Mencari Kebahagiaan

Mencari Kebahagiaan

Segala mahluk hanya punya satu tujuan di alam semesta ini, yakni mencapai kebahagiaan. Manusia mencarinya dengan susah payah. Tak ada mahluk yang mau dengan sengaja menderita di dalam hidupnya. Sayangnya, pengalaman mencari kebahagiaan bagi manusia merupakan soal rumit. Kita cenderung mencari di tempat yang salah. Akhirnya, tenaga habis, lelah, namun tetap tak bahagia. Tak hanya itu, kita bahkan lebih menderita, ketika kita mencari kebahagiaan di tempat yang salah. Ini terjadi, karena kita salah paham. 

Mengapa kebahagiaan sejati tetap tak dapat diraih, walaupun kita sudah berusaha? Jawabannya adalah karena kita membiarkan pikiran kita mempercayai segala sesuatu sebagai sumber kebahagiaan. Seperti pemahaman seorang perempuan yang berseru kepada Yesus dalam Lukas 11:27-28, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” Perempuan itu, dan masyarakat zaman itu, pada umumnya percaya bahwa kebahagiaan seorang perempuan ada pada rahimnya. Ketia dia mampu melahirkan dan memiliki anak (apalagi seperti Yesus) maka dia patut disebut sebagai perempuan yang berbahagia. Selama berabad-abad pemahaman itu terpatri dalam pikiran masyarakat, dan selama berabad-abad yang lampau tak terhitung perempuan yang mati menderita karena tidak memiliki anak. Yesus mematahkan pemahaman masyarakat tentang kebahagiaan, dengan mengatakan orang yang bahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya. 

Lalu apa jalan keluar dari semua ini? Milikilah kesadaran! Kesadaran bahwa semua hal di dunia ini selalu berubah. Termasuk hati dan pikiran kita. Jika kita memiliki kesadaran ini, maka kita akan tahu bahwa sesungguhnya seala sesuatu yang kita anggap bisa memberikan kebahagiaan, ternyata tidaklah nyata. Kesadaran berarti mampu mengubah pikiran-pikiran kita tentang penderitaan dan kebahagiaan.  

Toni Bernhard J.D., seorang psikolog dan penulis buku “You Don’t Have Believe Your Thoughts” menjelaskan duka atau penderitaan muncul dalam diri kita, itu karena kita selalu percaya pada apa yang kita pikirkan. Misalnya, kita berpikir: “Saya menderita jika tidak bisa memiliki dia”. Pikiran semacam ini jika terus dipelihara, akan semakin membuat kita menderita jika kita tidak mendapatkan seseorang atau benda yang kita inginkan. Tidak bisa tidur, tidak selera makan. Sepanjang hari hanya memikirkan benda tersebut. Kita berpikir bahwa kita akan bahagia jika kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita tidak punya uang untuk membelinya, maka semakin menderitalah hidup kita.

Kebahagiaan hanya dapat kita peroleh tatkala kita mampu mengubah pikiran kita menjadi sebaliknya. Katakana, “Saya tetap bahagia walaupun belum/tidak memiliki anak, karena saya berharga di mata Tuhan” atau “Saya tetap bahagia walaupun kamu meninggalkanku, karena kebahagiaanku tidak bergantung padamu.” Di tengah dunia yang terus berubah dan penuh tantangan ini, kemampuan mengendalikan pikiran kita adalah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.

Selamat berbahagia…