Menghidupkan Dan Menghidupi Firman Tuhan

Menghidupkan Dan Menghidupi Firman Tuhan

 

“4ku 5uk4 m3l4kuk417 k3h3nd4k-Mu y4 4ll4hku; 74ur47-Mu 4d4 d4l4m d4d4ku”.

Bisakah Saudara membaca kalimat di atas? Perlu berapa lama Saudara membacanya? Setengah jam atau bahkan lebih? Ya, itulah gaya bahasa anak-anak muda era sekarang. Kalimat di atas sebenarnya diambil dari Mazmur 40:9 “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku”. Namun dengan alasan menghemat kata dan mengikuti trend, mereka menulis kalimat dengan cara yang tampak lebih sulit dibaca dan diterjemahkan oleh generasi yang berbeda dengan budaya dan ragam bahasa yang berbeda pula. Hal ini tidak dapat dihindari.

Pada kenyataannya, banyak anak muda yang selalu mengikuti perkembangan masa kini dengan mengubah bahasa Indonesia menjadi bahasa yang sedikit berlebihan atau lebih tepatnya bisa disebut sebagai bahasa gaul bagi para ABG saat ini. Mulai dari penulisan huruf-huruf maupun angka-angka yang diplesetkan menjadi sedemikian rupa, sehingga terasa aneh, berlebihan, konyol, dan lucu. Susunan huruf-huruf dan angka-angka itu menjadi tidak sesuai dengan aturan baku EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) yang mulai diberlakukan sejak 26 November 2015 menggantikan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sebagai pedoman berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun bagi anak muda di masa kini, kalau tidak mengikuti bahasa yang mereka anggap trend itu akan dianggap sebagai anak muda yang tidak gaul. Mungkin bagi mereka, bahasa gaul di sini merupakan seni dan kreatifitas bagi anak muda. Akibatnya, banyak anak-anak muda yang sekarang bekerja di kantor kesulitan menulis surat-surat resmi dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Hal lain yang sering rancu dalam berbahasa Indonesia adalah penerapan “Hukum DM” (DM: Diterangkan-Menerangkan) sebagai aturan dasar pembentukan kata majemuk, misal: kata “hijau daun” bermakna warna hijau yang menyerupai warna daun. Sementara kata “daun hijau” bermakna daun yang berwarna hijau. Demikian menurut Hukum DM. Sementara Bahasa Inggris dan banyak bahasa lainnya menggunakan “Hukum MD” (MD: Menerangkan-Diterangkan), sehingga dalam Bahasa Inggris “Green leaf” bermakna daun yang berwarna hijau dan “Leaf green” bermakna berwarna hijau menyerupai warna daun. Kekacauan pernah terjadi sekitar tahun 1996-1997 ketika seorang pembawa acara sebuah stasiun tv yang lulusan luar negeri “mengoreksi” kata WIB sebagai singkatan Waktu Indonesia (Bagian) Barat. Menurut dia yang benar adalah “BBWI” (Bagian Barat Waktu Indonesia). Hal ini segera menjadi viral dan diikuti oleh anak muda pada waktu itu sebagai suatu hal yang “mutakhir” atau menurut bahasa anak muda sekarang kekinian. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena Badan Bahasa segera memberikan penjelasan. Ketidaktelitian dalam berbahasa, terutama dalam bentuk tulisan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahan dalam bertatabahasa (gramatikal) dapat menyebabkan perbedaan arti. Lebih-lebih kesalahan berlogika dalam berbahasa yang dapat membuat lawan bicara atau penerima kabar tidak memahami pesan yang disampaikan.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Demikianlah Alkitab menggambarkan Firman Allah. Supaya Firman Allah dapat dimengerti oleh umat-Nya, maka Firman itu harus “dihidupkan” kembali melalui penerjemahan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Upaya untuk “menghidupkan” Firman Allah dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dengan sangat serius terutama dalam mengerjakan penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia dan ke dalam bahasa-bahasa daerah. Pemilihan kata, penerapan tata bahasa, penulisan, semuanya mendapat perhatian dengan tujuan supaya Alkitab tidak disalahmengerti atau tidak dipahami oleh pembacanya. Alkitab Terjemahan Baru (1974) diterjemahkan dengan mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai pengganti “Ejaan Suwandi” yang dipergunakan sebelumnya sejak 1947. Demikian juga dengan Alkitab Terjemahan Baru II (Edisi Revisi) yang dilakukan oleh LAI, juga dilakukan dengan memerhatikan perkembangan-perkembangan terakhir dalam bahasa penerima, penelitian teks sumber, perkembangan ilmu tafsir dan ilmu pernerjemahan (“science of translating”). 

Penerjemah adalah orang yang “menghidupkan” Firman Tuhan agar Firman itu dapat “menghidupi” iman para pembacanya. Oleh karena itu, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai lembaga yang menerjemahkan Alkitab berusaha untuk tetap konsisten dalam menerjemahkan teks-teks Alkitab. Semua dikerjakan dengan baik, teliti dan sesuai kaidah-kaidah Bahasa Indonesia, supaya Alkitab dapat “hidup” dan “berbicara” kepada manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui Alkitab dan terbitan-terbitan LAI lainnya yang mudah dibaca dan mudah dimengerti oleh semua orang dan Alkitab terbitan LAI tidak akan disalahmengerti oleh penduduk Indonesia dari Sabang hingga Merauke dan dari Miangas hingga Rote. Hal ini juga menjadi alasan bagi LAI untuk menyelenggarakan program Pembaca Baru Alkitab (PBA), sebuah kursus literasi Bahasa Indonesia (dan berhitung) dengan menggunakan buku ajar berupa Alkitab. Alkitab dipilih sebagai buku ajar karena kalimat-kalimat dan pemilihan kata dalam Alkitab sudah dipilih dengan menggunakan kata yang benar dan ditulis sesuai tata bahasa yang benar.

Demi kelestarian budaya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa, mari kita meneruskan jiwa dan semangat para tokoh pionir dan perintis penerjemahan Alkitab di masa lampau yang setia menggunakan bahasa Indonesia dalam menerjemahkan Alkitab. Melalui bahasa Indonesia kita dapat mengabarkan Firman Tuhan sampai ke ujung bumi. Dengan demikian, kita yakin Alkitab dapat menjadi pemersatu umat Tuhan di seluruh Indonesia.

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.