Menuju Keluarga New Normal

Menuju Keluarga New Normal

 

Situasi Lockdown/PSBB yang telah kita lalui, memaksa kita hidup kembali dalam realitas dan berbagai pilihan: kehidupan keluarga yang tidak lagi hanya bertemu pagi dan malam hari, tetapi sepanjang hari, pilihan menganut hidup sehat atau tertular, mengatur ulang prioritas belanja keluarga atau terperangkap dalam membeli barang demi memenuhi gaya hidup dan gengsi. Selama masa Lockdown/PSBB telah menempatkan kita pada situasi yang saling kontradiksi. Di satu sisi, kita dilanda ketakutan, apalagi setelah WHO menyatakan bahwa dunia dalam status pandemik. Namun di sisi yang lain kita juga melihat ada harapan baru yang menjanjikan yang akan membawa kita kepada dunia yang lebih baik.

Ketakutan yang semakin meningkat itu dapat kita saksikan ketika beberapa negara – khususnya di Eropa dan Amerika pada masa awal wabah mengalami kegagalan pelayanan kesehatan karena kurangnya pengalaman mengantisipasi kejadian seperti ini dibandingkan dengan negara-negara di Asia yang pernah mengalami epidemi SARS, MERS, Flu Avian. Kebijakan Lockdown/PSBB selama 3 bulan telah menonaktifkan beberapa sektor ekonomi yang telah menyebabkan berhentinya perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, banyak anggota masyarakat dan keluarga-keluarga yang terpuruk.

Dibalik keterpurukan keluarga dan masyarakat akibat mandegnya perekonomian, ada juga berita-berita yang menjanjikan perubahan kehidupan baru. Ada harapan baru untuk membangun atau mengubah dunia menjadi lebih baik lagi. Misalnya, adanya petugas kesehatan (dokter dan perawat) yang menunjukan standar profesionalisme yang tinggi. Adanya relawan yang bukan tenaga medis namun mau membantu pelayanan penanganan ODP/suspek.  Adanya pekerja sektor pangan, transportasi serta kebersihan/pekerjaan umum, petugas keamanan (Satpol PP, Hansip, Satpam) yang tetap bekerja dengan mengikuti protokol kesehatan agar kehidupan sehari-hari tetap berjalan walau dalam segala keterbatasan.  

Kontradiksi juga terjadi dalam proses menuju perubahan dan pengharapan itu sendiri. Ada berbagai cara masyarakat menjalani kehidupan dengan saling bertentangan satu dengan yang lain; keramahtamahan (kindness) yang hidup berdampingan dengan kesyirikan (cruelty). Keugaharian (generousity) vs keserakahan (greedy), harapan vs kesinisan, kasih-sayang vs kebencian. Kondisi semacam ini tentu saja mempengaruhi kestabilan dan ketangguhan pondasi keluarga dan masyarakat. Di satu sisi kondisi ini telah membuat hidup kita (khususnya keluarga kelas menengah) merasa masih nyaman dan aman. Berbagai kebutuhan sehari-hari dapat dibeli dengan mudah di supermarket/superstore mulai dari garam hingga gadget dan kendaraan bermotor. Namun di sisi lain ‘kita sudah membayar terlalu mahal’ atas segala kemudahan dan kenikmatan tersebut.

Dalam menyikapi keadaan yang seperti ini, terlebih memasuki era new normal, kita dituntut untuk membangun kembali kesadaran tentang bagaimana cara kita melanjutkan kehidupan dengan pola hidup yang baru. Bagaimanapun, perubahan menuju perbaikan hidup tidaklah mudah. Namun demikian, kita dan keluarga kita harus berubah!  Tugas kita adalah menciptakan keluarga yang tangguh dalam menghadapi bencana dan perubahan-perubahan pola hidup. Keluarga kita membutuhkan sistem ketahanan yang kuat. 

Keluarga yang rapuh dan terpecah-pecah tidak akan mampu menghadapi perubahan. Bukan hanya soal kesatuan keluarga, namun juga kesatuan seluruh lapisan masyarakat. Seperti yang disampaikan dalam Pengkhotbah 4:12, “Dan bilamana seorang dapat dikalahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan”. Ketahanan sebuah bangsa/masyarakat sangat bergantung pada kekuatan mereka dalam membangun kesatuan dan kebersamaan. Pentingnya kesatuan di antara keluarga dan sesama perlu dipahami secara inklusif, yang merangkul semua orang, mencakup semua aspek kehidupan dan memelihara bumi ciptaan Allah.

World Economic Forum (WEF) dalam himbauannya menekankan hal pentingnya keutuhan ciptaan dalam menghadapi krisis akibat COVID-19, "Broken relationship with nature has led to pandemic such as COVID-19. But the crisis presents an opportunity to change. Because we design a recovery that heals our relationship with nature, we can reset in such a way that benefits the planet as a whole". Memburuknya hubungan kita dengan alam/lingkungan hidup (di sekitar kita) telah membawa akibat buruk seperti Pandemi COVID-19. Tetapi krisis tersebut telah membuka peluang perubahan. Sebab, apabila kita dapat memulihkan hubungan dengan alam sekitar, maka kita dapat menjadikan planet bumi ini sebagai tempat hidup yang indah dan nyaman serta aman bagi seluruh ciptaan.

Dalam upaya membangun kesatuan dan ketangguhan keluarga dan pemulihan seluruh ciptaan, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita kerjakan, yaitu:

- Hubungan dan komunikasi antar keluarga perlu dikembalikan ke komunikasi tatapan mata, sentuhan, perhatian, kasih sayang (affectionate and kindness).

- Menganut pola hidup dengan makanan sehat/menu seimbang bukan mengkonsumsi apa saja termasuk mengkonsumsi obat/makanan suplemen.

- Ketahanan ekonomi keluarga dapat ditingkatkan dengan belanja kebutuhan keluarga (yang benar-benar dibutuhkan), bukan belanja demi gaya hidup dan gengsi (generousity/ugahari).

Keluarga yang bersatu dalam menghadapi era new normal dengan melakukan hal-hal yang positif akan membawa banyak perubahan dan membawa banyak dorongan pada orang lain untuk melakukan hal yang sama. Karena itu, sembari kita membangun ketangguhan keluarga, kita juga harus lebih waspada dan berjaga-jaga terhadap pelbagai gangguan dari dalam maupun dari luar diri kita untuk berubah dan menjalani pola hidup yang baru. Dengan demikian kita dapat menjadi keluarga-keluarga yang tangguh dan siap menjalani pola hidup new normal.

Pdt. Sri Yuliana M. Th.