang-orang Yahudi-Mesianik ini memberi diri dibaptis, namun tetap memegang teguh dan menjalankan adat-istiadat Yahudi sama seperti Yahudi lainnya. Dengan demikian mereka dapat “mengabarkan Injil” – sebagai surat-surat terbuka yang menjadi kesaksian bagi sesama (2 Korintus 3:2-3).

Kristen, bagi orang Yahudi yang tinggal di Israel adalah kenangan atas mimpi buruk yang disebut “holocaust”. Warga negara Israel kini kebanyakan adalah keturunan para penyintas holocaust tersebut. Keturunan para repatrian yang selamat dari peristiwa tersebut yang dilakukan oleh orang-orang Kristen dan sebagian besar orang Kristen yang tidak terlibat bungkam ketika peristiwa itu terjadi. Jadi, pilihan menyebut diri sebagai Yahudi-Mesianik adalah pilihan bijaksana untuk dapat terus menjalankan hidup beragama dengan baik dan menjalankan misi agama secara bijaksana. Menjadi manusia beragama yang hidup dalam bingkai-bingkai kebudayaan. Intinya, untuk menjadi umat beragama yang baik kita harus hidup berkeberbudayaan.

Mengenai hal ini, pada 1 Juni 1945 ketika Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang Panca Sila, berkata, “Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, Orang Buddha menjalankan ibadat menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat Indonesia hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia itu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain”. Pada kesempatan lain Bung Karno juga berkata, “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi Islam jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen jangan jadi Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat budaya yang kaya raya ini.”

Demikian juga Paulus dalam suratnya pernah berkata, “Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup dibawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat….dst.” (1 Korintus 9:19-23).

Sebagai umat Kristen kita hidup dalam misi Pekabaran Injil yang dalam istilah Paulus disebut “memenangkan jiwa-jiwa”. Tentunya misi ini akan berhasil jika dilakukan sesuai dengan konteks masing-masing. Rasul-rasul pergi dari Yerusalem dari budaya Yahudi ke budaya Yunani, Roma dan India seperti Tomas. Mereka berjumpa dengan pelbagai kebudayaan dan adat istiadat. Lembaga Alkitab Indonesia menjalankan misi menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa daerah pun berdasarkan budaya dan bahasa setempat. 

Beragama secara berbudaya memang sulit dilakukan. Apalagi jika kita sudah menganggap budaya asing sebagai bagian yang melekat dan menjadi identitas kita. Mari kita hargai kebudayaan sendiri. Ucapkan salam dengan bahasa kita yang lebih akrab di telinga Saudara-saudara kita. Tidak perlu juga mengucap “Syalom aleikhem wir birkat Elokhim” yang justru membuat orang bingung dan nggak ngerti artinya. "Nggak usah keyahudi-yahudian”, demikian kata Bung Karno.

 

Pdt. Sri. Yuliana. M. Th