Pdt. Arni Mince Bitjara, S.Si: Mencintai Hingga Terluka

Pdt. Arni Mince Bitjara, S.Si: Mencintai Hingga Terluka

 

Pandemi Covid-19 bukan hanya memunculkan permasalahan terkait kesehatan. Pandemi juga menghadirkan berbagai krisis di tengah masyarakat, seperti: krisis ekonomi, krisis pendidikan, mental, krisis kepercayaan, bahkan krisis harapan. Yang merasakannya bukan hanya mereka yang tinggal di perkotaan. Mereka yang tinggal di pelosok, seperti warga Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kalaksanan pun mesti berjuang dan beradaptasi menghadapi pandemi. Pandemi panjang pelan tapi pasti memampukan Gereja menjadi pelopor dan juga penggerak ekonomi jemaat dan bahkan penduduk sekitar ketika pengharapan tampaknya mulai pudar. 

Hubungan antariman

GKP Jemaat Kalaksanan, terletak di Dusun Kalaksanan, Kecamatan Cipatujah. Jaraknya 98 km dari pusat kota Tasikmalaya. Meskipun bukan jemaat besar hubungan warga jemaat GKP Kalaksanan dengan penduduk Kalaksanan yang berbeda keyakinan sejatinya cukup harmonis. “Kami masih menjunjung tinggi budaya gotong royong, misalnya pada saat membangun rumah ibadah, madrasah atau sekolah,”tutur Pdt. Arni. “Seluruh masyarakat akan datang saling membantu tanpa diarahkan,”lanjutnya.  

Keharmonisan persaudaraan tersebut semakin terlihat sejak datangnya pandemi Covid-19. Program-program yang digagas jemaat semenjak pandemi telah membantu perekonomian penduduk Kalaksanan. Covid-19 memberi pelajaran bahwa krisis tidak memandang agama! 

Berjuang di  masa pandemi

Pada awal pandemi covid-19, mengikuti protokol kesehatan dari pemerintah, seluruh kegiatan peribadahan langsung di GKP Kalaksanan berhenti dan pindah ke rumah masing-masing warga. Majelis Jemaat membuat dan menyebarkan panduan kebaktian mingguan ke tiap-tiap wilayah. Ini menjadi tantangan tersendiri karena membuat pengeluaran kas jemaat menjadi cukup besar. 

“Kami tidak bisa beribadah secara online karena mayoritas warga jemaat GKP Kalaksanan tidak memiiki android,”terang Pdt. Arni Mince Bitjara, pendeta GKP Kalaksanan. “Selain itu jaringan internet di Kalaksanan tidak stabil bahkan sering mati jika turun hujan atau mati lampu,”lanjutnya.  Ketika adaptasi kebiasaan baru mulai diberlakukan, jemaat GKP Kalaksanan mulai membuka peribadahan langsung di gedung gereja secara bergiliran untuk wilayah (sektor-sektor) anggota GKP Kalaksanan.

Mencari Jalan Keluar  

Ketika pandemi mulai menyerang, dampaknya bukan hanya persoalan kesehatan maupun pembatasan aktivitas. “Warga mengalami krisis ekonomi,”kata Pdt. Arni. Pandemi Covid-19 telah merusak pondasi kepercayaan diri dan mental yang telah dibangun warga selama bertahun-tahun. “Ekonomi keluarga memburuk. Banyak anak akhirnya putus sekolah karena tidak siap dengan sistem Pendidikan Jarak Jauh yang diterapkan selama pandemi. Setelah keluar dari sekolah banyak anak usia remaja menikah di usia dini. Banyak anak usia sekolah yang mestinya masih harus menuntut ilmu di bangku sekolah menengah akhirnya harus bekerja di usia yang sangat dini. 

Hal ini tentu menjadi pukulan dan tantangan bukan hanya umat yang terdampak namun juga pendeta jemaat. Pdt. Arni berusaha memikirkan jalan keluar untuk warga agar mereka dapat tetap menjalankan peribadahan, anak-anak tetap dapat bersekolah dengan lancar dan warga mampu bertahan secara ekonomi. 

Mulai dengan VCO

Suatu saat Pdt. Arni terlibat perbincangan dengan salah satu koleganya sesame pendeta GKP. Temannya mengatakan bahwa Virgin Coconut Oil (VCO) bagus untuk meningkatkan daya tubuh dari berbagai penyakit. “Kami memutuskan untuk mencobanya karena kami melihat bahwa bahan baku kelapa banyak ditemukan di Kalaksanan dan sekitarnya,”terangnya. 

Pdt. Arni selanjutnya membentuk tim parut kelapa di tiga rumah penduduk Kalaksanan (satu rumah di wilayah Barat, satu rumah di wilayah Timur dan satu rumah di wilayah Utara). Siapa saja boleh bergabung dalam tim pemarut kelapa yang beranggotakan warga Kristen dan Muslim ini. Dari pekerjaan sebagai pemarut kelapa tersebut, warga memperoleh upah harian dari apa yang mereka lakukan. Warga senang karena dengan upah tersebut, roda ekonomi rumah tangga dapat terus berjalan.   

“Kami sengaja tidak membeli alat parut kelapa, agar tercipta kebersamaan di Kalaksanan dan banyak warga dapat memperoleh pekerjaan dari program yang digagas secara mendadak ini,”kata Pdt. Arni. 

Kendala terbesar ketika memulai perintisan dan pengembangan usaha VCO adalah Pengadaan botol dan stiker, karena di Kalaksanan atau Cipatujah tidak ada toko penjual botol dan percetakan stiker. Semua fasilitas itu hanya ada di Tasikmalaya (jarak tempuh 3 jam dari Kalaksanan - Tasikmalaya). Situasi ini diperumit dengan rentannya melakukan perjalanan keluar kota karena pandemi Covid-19.

Akan tetapi, puji Tuhan ada seorang pemuda muslim di Kalaksanan yang dengan sukarela membantu Pdt. Arni. Kebetulan pemuda tersebut memiliki rekan kerja di Bandung yang mampu menyediakan botol. Pemesanannya juga mudah, langsung via telepon. Ia juga secara sukarela berangkat ke Tasikmalaya menggunakan motor untuk pergi ke tempat pembuatan stiker. Lebih dari itu, pemuda tersebut juga menjadi jembatan para petani kelapa, sehingga para petani mengantarkan sendiri hasil panen kelapa tua mereka ke gereja.

Pada akhirnya usaha VCO ini bukan hanya menjadi produk jemaat GKP Kalaksanan, tapi produk bersama seluruh masyarakat Kalaksanan, Kristen dan Muslim.

Menyediakan kuota bagi anak usia sekolah

 Di Kalaksanan tidak tersedia fasilitas untuk memasang wifi. Kabel Telkom tidak bisa menjangkau Kalaksanan dan menembus daerah Kalaksanan karena banyaknya pepohonan. Demikian pernyataan seorang petugas Telkom ketika Pdt. Arni berupaya untuk memasang wifi di area gereja. Tujuannya mulia, agar semua anak warga jemaat dan penduduk Kalaksanan lainnya bisa belajar online.

Banyak orang tua yang tidak siap dengan kondisi darurat akibat pandemi seperti  ini. Mereka yang memiliki perangkat gadget Android tidak difasilitasi jaringan yang kuat untuk memungkinkan anaknya bisa mengikuti pelajaran online. Di sisi lain peragkat android memerlukan kuota yang cukup besar agar optimal dalam mengikuti pembelajaran jarak jauh. Akibatnya, satu per satu anak mulai putus sekolah dan yang lebih menyedihkan memutuskan untuk menikah di usia.

Keadaan ini membuat Pdt. Arni dan gereja mengalihkan semua program penjualan VCO untuk menopang kebutuhan kuota internet bagi anak (waktu itu belum ada bantuan kuota internet belajar dari pemerintah). Agar tujuan tersebut bisa cepat terpenuhi dan ekonomi warga jemaat dan masyarakat sekitar berjalan, dibukalah lapak online GKP Kalaksanan. Di lapak online ini GKP Kalaksanan bukan hanya memasarkan VCO tetapi juga berbagai produk warga jemaat dan penduduk Kalaksanan lainnya, seperti: kacang sangrai (dari petani kacang) yang disangrai oleh para perempuan Muslim dan Kristen, gula aren (dari petani aren yang terhenti produksinya karena dari kota menghentikan permintaan pengiriman gula aren karena pandemi ini), beras merah, dan pepaya California. 

Program pemberian kuota belajar untuk anak berjalan dengan lancar setiap bulan. Dari berbagai upaya pengembangan ekonomi jemaat yang dilakukan, gereja dapat mendukung penyediaan kuota belajar untuk 50 orang anak sejak bulan Agustus, September dan Oktober. Pada akhir Oktober dukungan kuota belajar dari pemerintah mulai diterima anak Kalaksanan. Sehingga mulai awal bulan November hasil keuntungan penjualan produk masyarakat dialihkan untuk operasional TK Ekklesia Kalaksanan. Pandemi Covid-19 juga membuat operasional sekolah terganggu. “Puji Tuhan, kami tetap bisa memberikan kesejahteraan para guru TK sampai sekarang meskipun semua murid tidak membayar SPP karena situasi yang sulit seperti ini. Semua berkat pertolongan Tuhan,”demikian penjelasan Pdt. Arni. 

Puji Tuhan, setelah usaha VCO mulai berkembang, ekonomi warga jemaat dan penduduk Kalaksanan lain meskipun perlahan tetap berputar sampai saat ini. Berbagai usaha tersebut memungkinkan kesejahteraan fungsionaris gereja tidak terpotong, guru TK Eklesia juga tetap dapat mengajar dengan penuh semangat dan menerima kesejahteraan seperti biasanya. Krisis ekonomi tidak membuat warga menjadi putus harapan dan malah memunculkan solusi. 

Sekarang gereja menjadi terminal hasil bumi dari warga jemaat yang ingin memasarkan produknya secara online. Dalam hal ini Pdt. Arni mendukung penuh dan menjembatani harapan warganya untuk berwirausaha kecil. “Kami mendata dan mengumpulkan informasi siapa saja warga jemaat yang mampu berjualan selama pandemi ini, kemudian kami bantu untuk memasarkan produk mereka secara online,”terang Pdt. Arni.

Sejak kecil

Cita-cita menjadi pendeta tidak muncul tiba-tiba dalam diri Pdt. Arni. Ia sudah bercita-cita menjadi pendeta sejak kecil, karena mengagumi  sosok kakeknya yang adalah seorang pendeta. “Sejak kecil, saya mendengar banyak cerita dari orang tua saya mengenai pelayanan yang dilakukan kakek sebagai gembala umat. Begitu mulia tugasnya. Kekaguman itu tertanam dalam diri saya dan melahirkan keinginan untuk mengikuti jejak kakek,”tegasnya.  

Maka setelah lulus sekolah menengah ia pun mendaftar ke salah satu perguruan terbaik teologi di Indonesia, yaitu Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta. “STT Jakarta adalah kampus yang menerima mahasiwa dari interdenominasi gereja. Yang saya tahu banyak lulusan dari STT Jakarta yang menjadi orang-orang hebat. Sesederhana itu saja yang membuat saya memilih STT Jakarta sebagai tempat saya belajar,”katanya. Pilihan menempuh studi teologi memperoleh dukungan penuh dari kedua orang tuanya. 

Masa-masa perjuangan sebagai mahasiswa

Sebagai mahasiswi STT Jakarta, Arni pernah mendaftarkan diri dalam program beasiswa kerja di STT Jakarta. Sebagai mahasiswa yang memperoleh beasiswa kerja ia melakukan berbagai tugas rutin di luar kuliah. Setiap sore setelah pulang kuliah, dirinya dan teman beasiswa kerja yang lain harus membersihkan ruang kelas, kantin, toilet, dan semua area kampus sesuai jadwal tugas. “Ini menjadi pengalaman berkesan haru sekaligus bangga karena saya dapat menghasilkan uang sendiri dari mengikuti program ini,”kenangnya. Melalui program beasiswa kerja ini dirinya berkenalan dan kemudian lebih dekat lagi dengan orang yang kini menjadi suaminya, Wilson Simamora, sesama mahasiswa STT Jakarta.

Ketika Arni duduk di tingkat tiga, mamanya jatuh sakit. Dokter memvonis sang mama terkena kanker payudara. Karena rumah sakit di tempat tinggal keluarga Arni di Cianjur tidak mampu menangani, maka Arni membawa mamanya ke Jakarta, agar bisa memperoleh pengobatan yang lebih baik. Mereka kemudian tinggal di kontrakan Arni di Jakarta, di dekat kampus STT Jakarta.  Sejak saat itu, Arni harus membagi waktunya antara menjalani kuliah dan merawat mamanya. “Kurang lebih selama satu tahun saya merawat mama saya dengan mengantarkan kemoterapi ke RSCM, hingga menemaninya di UGD jika ia mengalami pendarahan pada tengah malam atau dini hari,”kenangnya. 

 “Setiap kali ada waktu istirahat atau jeda kuliah saya harus kembali ke kontrakan mengecek makanan dan diaper-nya karena mama saat itu sudah tidak mampu berjalan. Kaki mama tak bisa lagi menopang tubuhnya yang lebih berat karena luka kankernya,”lanjutnya. 

Meski Arni dan keluarga telah berjuang, Tuhan agaknya berkehendak lain, saat Arni naik ke tingkat empat di STT Jakarta, mamanya dipanggil Tuhan. Arni menerima kembalinya mama ke surge dengan ikhlas karena ia telah berjuang mendampingi sepanjang proses deritanya menjalani proses kemoterapi. “Saya bersyukur karena bisa bersama mama selama kurang lebih satu tahun menjalani perawatan, karena dokter memprediksi mama tidak akan mampu bertahan lebih dari 3 bulan. Penyakitnya kanker yang dideritanya sudah stadium akhir,”katanya. 

Tidak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, Arni pun mulai fokus untuk menulis skripsi sebagai syarat kelulusannya dari STT Jakarta. Namun, ujian tampaknya belum berlalu. “Ketika rasa duka atas meninggalnya mama belum hilang, saya harus menerima kenyataan bahwa bahwa ada benjolan di payudara dan dokter memutuskan harus dilakukan operasi,”katanya. Ujian hidup ini membuat Arni merasa dirinya tidak mungkin lulus tepat waktu dari STT Jakarta. Namun, Arni pantang menyerah. Berkat penyertaan Tuhan, Arni  bisa lulus tepat waktu meskipun dalam proses pemulihan pasca operasi.

Ditempatkan di GKP Kalaksanan dan Ditolak Umat

Pada 10 Juni 2012, Arni ditetapkan sebagai Vikaris (calon pendeta) di GKP Jemaat Kalaksanan, Tasikmalaya.  Bukan hanya tempatnya yang cukup terpelosok, namun sejarah pembakaran gedung gereja dan rumah-rumah warga jemaat pada tahun 1996 dan 2001 menjadi sebuah sejarah kelam yang membuatnya sempat merasa was-was ketika masuk ke Kalaksanan. “Jika saya katakan diri saya tidak khawatir sama sekali berarti saya berbohong,”ujarnya sambil tertawa.

Pengalaman pahit pembakaran itu membuat warga jemaat tidak yakin dengan kehadiran perempuan sebagai calon pemimpin umat karena pendeta sebelum Arni melayani di Kalaksanan adalah laki-laki. 

“Saya menyadari saya ditolak (meskipun secara halus), tetapi saya mencoba untuk tidak melawan penolakan itu agar saya bisa terus berfikir jernih dan positif untuk tetap melihat peluang-peluang yang bisa saya kerjakan untuk Kalaksanan. Saya berusaha berdamai dengan kekhawatiran sambil mencoba memahami ada traumatis warga jemaat akan sejarah kelam itu yang tidak mudah diobati,”katanya. 

“Penolakan terhadap pemimpin perempuan selanjutnya mampu saya lihat secara positif karena mereka tidak ingin sesuatu yang fatal seperti 1996 atau 2001 – yang bisa saja terulang, nantinya harus saya alami,”lanjut Arni. 

Meskipun Arni sudah tahu bahwa ada budaya patriakal yang cukup kental di Kalaksanan dirinya mencoba untuk berdamai dengan situasi tersebut tanpa harus marah dan terburu-buru melakukan perubahan paradigma berfikir tentang budaya patriakal yang sudah berakar dalam.  Arni memilih untuk menjalani pelayanannya dengan penuh ketulusan dan cinta. Karena baginya pelayanan adalah pengabdian kepada Sang Cinta. 

Tentang ini Arni belajar dari salah satu sosok yang menginspirasinya dalam pelayanan, yaitu Bunda Teresa. “Salah satu ungkapan Bunda Teresa yang menjadi kekuatan saya menjalani pelayanan hingga saat ini adalah: jika engkau mencintai sampai terluka, tidak akan ada lagi luka, yang ada hanya bertambah cinta,”kata Arni. 

 Setelah hampir dua tahun menjalani masa persiapan calon pendeta (vikariat), pada 4 Maret 2014 Vik. Arni Selvi Mince Bitjara, S.Si. ditahbiskan menjadi pendeta GKP dan diresmikan menjadi pendeta jemaat Kalaksanan pada 16 Maret 2014. Sampai hari ini Pdt. Arni masih terus melayani di GKP Kalaksanan, bahkan telah memasuki periode kedua masa pelayanan. 

Kini, jumlah warga jemaat di GKP Kalaksanan telah jauh berkembang. Tercatat kini ada 110 KK dan ditambah ada dua pos pelayanan baru, yaitu Pospel Karangnunggal dan Pospel Pamengpeuk. Kedua pospel tersebut diresmikan pada 24 Maret 2019. 

Sebagai pendeta yang melayani di daerah pelosok, Arni akrab dengan situasi sulitnya sinyal telepon. “Tak jarang kami terlambat mendapat informasi penting dari klasis atau sinode. Saya harus sering mencari titik jaringan yang cukup kuat untuk dapat update informasi terkini,”katanya. Di luar masalah sinyal telepon, Arni memandang sebagai seorang pendeta yang melayani di daerah pelosok fisiknya harus selalu prima, agar siap untuk melakukan berbagai tugas pelayanan maupun menghadiri pertemuan di luar kota. 

“Bukan satu hal yang baru jika saya menghadiri acara pertemuan yang hanya sepanjang dua jam, tetapi saya harus menghabiskan waktu perjalanan dua hari pulang pergi, bahkan tiga hari untuk memulihkan fisik sebelum beracara,”tuturnya. 

Untunglah dalam berbagai tantangan dan kesibukan pelayanan, Pdt. Arni senantiasa mendapatkan dukungan penuh dari suaminya, Wilson Simamora. Mereka dulunya satu almamater di STT Jakarta. 

“Pada tiga tahun pertama pernikahan, kami harus tinggal berjauhan. Saya di Kalaksanan, suami bekerja di bidang kerohanian Rumah Sakit Bayukarta Karawang,”kenangnya. Meski berjauhan, Arni berusaha memberikan dukungan penuh bagi suaminya untuk mengembangkan diri di Karawang. Hingga pada suatu kali tanpa ia duga warga jemaat GKP Kalaksanan meginginkan pelayanannya dilanjutkan ke periode kedua. Arni membicarakan harapan warga jemaat ini dengan suaminya. Wilson setuju, dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak kerjanya di Rumah Sakit Bayukarta Karawang dan selanjutnya ikut tinggal di Kalaksanan membangun sekolah serta mendukung Arni dalam pengembangan sumber daya manusia jemaat. 

“Saya menyadari meninggalkan Karawang adalah pilihan yang tidak mudah baginya, karena ia harus meninggalkan kemapanannya. Tapi ia rela meninggalkan itu semua dan memilih untuk mendukung saya menjalankan program pengembangan jemaat di Kalaksanan sejak awal 2019 sampai sekarang. Saya sangat menghargai dan mengapresiasi apa yang ia lakukan untuk saya,”tutur Arni.  

Ketika ditanya perbedaan melayani di jemaat pelosok dan perkotaan, Pdt. Arni menjawab demikian: “Di jemaat kecil kita harus menuntun warga jemaat sambil memberi contoh sesederhana mungkin,”terangnya.”Jemaat kecil harus ditumbuhkan rasa percaya dirinya agar mereka bisa melangkah tanpa ketakutan, tanpa merasa minder dan tanpa merasa seperti diperintah,”lanjutnya.

Arni mengingat, dirinya dulu pernah terluka karena demikian mencintai pelayanan di Kalaksanan. Ia mengalami penolakan hanya karena dirinya perempuan. Namun, kini luka tersebut sudah kering, bahkan sudah tak berbekas. Yang ada hari ini hanyalah cinta yang makin hari justru semakin bertambah. Itulah yang membuat hatinya merasa mantab untuk menerima permohonan warga,  melanjutkan pelayanan periode kedua di GKP Kalaksanan. Rasa cinta jugalah yang membuatnya langkahnya terasa begitu ringan ketika harus menuntun warga jemaat dan penduduk Kalaksanan lainnya menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19, yang entah kapan akan berakhir. Cinta sejati tampaknya selalu melahirkan harapan dan sejahtera. Bahkan di tengah situasi yang sangat sulit. 

Arni sekarang merasa mantab menapaki jalan hidupnya sebagai seorang gembala dan ibu bagi warga jemaatnya di Kalaksanan. “Tuhan memperlengkapi saya dalam keterbatasan. Tuhan menghapus air mata saya dan menggantikannya dengan kekuatan baru setiap hari. Tuhan selalu memberikan jalan keluar dari semua tantangan yang saya dan jemaat hadapi,” tegasnya. “Saya ini hanyalah seorang hamba. Saya yakin, Tuhan yang yang saya layani pasti mencukupkan segala kekurangan dan menolong di kala kesusahan. Semua itu sudah saya rasakan hingga saat ini.” 

Menutup perbincangan, Pdt. Arni Selvi Mince Bitjara menyatakan harapannya, jika Tuhan memberikan kesempatan dan usia panjang, ia hanya ingin melihat semua bibit yang telah ia taburkan bertumbuh dan berbuah kemudian hari. Soli Deo Gloria.