Menata Kembali Masa Depan Anak-Anak

Menata Kembali Masa Depan Anak-Anak

 

Pernah terjadi, dalam sebuah Olimpiade Matematika, Tim Amerika Serikat (AS) mengalami kekalahan. Juara diraih oleh Tiongkok. Tim AS pun bekerja lebih keras, karena Olimpiade Matematika adalah sebuah kejuaraan yang bergengsi. Tim AS pun akhirnya bisa merebut kembali kebanggaan tersebut. Namun apa mau dikata, sepintas, tanpa mengenakan seragam tim, Tim AS dan Tim Tiongkok susah dibedakan, karena ternyata Tim AS terdiri remaja-remaja Tionghoa-Amerika. Mengapa demikian? Sejak dahulu Tiongkok sudah memiliki sistem pendidikan guna memenuhi kebutuhan pejabat-pejabat pemerintahan. Hanya seseorang yang lulus ujian dan memperoleh gelar “Siu Cai” yang berhak menjadi pejabat pemerintahan. “Hanya mereka yang unggul dalam pendidikan yang dapat berkarir dalam pemerintahan”, demikian ajaran Kong Hu Tzu. Etos ini sudah terekam kuat dalam memori setiap orang Tionghoa. Sudah sejak jaman kuna, kaum terdidik adalah sebuah kelompok elite dalam masyarakat Tionghoa.

Namun adalah sebuah paradoks, jika Tim Tiongkok sering menjuarai Olimpiade Matematik atau Sains, tetapi jumlah pemenang Hadiah Nobel masih didominasi oleh warga negara Amerika Serikat. Orang Asia pada umumnya bersekolah agar setelah selesai sekolah mereka dapat mencapai status sosial tetentu di masyarakat, seperti ajaran Kong Hu Tzu. Setelah selesai sekolah maka satu isteri, dua anak, rumah 3 kamar, kendaraan rida empat dan penghasilan 5 digit (dalam US$ atau Euro per tahun) adalah target mereka. Prestasi adalah sesuatu yang harus diraih. Proses belajar mengajar sangat pragmatis.

Berbeda dengan filosfi pendidikan Barat. Di Barat, sekolah adalah sarana belajar agar siswa mampu mengembangkan diri, mengejar cita-cita dan mengembangkan kreativitas mereka. Ini sebabnya mengapa para pemenang Hadiah Nobel masih didominasi oleh lulusan dari universitas-universitas terbaik di Eropa dan Amerika. Pemenang Hadiah Nobel dari Tiongkok pun merupakan lulusan dari salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat.

Baik di Tiongkok maupun di Eropa masing-masing memiliki sistem pendidikan dan tujuan pendidikan. Lalu bagaimana dengan pendidikan di Indonesia? Menteri Pendidikan era 1993-1998 Wardiman Djojonegoro menginginkan setiap anak Indonesia mampu meraih gelar sajana. Untuk itu kurikulum pendidikan di negara kita menjadi sangat idealis. Jumlah universitas bertambah banyak. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi dijadikan universitas. Padahal menurut statistik tidak semua orang berbakat menempuh pendidikan tinggi berbasis riset. Bukankah dunia kerja membutuhkan buruh/operator yang cukup berpendidikan menengah atau D-3? Barulah kemudian diperlukan supervisor, manajer dan pimpinan perusahaan. Dengan mewacanakan setiap anak didik harus mencapai gelar sarjana, berakibat  di negara kita, mohon maaf, terjadi inflasi sarjana. Tidak jarang dijumpai seorang sarjana S-3 rasa D-3. 

Naiknya seorang muda, Nadiem Makarim, menjadi Menteri Pendidikan membuka harapan baru bagi pembaruan kualitas pendidikan di negeri ini. Namun apa daya datang COVID-19. Walaupun demikian terobosan Nadiem Makarim untuk melakukan pendidikan jarak jauh dengan menggunakan teknologi digital-internet mampu mengatasi kebuntuan pendidikan akibat pandemi.

Apa yang kita harapkan dari dunia pendidikan kita saat memasuki era New Normal dan Next Normal? Bonus Demografi, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, AFTA menjadikan situasi dengan banyak tenaga kerja produktif, pembukaan lapangan kerja baru serta persaingan tenaga kerja profesional (kerah putih). Untuk itu perlu reformasi dunia pendidikan. Pembaruan kurikulum, pembukaan program studi baru serta pemanfaat teknologi internet-digital menjadi suatu keniscayaan.

Menghadapi situasi seperti ini Alkitab sudah menuliskannya, “Dan biarlah orang-orang kita juga belajar melakukan pekerjaan yang baik untuk dapat memenuhi keperluan hidup yang pokok, supaya hidup mereka jangan tidak berbuah” [Titus 3:14] . Firman Tuhan mengajarkan agar kita giat belajar, berprestasi dan berkarir serta berbuah/ bermanfaat bagi sesama, masyarakat dan bangsa. 

20 November kemarin, dunia memperingati Hari Anak se Dunia yang bertemakan, “Menata Kembali Masa Depan Anak-Anak”. Ada 6 goals yang ingin dicapai dunia melalui UNICEF dengan tema tersebut yakni: 1) Memastikan semua anak dapat belajar termasuk dengan menutup celah kesenjangan teknologi digital. 2) Menjamin akses layanan kesehatan, gizi, serta ketersediaan vaksin bagi anak-anak. 3) Mendukung dan melindungi kesehatan mental anak-anak dan remaja. Pelecehan, kekerasan berbasis jender, penelantaran anak-anak harus diakhiri.   4). Meningkatkan akses terhadap air bersih, sanitasi serta degradasi lingkungan dalam kerangka perubahan iklim 5). Menghentikan peningkatan kemiskinan yang berdampak pada anak-anak dan menjamin pemulihan secara inklusif. 6). Melipatgandakan upaya perlindungan bagi anak-anak yang hidup di tengah-tengah konflik, bencana dan pengungsian. 

Bagi Indonesia, enam butir gol tersebut bukan hal baru karena pemerintah sudah mengadopsi “Tujuan Pembangunan Berkesinambungan (Sustainable Development Goals – SDGs). Namun berkaitan dengan Pandemi COVID-19 pemerintah perlu memperhatikan butir 1 dan 2. Berkaitan dengan butir 1 dan tantangan ke depan bagi anak-anak dan remaja Indonesia, maka sekolah-sekolah kejuruan menengah, serta D-3/Politeknik perlu diperbanyak. Di sisi lain universitas berbasis riset untuk menghasilkan peneliti S-3 juga perlu ditambah agar negara kita tidak lagi sebagai negara perakit barang-barang industri, namun juga sebagai negara dengan penemu hak paten yang semakin banyak dan disegani negara-negara lain. Dengan demikian, kita memberi ruang dan kesempatan bagi anak-anak untuk membangun kembali masa depan mereka dengan lebih baik.

Biarkan anak belajar demi mengejar mimpinya, bukan sekedar demi rumah, mobil dan penghasilan 5 digit. Biarkan anak mengejar mimpinya yang tanpa batas, bukan sekedar demi mengumpulkan harta di bumi yang akan rusak oleh ngengat dan karat.

 

Pdt. Sri. Yuliana. M. Th