Pdt. Christian Gossweiller: Jika Saya Memiliki Seribu Nyawa,  Saya akan Berikan Semua untuk Indonesia

Pdt. Christian Gossweiller: Jika Saya Memiliki Seribu Nyawa, Saya akan Berikan Semua untuk Indonesia

 

Salah satu mantan anggota Tim Pembaharuan Alkitab Terjemahan Baru adalah Pdt. Christian Gossweiler. Mukanya 100% bule karena ia memang asli kelahiran Jerman, namun cinta Christian pada Indonesia begitu mendalam. Beberapa orang bahkan menyebut beliau sebagai sosok asing paling Indonesia. Tambah lagi ia begitu mencintai bahasa dan budaya Jawa. Orang-orang Jawa asli akan dibuat kagum dan sekaligus malu, karena ia demikian fasih menguasai Bahasa Jawa, hingga Bahasa Jawa halus (krama inggil). Tuhan menganugerahi Christian seorang istri yang cantik, seorang Jawa. Istrinya begitu piawai menari berbagai tarian tradisional Jawa. Kemampuan ini ternyata menurun pula pada anak-anaknya. 

Bermula Dari Bumbu Masakan 

Bagaimana ceritanya sampai Christian Gossweiler jatuh cinta pada Indonesia? Jalan ceritanya ternyata cukup panjang. Persentuhan pria kelahiran Pforzheim, Jerman lima puluh sembilan tahun ini dengan Indonesia diawali sebuah peristiwa yang agak lucu. Ketika menginjak usia remaja, Christian secara tak sengaja menemukan di dapur rumahnya sebuah buku resep masakan Nusantara. Seingatnya, buku yang ditulis dalam bahasa Jerman tersebut merupakan media promosi dari sebuah perusahaan bumbu dapur yang mengimpor berbagai bumbu masakan dari Indonesia. Supaya bumbu masakan tersebut laris terjual, perusahaan tersebut menyebarkan secara gratis buku resep masakan tersebut. Maka sejak remaja Christian sudah terbiasa memasak dan makan masakan Indonesia. Demikianlah awal ketertarikannya pada Indonesia. 

Meski Christian menjadi seorang misionaris yang belasan tahun berkarya di Indonesia, Christian mengaku sewaktu kecil tidak pernah membayangkan nantinya menjadi seorang pendeta bahkan menjadi misionaris yang berkarya di negeri lain. 

“Saya berasal dari sebuah keluarga yang boleh dikatakan Kristen KTP. Memang secara formal seluruh keluarga kami dibaptis dan menjadi anggota gereja. Namun, keluarga kami beribadah ke gereja maksimal hanya setahun sekali, yaitu pada saat perayaan Natal.” 

Meski demikian, seperti wajarnya remaja-remaja lain, pada usia 13 atau 14 tahun Christian mengikuti katekisasi dan kemudian menyatakan percaya (sidi). Pada saat mengaku percaya itulah, Tuhan menyentuh hatinya, sehingga Christian mengambil keputusan untuk sungguh-sungguh mengikut dan menjadi murid Tuhan Yesus. Sekitar tahun 1976, dalam sebuah kebaktian regional bertema misi, Christian mendengar khotbah seorang misionaris Jerman yang hendak berangkat ke Indonesia. Waktu itu usianya baru menginjak 15 tahun. Christian dengan sang misionaris kemudian berteman akrab. Mereka bahkan saling berkirim surat. 

Lulus jenjang SMA, Christian bergumul untuk menetapkan studi ke jenjang selanjutnya. Dirinya memutuskan berkonsultasi dengan gembala gerejanya. Dari perbincangan tersebut, Bapak Gembala berpandangan bahwa Tuhan menghendaki Christian untuk mengambil studi teologi. Pada saat yang sama, Christian mendapatkan inspirasi dari firman Tuhan dalam Yohanes pasal 21 yang menyatakan, “Gembalakanlah domba-dombaku.” Sejak saat itu dirinya mulai yakin akan pilihannya untuk menjadi gembala jemaat. Tentu saja waktu itu ia belum berpikir untuk melayani di tempat yang jauh melewati batas benua. Visi Christian pada waktu itu baru sebatas menjadi gembala jemaat di Jerman saja.

Sampai memasuki bangku kuliah, Christian masih terus berhubungan dengan temannya misionaris di Indonesia. Hingga sekitar tahun 1984, dalam statusnya sebagai mahasiswa teologi, Christian berkesempatan mengunjungi sahabatnya di Indonesia dan melihat dari dekat pelayanan sang misionaris. Christian diajak berkeliling ke berbagai daerah pelayanan Institut Injil Indonesia di Malang, dan ladang pelayanan YPPII (Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia) di Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan.

Sungguh sebuah kebetulan atau memang jalannya sudah diatur oleh Tuhan, perguruan tinggi tempat ia belajar teologi memiliki kelas kuliah Bahasa Indonesia. Sejak tahun 1983, Christian dengan tekun belajar Bahasa Indonesia. Jadi, ketika pertama kali  datang ke Indonesia, Christian sudah cukup lancar berbahasa Indonesia. Bahkan di sebuah tempat pelayanan, dirinya diminta berkhotbah dalam bahasa Indonesia. Kunjungan Christian ke berbagai ladang pelayanan di Indonesia, menumbuhkan tekad di hatinya untuk menjadikan Indonesia sebagai ladang pelayanannya.

Tak lama berselang, sekitar tahun 1987, Christian diminta menjadi dosen tamu dan dosen terbang di suatu perguruan tinggi di Kalimantan Barat yang berada di bawah naungan YPPII. Saat menjadi dosen tamu tersebut, sesungguhnya Christian sedang menyelesaikan disertasi doktornya. Sambil menyelesaikan disertasi, Christian selama sekitar dua kali dua bulan (1987 dan 1990) mengajar di Indonesia.

Dalam perjalanan waktu, terjadi perbedaan komunikasi dan pendapat antara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan YPPII. Gereja pengutusnya di Jerman meminta Christian melayani di sebuah gereja yang merupakan anggota PGI. Christian mengakui dirinya sempat bingung dalam mengambil keputusan apakah tetap bertahan di YPPII atau tidak. Di saat yang sama, salah satu lembaga misi di Jerman yang mendukung pelayanan di Indonesia - Neukirchener Mission -, meminta Christian untuk bersedia diutus ke Jawa, melayani di Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU), yang memang merupakan buah perintisan mereka. Akhirnya pada 1992 Christian pun berangkat ke Jawa untuk menjalani orientasi pelayanan di GKJTU. Selanjutnya hingga ia kembali ke Jerman, Christian menjalani pelayanan sebagai pendeta Sinode di GKJTU, di samping sebagai pengajar mata kuliah Misiologi dan Eksegese di STT Abdiel, Ungaran, Jawa Tengah.

Meski melayani di negeri yang demikian jauh dari tanah kelahirannya, Christian, yang sangat menyukai rendang dan sayur asem tersebut sangat menikmati hari-harinya di Indonesia. “Saya sekarang sudah merasa betul-betul berakar di Indonesia.  Oleh Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) saya sudah ditahbiskan menjadi seorang pendeta Jawa. Saya juga mendapatkan istri orang Jawa, warga jemaat GKJTU, yang berasal dari Jawa Timur. Setelah berkeluarga, maka saya tentu saja menjadi bagian keluarga besar istri saya yang orang Indonesia.”

Perkenalanan Christian dengan Kristanti Pebri Nugrahani, yang sekarang menjadi ibu dari anak-anaknya, terjadi saat dirinya menjalani orientasi pelayanan di GKJTU.

“Tujuan orientasi agar saya dengan GKJTU dapat saling mengenal. Apakah saya cocok untuk mereka dan mereka cocok untuk saya. Pada masa perkenalan tersebut saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa jemaat GKJTU di berbagai kota.”

Ternyata perkenalan awal dengan GKJTU tersebut berlanjut menjadi orientasi yang sangat menyeluruh. Sampai suatu ketika dirinya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istrinya. Awal tahun 1994 mereka menikah. Dari pernikahan tersebut keluarga ini dikaruniai dua orang anak. Anak pertama diberi nama Pia Desideria Ayuningtyas, sementara anak kedua diberi nama Pieter Cahyaningjagad. Pilihan nama yang berakar pada budaya Jawa. 

“Saya saat ini memiliki banyak teman dan sahabat di Indonesia,” kata Christian, “Kebetulan saya memiliki banyak tugas dan panggilan di Indonesia yang sesuai dengan latar belakang keilmuan saya. Selain mengajar, salah satu kesibukan saya tentu saja terlibat dalam tim pembaharuan Perjanjian Lama, Alkitab Terjemahan Baru LAI,” lanjutnya.

Christian menyebut perkenalannya dengan LAI dan keterlibatannya sebagai anggota tim pembaharuan Perjanjian Lama sebagai  wujud  penyertaan Tuhan. Christian punya cita-cita besar untuk menerbitkan Kamus Ibrani-Indonesia. Kamus itu sampai hari belum terwujud. Namun, Christian pernah mempresentasikan proyek Kamus Ibrani–Indonesia tersebut dalam pertemuan Ikatan Sarjana Biblika Indonesia. Kebetulan Konsultan Penerjemahan LAI, Pdt. Dr. Anwar Tjen (kini merupakan Kepala Departemen Penerjemahan-red), hadir juga dalam pertemuan tersebut. Agaknya Pdt. Anwar tertarik juga dengan ide penerbitan kamus tersebut. Beberapa kali mereka berdua bertemu untuk membahas kelanjutan proyek kamus tersebut. Namun akhirnya, mereka berdua sadar kalau sama-sama tidak mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan penerbitan kamus tersebut dengan sungguh-sungguh. 

Dari beberapa kali perjumpaan tersebut, Pdt. Anwar Tjen memandang bahwa Pdt. Christian sangat mencintai bahasa-bahasa biblika dan juga suka bekerja dengan teliti, tekun membahas masalah penerjemahan yang sering njlimet (rumit dan tak mudah ditafsirkan). Akhirnya sekitar tahun 2006, Pdt. Anwar menanyakan kesediaannya untuk bergabung dengan Tim Revisi Perjanjian Lama Terjemahan Baru.  Namun, kerja sama mereka tidak bisa langsung terlaksana, karena antara 2006 dan 2007 Christian mendapat tugas di Jerman, sementara pada tahun 2007, Pdt. Anwar mendapat tugas studi ke Australia. Praktis, baru pada tahun 2008  tim secara intensif bisa menggarap revisi ini. 

Tentang Masa Depan Penerjemahan Alkitab dalam Bahasa Daerah di Nusantara

Saat diajukan pertanyaan mengenai masa depan bahasa-bahasa daerah di Nusantara, Christian menyatakan sulit untuk memprediksikan. Di satu sisi, ada kekhawatiran dan keprihatinan terkait perkembangan bahasa daerah.  Dirinya pernah hadir sebagai salah seorang pembicara dalam Kongres bahasa Jawa. Ironisnya, pembicara yang berani menggunakan bahasa Jawa saat menyampaikan presentasi dalam kongres tersebut hanya dirinya dan satu orang profesor dari Australia. Semua pembicara lain yang berasal dari Jawa menyatakan, “Nyuwun duka, bahasa Jawi kula awon. Pramila kula mawi bahasa Indonesia kemawon.” (Mohon maaf bahasa Jawa saya jelek, maka saya akan berbicara dalam bahasa Indonesia saja). Christian berpikir, kalau di Kongres Bahasa Jawa saja pembicaranya tidak berani menggunakan bahasa Jawa, bagaimana penggunaannya di masyarakat luas? 

Di sisi lain, ia melihat pula di beberapa tempat di Eropa, di era globalisasi ini ada semacam antiklimaks. Beberapa bahasa daerah bangkit dan berkembang kembali. Sebagai contoh, di Spanyol Selatan ada bahasa Katala atau di Belanda Utara ada bahasa Frisia

Memang setiap daerah memiliki situasi yang berbeda-beda. Christian meyakini di luar Jawa masih ada daerah di mana orang-orang setempat hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah. Kalau mereka mau dijangkau dengan Kabar Baik, cara yang paling tepat adalah menggunakan bahasa daerah mereka. 

Di sisi lain, ada daerah di mana penduduknya sudah bisa sedikit berbahasa Indonesia, tetapi  mereka merasa lebih hebat bila berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.  Tentunya orang-orang dengan pandangan seperti ini harus diberi dorongan agar merasa bangga terhadap bahasa daerahnya. Di daerah Jawa atau Sunda, yang sebagian besar masyarakatnya cukup menguasai bahasa Indonesia, pasti mereka mengerti jika diberikan Alkitab dalam bahasa Indonesia. 

Namun demi pelestarian budaya, Christian memandang Alkitab bahasa daerah tetap penting. Salah satunya sebagai alat untuk mengajar bahasa daerah bagi generasi penerus. Di keluarganya setiap ibadah malam, keluarganya menggunakan Alkitab Bahasa Jawa Padintenan (Sehari-hari). 

“Saya rasa Tuhan menghendaki, nanti di hadapan takhta Domba Allah, semua orang memuji nama-Nya dalam bahasa masing-masing, dalam ribuan bahasa, bukan hanya dalam satu bahasa. Maka di gereja saya, di GKJTU, ada buku ajaran, Pelengkap Katekismus Heidelberg, yang di pertanyaan dan jawaban nomor 16-17 menegaskan bahwa Tuhan tidak menghendaki keseragaman budaya, Tuhan menghendaki keanekaragaman budaya. Dan itu agaknya yang menjadi alasan gereja kami GKJTU, tetap melestarikan budaya dan bahasa daerah,” demikian tanggapan Christian.

Salah satu impian pemilik hobi bersepeda dan memelihara ikan ini adalah menulis buku yang dapat menjadi berkat buat umat Tuhan di Indonesia. Namun, hingga saat ini keinginan tersebut belum terwujud karena berbagai tugas pelayanan yang diembannya. Ia berharap sebelum dirinya memasuki masa pensiun, keinginan menulis buku itu dapat diwujudkan. 

Di mana Christian hendak menjalani masa pensiunnya? Ia sendiri tidak dapat menjawabnya. Hanya Tuhan sendiri  yang tahu. Ia sendiri sangat ingin melayani seumur hidup di Indonesia. Christian pernah  membaca  semboyan  Hudson Taylor yang mengatakan, “If I had a thousand lifes, I would give them all for China.” Seandainya punya seribu nyawa, Christian pun ingin mengabdikan semuanya untuk masyarakat dan gereja Indonesia.

“Hanya saja kalau Tuhan menghendaki lain, apa gunanya idealisme seperti itu. Kalau Tuhan mempunyai tugas lain untuk saya, entah di Jerman, entah di Indonesia, entah di benua lain, sebagai abdi Tuhan kita harus siap. Kita mengikuti “kersanipun” Gusti, mengikuti kehendak dan rencana Tuhan ,” katanya. Apalagi istrinya selalu siap mendukung pelayanannya.

Saat menikah mereka memilih ayat dari Kitab Rut, “… sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16). Ayat tersebut menjadi semboyan istri Christian hingga hari ini.

Christian berharap, memasuki abad XXI ini LAI semakin siap untuk melayani dua segmen pasar. Ada yang masih tetap menghendaki Alkitab cetak seperti yang telah diproduksi oleh Lembaga-lembaga Alkitab di berbagai negara sejak 200 tahun lalu. Namun, ada pula kalangan yang lebih memilih Alkitab elektronik atau digital. LAI memiliki tanggung jawab menyediakan sarana dalam dua media tersebut dalam rangka mewujudkan visinya hadir bagi semua orang lewat bahasa yang dapat dimengerti dan mudah dipahami. Tujuannya jelas, agar setiap orang, secara pribadi mengenal, bertemu dan berinteraksi dengan Allah, serta mengalami hidup baru di dalam Kristus.

Pdt. Dr. Christian Gossweiller, pendeta jemaat di Pforzheim-Eutingen (Gereja Protestan Wilayah Baden), Jerman. Pernah menjadi anggota tim revisi Alkitab Terjemahan Baru LAI.