MENJADI PENERJEMAH KITAB SUCI

MENJADI PENERJEMAH KITAB SUCI

Kesaksian. Sr. Emmanuel Gunanto, OSU

Hendaknya buku ini dibaca dengan penuh kerelaan dan hati terbuka, Dan hendaknya bersabar dengan bagian-bagian yang mungkin kurang baik terjemahannya, walaupun saya sudah berusaha menerjemahkannya dengan sebaik mungkin. Sebab buku itu tidak tepat sama artinya bila dibaca dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Ibrani, atau bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain.                                             (Sirakh, Pendahuluan).

Demikian sebuah kutipan dari Pendahuluan buku Sirakh. Aku senang dan terhibur oleh tulisan itu. Kalau putra Sirakh saja yang fasih berbahasa Ibrani merasa sulit menerjemahkan satu naskah ke dalam bahasa lain, apalagi kami yang tidak tahu bahasa Ibrani dan naskah aslinya tidak seutuh yang dia miliki.

Pekerjaan sebagai penerjemah mulai kulakukan ketika duduk di bangku SPG klas I di Purworejo. Majalah di sekolah tidak ada. Maka, Suster Engeline, PBHK mengambil inisiatif untuk membuat majalah dinding. Aku disuruh menerjemahkan tulisan-tulisan dari sebuah majalah Belanda. Kemudian gambarnya digunting dan ditempel. Jadilah majalah dinding yang menyajikan aneka berita, cerita dan pengetahuan. Memasuki masa novisiat pun aku diberi pekerjaan sebagai penerjemah. Di tahun 1958 belum ada Kitab Perjanjian Lama Katolik dalam bahasa Indonesia. Baru ada Perjanjian Baru keluaran Ende tahun 1956. Kami mulai dengan Misa dalam bahasa Indonesia, dan sementara teman-temanku mencabut rumput di kuburan, aku duduk me-nerjemahkan bacaan dari Perjanjian Lama untuk Misa esoknya.

Pada sekitar tahun 1977, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) mencari orang untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS). Itu merupakan proyek bersama LBI dengan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Sr. Marian Bohen OSU, orang Amerika yang beberapa tahun lamanya menjadi misionaris di Indonesia, mengusulkan aku, dan aku diterima. Sebelum memulai proyek itu, aku mengikuti training penerjemah di Haranggaul, sebuah tempat yang dingin di sebelah utara Medan. Teman-teman dari LAI minta aku pakai busana awam bila bersama mereka. Aku tinggal di sebuah asrama Gereja HKBP, namun setiap pagi ke Misa di Gereja Katolik. Di sana ada Suster-suster. Mereka mengamati aku sementara berdoa ofisi (ibadat harian) sebelum Misa. Pikir mereka, aku mantan biarawati yang masih rindu berdoa ofisi. Ha, ha, ha…

Teman penerjemahku ada dua: Ibu Mia Sigar, dia orang Rote, dan Ibu Amsy Susilaradeya, orang Jawa. Ibu Mia sudah berpengalaman karena sudah lebih dulu mengerjakan Perjanjian baru. Orangnya serius dan tekun. Amsy gemuk, lucu dan ramai. Koordinator kami Dr. Daniel Arichea, orang Filipina. Beliau tinggal bersama Ruth istrinya dan ketiga anak mereka, Steven, Miryam dan Michael di sebuah rumah di kompleks LAI Bogor. Rumah mereka ditambah satu ruangan besar untuk kamar tidur kami bertiga. Ada tiga tempat tidur berjejer, Amsy di tengah. Ketika kami di sana, ada perayaan kecil buat Michael, si bungsu. Dia tamat membaca seluruh Alkitab “in Today’s English Version”, dalam bahasa Inggris sehari-hari. Waktu itu ia duduk di kelas VI SD Internasional di Ciputat.

Pada permulaan proyek, kami masing-masing diberi jatah buku untuk diterjemahkan. Aku kebagian buku Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan, Yesaya, Mazmur dan Kidung Agung. Kami bekerja di rumah masing-masing dengan target tertentu, aku lupa berapa halaman sehari. Naskah kami ketik dengan mesin tik di kertas tipis dengan karbon, paling sedikit 4 copy. Tiap bulan selama satu minggu kami kumpul di rumah Dr. Arichea di Bogor. Di situ kami bekerja intensif pagi, siang, malam. Seorang membaca naskahnya, Dr. Arichea dan dua teman lainnya mengikuti untuk mengoreksi dan memberi komentar. Dr. Arichea paling repot, sebab beliau harus mencocokkan terjemahan kami dengan naskah Ibrani. Naskah yang sudah kami perbaiki, diketik lagi dan dikirim kepada para konsultan yang ahli Alkitab, Mereka itu antara lain Pater Groenen, OFM (alm), dan Pater Martin Harun, OFM. Dari mereka kembali kepada kami untuk diperiksa lagi.

Kalau kami di Bogor pada hari Minggu, kami berempat ke gereja masing-masing: Dr. Arichea ke gereja Metodis, aku ke gereja Katolik, Amsy ke GKI dan Mia ke Gereja Baptis. Pertama kali Amsy dan Mia pulang dari kebaktian hari Minggu, mereka antusias sekali. “Saya ditanya jemaat: ‘Dari mana?’ Mereka minta saya memperkenalkan diri dan memberi kesaksian tentang pekerjaan kita di sini.” “Saya juga…” Cuma aku yang tidak punya cerita. Aku ke gereja Katedral. Di sana ada banyak sekali orang. Tidak ada yang memperhatikan aku. Tidak ada yang bertanya “bu” atau “ba”. Kasian deh….

Kadang untuk variasi kami mengadakan pertemuan bulanan di tempat lain, misalnya di biara Theresia Jakarta, atau di biara Klaris di Pacet. Pertemuan itu membuat kami akrab satu sama lain, meskipun ada kalanya kami bertengkar. Kami bertiga dari “zaman doeloe”, jadi selalu ngobrol dalam bahasa Belanda. Kasihan Dr. Arichea yang tidak mengerti dan memandang kami dengan mata bulat besar. Makanan yang dibuat Ibu Ruth enak, dan tiap kali Amsy berkata “Saya takut menjadi gemuk!” untuk menahan nafsu makannya. Dr. Arichea berkomentar: “You cannot become what you are!” Maksudnya, “kalau sudah gemuk ya tidak bisa menjadi gemuk.” Selain bergumul dengan teks Alkitab, kami belajar dari Ibu Ruth membuat kue dan roti ala Amerika: muffins, brownies, macam-macam pie yang enak sekali.

Kadang jam 11 malam ada film menarik di TV. Amsy bisa tidur jam 10 dan nanti jam 11 sudah segar bugar untuk nonton. Begitu berbaring, lesss, pulas. Begitu bangun, byarrr, segar. Beda dengan Mia dan aku yang susah tidur dan susah bangun. Jadi Amsy saja yang bangun malam untuk nonton. Amsy pandai sekali bercerita. Kalau dia cerita, kami bisa membayangkannya hidup-hidup. Bisa dibayangkan bahwa tulisannya juga hidup. Suatu hari sementara istirahat siang, Amsy membaca Newsweek. Di situ ada gambar orang-orang tergemuk di Amerika. Amsy terpingkal-pingkal membacanya. Tiba-tiba, gedebruk! Tempat tidurnya jebol dan Amsy dengan kasurnya jatuh di lantai. Oh, ampun! Kami tidak habis-habisnya tertawa.

Proyek kami selesai dalam lima tahun sesuai target, dari 1977 sampai 1982, berkat sikap disiplin Dr. Arichea. Masih terngiang-ngiang kata-kata beliau: ”Back to work!” (kembali bekerja) tiap kali kalau kami berlama-lama di meja makan atau lupa waktu karena mengobrol. Aku masih melanjutkan setengah tahun lagi untuk menerjemahkan buku-buku Deuterokanonika bersama Pater Martin Harun, OFM. Untuk memeriksa pekerjaan, kami kadang beberapa hari di Pacet Sindanglaya. Aku mondok di Susteran dan Pater di Pastoran. Aku ingat waktu sangat kedinginan, aku meminjam kaos kaki Pater Martin untuk tidur, karena kaos kaki yang kupinjam dari Suster sangat tipis dan tak mampu mengusir rasa dingin.

Januari 2010 aku mengunjungi Dr. Daniel Arichea di Manila. Beliau sudah menjadi Uskup Metodis, dan bersama Ibu Ruth bekerja di Philippine Bible Society. Ketiga anak mereka sudah menikah dan tinggal di Amerika Serikat. Keluarga itu sudah melalangbuana di manca negara, tapi yang mereka anggap “home”, rumah mereka, adalah Bogor! Pertemuan kami bertiga amat menyenangkan. Kami mengenang kembali saat-saat manis di Bogor. Mereka mengajak aku makan bersama di sebuah restoran. Waktu pulang, jalanan sangat ramai dan amat sulit mendapat taksi untuk membawaku ke komunitas Ursulin di Quezon City. Ibu Ruth jalan beberapa blok untuk mencegat taksi. Berhasil! Kata Dr. Arichea, “Lihat, istriku orang yang sangat efisien. Saya tak mengerti mengapa uskup-uskup Katolik tidak mengambil istri untuk membantu mereka.” Ha, ha, ha… Dr. Arichea masih sama seperti dulu: orang yang berbudi luhur dengan rasa humor yang tinggi.

Pekerjaan sebagai penerjemah tidak gampang seperti dikatakan putra Sirakh. Juga tak pernah akan selesai, sebab zaman terus berubah dan bahasa terus berkembang. Jadi terjemahan harus selalu dibaharui dari waktu ke waktu. Tapi yang paling sulit bukan menerjemahkan Sabda Tuhan dari satu bahasa ke bahasa lain, melainkan ke dalam hidup sehari-hari. Hanya kalau itu terjadi, akan menjadi nyata bahwa Sabda sudah menjadi manusia dan tinggal di antara kita.