Pdt. Engkih Gandakusumah: Kang Yadi Membelokkan Jalan Hidup Saya

Pdt. Engkih Gandakusumah: Kang Yadi Membelokkan Jalan Hidup Saya

 

Nama diri sering menjadi penanda dari mana seseorang berasal. Engkih Gandakusumah, melihat namanya orang akan mengira ia orang Sunda, Jawa Barat asli. Apalagi logat bahasa Sundanya begitu kental. “Saya harus luruskan, saya memang lahir di Jawa Barat, di Kota Karawang. Tetapi darah saya tidak murni Sunda,”katanya membuka percakapan. Dengan mengamati  sosoknya yang berkulit yang cerah ditambah matanya yang  sipit orang jadi paham, Pdt. Em. Engkih Gandakusumah, memiliki darah Tionghoa. 

Engkih anak bungsu dari 6 bersaudara. Lahir pada 23 September 1956 di Karawang. Awalnya keluarganya belum ada yang mengenal Tuhan Yesus. Baik orang tuanya maupun saudara-sauadaranya. Waktu Engkih berusia empat tahun, ia menderita sakit typus yang cukup parah. Sudah dibawa ke beberapa dukun tidak sembuh, dibawa ke dokter pun tidak membaik. Akhirnya orang tuanya membawa Engkih berobat ke Jakarta. Dalam perjalanan ke Jakarta, rombongan yang membawa Engkih hampir mengalami kecelakaan maut. Ayahnya yang duduk di bangku depan kendaraan, sebelumnya pernah mendengar orang menyebut nama Yesus, jadi dalam keadaan gawat reflex ia berteriak,” Yesus tolong!” Kecelakaan tidak terjadi, sampai di rumah kembali Engkih berangsur sembuh. Keluarganya menganggap ini adalah peristiwa mujizat dan tanda dari Tuhan. 

Seperti umumnya orang-orang pada masa itu, seluruh keluarga pun langsung memberi diri dibaptis. Karena di Karawang tidak ada Gereja Kristen Indonesia (GKI), maka mereka pun menjadi anggota Gereja Kristen Pasundan (GKP). Semenjak mengikut Kristus, ayahnya menjadi orang yang rajin beribadah dan menjadi pelayan Tuhan yang tekun di gereja. Anak-anaknya, termasuk Engkih pun dibiasakan untuk rajin mengikuti Sekolah Minggu.  

Waktu kecil Engkih punya cita-cita menjadi pilot. Sering ia dan teman-teman kecilnya melihat pesawat terbang menderu di langit Karawang. Setiap muncul pesawat di udara, ia dan teman-temannya pasti akan berteriak: kapal, kapal, pesawat, minta uang! Yang ada di pikiran Engkih dan teman-temannya waktu itu adalah uang. Karena kondisi perekonomian keluarga-keluarga di kampungnya boleh dikatakan pas-pasan. Engkih berpikir orang yang bisa terbang dan bepergian jauh pasti punya uang yang banyak. Maka Engkih bermimpi suatu ketika menjadi seorang pilot. Karena dalam bayangannya, seorang pilot bisa bepergian ke berbagai tempat bahkan hingga luar negeri dengan gratis, karena pesawatnya ia sendiri yang mengemudikan. Dalam bayangannya seorang pilot pastilah juga memiliki banyak uang. 

Seiring perjalanan waktu ia harus menguburkan keinginan menjadi pilot. Karena ketika memasuki usia remaja Engkih sudah harus mengenakan kaca mata. Ia kemudian mulai menekuni belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena dirinya berpikir, dengan menguasai bahasa asing, nantinya ada kesempatan bepergian ke berbagai tempat. Kemampuan berbahasa asing ini nantinya akan memberi Engkih banyak manfaat bagi pelayanannya di kemudian hari. 

Orang tua Engkih di Karawang memiliki toko roti, agen Roti Tan Ek Tjoan. Sambil membuka toko roti di Jalan Pahlawan Revolusi No.7, Karawang, ayah Engkih menyediakan sudut kecil di tokonya untuk dijadikan kios Alkitab. Sebuah tindakan yang mulia. Sejak menjadi pengikut Kristus dan kemudian ditunjuk menjadi seorang anggota majelis di gereja, beliau sadar bahwa di Karawang belum ada toko buku Alkitab. Maka beliau pun mengambil inisiatif untuk membuka kios kecil tempat menjual Alkitab. Jika saat ini Pdt. Engkih menjadi mitra setia pelayanan LAI, bahkan hingga masa emeritus, sesungguhnya hal itu merupakan warisan orang tuanya yang puluhan tahun sebelumnya sudah menjadi mitra penyebaran Alkitab dari LAI. 

Setiap pulang sekolah, sambil menjaga toko, setiap harinya Engkih membaca Alkitab. “Kalau ditanya sejak kapan saya bergaul dengan Alkitab, ya sejak saya masih SD terus berlanjut hingga masa remaja saya punya banyak waktu menekuni isi Alkitab,”terangnya. Hingga suatu ketika kios Alkitab dan toko roti itu tidak berlanjut, karena keluarganya membuka usaha yang lain. 

 

Memilih Sekolah Teologi

Engkih mulai dari remaja juga aktif dalam berbagai kegiatan di gerejanya, di GKP Karawang. Ada seorang kakak Pembina remaja waktu itu yang cukup dekat dengannya. Namanya Kang Yadi, lengkapnya Yadi Suryadi Sairin (kini sudah almarhum). Saat itu Kang Yadi sudah menjalani kuliah tingkat persiapan di STT Jakarta. Mendadak Kang Yadi mengutarakan harapannya agar saya mengikuti jejaknya masuk sekolah teologi. “Sudahlah, Engkih. Kamu melanjutkan sekolah bareng akang saja (di STT Jakarta). Nanti tinggal bareng Akang di sana.”

Engkih begitu menghormati sosok Kang Yadi sebagai kakak pembinanya di Jakarta. Entah bagaimana, permintaan Kang Yadi benar-benar dipertimbangkannya. “Saya tidak mengerti mengapa akhirnya saya mengikuti permintaan Kang Yadi. Saya relakan dan tinggalkan semua cita-cita saya sebelumnya,”katanya. 

Engkih pun menghadap ayahnya dan mengutarakan keinginannya. Ayahnya lebih banyak diam mendengar. Sampai kemudian ayahnya bertanya kepadanya,”Kamu benar berkeinginan menjadi pendeta?”

“Iya betul, Pih,”jawabnya. Engkih memanggil ayahnya dengan sebutan papih.

“Benarkah kamu sungguh-sungguh mau menjadi pendeta?”kembali ayahnya bertanya. 

“Apakah kamu melihat kehidupan pendeta kita sekarang di Karawang?”lanjut ayahnya. Waktu itu yang menjadi pendeta jemaat GKP Karawang adalah Pdt. Drajat. 

“Lihatlah pendeta Drajat, ke mana-mana naik sepeda kumbang, ada sepeda motorpun sudah butut. Nanti kakak-kakakmu memiliki rumah bagus, mobil mewah, apakah kamu siap?”tegas ayahnya. Engkih pun menjawab,”Saya menjadi pendeta bukan mencari harta atau kedudukan. Bukan mencari ini dan itu.”

“Oh, kalau begitu papih akan mendukung penuh!”kata ayahnya yakin. Kemudian ayahnya sendiri, yang kebetulan adalah Sekretaris Majelis GKP Karawang, membuatkan surat pengantar bagi Engkih untuk masuk STT Jakarta. Jadi rekomendasinya berasal dari tanda tangan ayahnya juga. Ketua Majelisnya, adalah ayah Kang Yadi, yang mengajaknya masuk STT Jakarta. 

 

Di STT Jakarta, Ditinggal Ayah dan Kemudian Ibu

Bulan Januari 1975, secara resmi Engkih terdaftar sebagai mahasiswa STT Jakarta. Menurut Engkih, pada masa itu sistem kurikulum di STT Jakarta menganut sistem 2 ijasah. Sarjana muda 4 tahun, dan kalau mampu menyelesaikan dilanjutkan ke jenjang sarjana 2 tahun. Total 6 tahun. Banyak mahasiswa yang tidak sanggup mengikuti sistem kuliah yang berat di STT Jakarta. Banyak yang gugur di jenjang sarjana muda. Termasuk Kang Yadi, yang mengajaknya masuk STT Jakarta justru tidak mampu menyelesaikan kuliah sampai akhir. 

Pada umumnya mahasiswa STT Jakarta pada masa itu mendapatkan beasiswa, kebanyakan dari sinode-sinode gereja di Belanda. Pada tingkat persiapan di STT, kemampuan bahasa Inggris mahasiswa betul-betul diuji, sehingga yang gagal dalam bahasa Inggris tidak mungkin melanjutkan ke tingkat berikutnya. Kalaupun berlanjut dengan nilai pas-pasan, pada akhirnya hanya memperoleh ijasah sarjana muda. Tidak bisa lanjut ke tingkat sarjana. Istilahnya Sarjana Muda Stop. 

Kuliah Engkih boleh disebut cukup lancar, prestasinya cukup baik. Apalagi ditunjang kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Namun, di tengah perjalannnya menyelesaikan bangku kuliah, beberapa peristiwa sempat mengguncang batinnya. Pertama, ketika ia menyelesaikan gelar Sarjana Muda, ayahnya meninggal mendadak karena sakit liver. Kemudian ketika skripsinya menjelang selesai pada 1980, ibunya yang sejak setahun belakangan menderita sakit jantung akhirnya dipanggil Tuhan. Sempat Engkih meneriakkan protes kepada Tuhan,”Tuhan, mengapa ketika hamba-Mu semakin meyakini panggilan menjadi pendeta, Engkau panggil satu persatu orang tuaku?”

Sebagai anak bungsu, yang boleh dibilang anak mami, Engkih selama ini demikian dekat dan mendapat perhatian lebih dari orang tuanya. Kehilangan ayah dan ibu berturut-turut cukup memukul batinnya. Namun, belakangan ia menjadi sadar bahwa melalui peristiwa itu Tuhan sedang berkarya menghadirkan kebaikan bagi dirinya. “Saya akhirnya menyadari, bahwa pelan namun pasti diri saya bertumbuh semakin dewasa dan bukan lagi anak bungsu yang manja,”tuturnya. Dengan demikian Engkih semakin siap menghadapi situasi-situasi jemaat yang penuh dengan kejutan dan mampu bersikap mandiri dalam menghadapi umat dengan beragam latar belakang, rekan sepelayanan, rekan majelis gereja dan seterusnya. Engkih lulus dari STT Jakarta bulan Desember 1980. 

 

Menjadi Pendeta Jemaat GKP

Saat masih menjalani kuliah, Engkih melihat banyak rekannya di STT Jakarta setiap hari Minggu diundang mengajar Sekolah Minggu di berbagai gereja di Jakarta. Ada beberapa dari mereka, termasuk kakak-kakak kelasnya, kemudian merasa nyaman dan tidak kembali ke kampung halaman. Engkih prihatin, ia berpikir kalau semua orang lebih tertarik berkarya dan melayani di Jakarta dengan kemudahan fasilitas dan keuangannya, siapa yang akan melayani di kampung?

Engkih kemudian menetapkan hati, kalau ia ingin melayani di jemaat yang terpencil letaknya. Ia mengambil waktu berbicara dengan pengurus sinode GKP dan ingin melayani di jemaat Palalangon, salah satu jemaat GKP yang pada waktu itu letaknya cukup terpencil. Di masa itu Waduk Cirata belum dibangun, wilayah Palalangon dan sekitarnya cukup tandus dan sulit dan yang jelas belum ada listrik masuk ke daerah tersebut. 

“Waktu saya diundang berkhotbah ke sana, ibu saya melarang. Ibu yang saat itu baru saja sakit khawatir dengan pilihan saya melayani jemaat pedalaman,”katanya. Tapi hati kecil Engkih masih tertaut dengan Palalangon, dan tetap ingin berkarya di sana. 

Hingga suatu ketika, di bulan Mei 1980, sehari sebelum Engkih berangkat ke Palalangon untuk tugas khotbah, ibunya mendadak dipanggil Tuhan karena serangan jantung. Kesedihan menerpa begitu dalam, terlebih karena beberapa bulan lagi ia akan diwisuda. Engkih kemudian menimbang-nimbang keputusan untuk memilih lokasi pelayanan. Dan akhirnya membatalkan keputusannya memilih Palalangon. Mengapa hatinya berubah? 

“Saya belakangan sadar, saya bukan orang yang mampu membangun desa. Tangan saya ini halus, saya bisa main piano, gitar namun tidak bisa memegang cangkul. Padahal untuk mampu bertahan di Palalangon saya harus mampu juga bertani,”katanya. 

Meski batal ke Palalangon, Engkih ingin tetap ditempatkan di daerah kampung terpelosok. Lalu sinode GKP menawarinya suatu jemaat di daerah Haurgeulis, Indramayu. Engkih pun merasa siap, terlebih setelah ia melihat dari dekat banyak pula orang keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah tersebut. Tapi sebuah peristiwa kembali merubah jalan hidupnya. Seorang temannya seangkatan, calon pendeta GKP juga mengajak bertukar wilayah penempatan. Teman tersebut ditempatkan di Sukabumi. Engkih menerima saja ajakan temannya tersebut, karena baginya melayani di mana saja pada dasarnya sama saja. Temannya ke Haurgeulis, dan Engkih menuju Sukabumi. Demikianlah cerita berlangsung luar biasa. Bagi Engkih Tuhan terlihat menunjukkan banyak kemudahan dan berkat bagi perjalanan hidupnya. 

Engkih mulai melayani masa pelayanan di Sukabumi sebagai vikaris mulai 15 Maret 1981. Ia disambut warga jemaat GKP di tempat tersebut dengan sangat baik. Masa vikariatnya bahkan berjalan sangat singkat, hanya sekitar 7 bulan. Pada 14 November 1981, pada hari lahirnya GKP, Engkih Gandakusumah ditahbiskan menjadi pendeta. Engkih meyakini Tuhan memanggilnya berkarya di Sukabumi untuk menjadi saluran berkat baik untuk jemaat maupun untuk masyarakat pada umumnya. 

 

Bertemu Belahan Jiwa

Di Sukabumi pula Engkih menemukan belahan jiwa pemberian Tuhan. “Sebelumnya saya pernah memiliki pacar tapi kemudian tidak berlanjut,”katanya mengenang. Suatu hari ada panggilan pelayanan untuk memimpin PA Wanita di rumah satu keluarga jemaat. Jarang anggota majelis yang mengunjungi rumah keluarga tersebut. Selesai berlangsungnya kegiatan PA, ada seorang gadis cantik yang masuk mengantarkan minuman. Dalam hati Pdt. Engkih langsung berkata,” Ini dia calon pendamping saya.” Waktu itu umur Pdt. Engkih sudah masuk 28 tahun. Setelahnya Pdt. Engkih pun mengadakan pendekatan, baik kepada calon istrinya, maupun orang tuanya. 

Pada 6 Juli 1985, akhirnya Pdt. Engkih menikah. Setelahnya Tuhan mengaruniakan keluarganya anak perempuan dan laki-laki. “Pada dasarnya saya tidak ingin berlama-lama dalam pendekatan, supaya ketika saya memasuki usia emeritus semua anak-anak saya sudah menyelesaikan pendidikan dan mandiri dari orang tua.”

Ketika masa-masa awal perkenalan dengan istrinya, Pdt. Engkih menjelaskan berbagai hal seputar hak dan kewajiban seorang pendeta. Termasuk mengenai Biaya Hidup Tetap (BHT). “Keyakinan saya tidak pernah berubah bahwa Tuhan yang telah memanggil kita dalam pelayanan, pasti mencukupkan segala kebutuhan,”katanya. “Sampai hari ini, bahkan ketika saya sudah memasuki masa emeritus, saya tetap yakin bahwa Tuhan mencukupkan kebutuhan kita lebih dari yang kita harapkan untuk menjadi berkat bagi orang lain,”lanjutnya. 

Setelah beberapa waktu melayani di GKP Sukabumi, sinode GKP memberikan Pdt. Engkih kesempatan untuk studi lanjut. Pdt. Engkih menyambutnya dengan antusias dan bermaksud memperdalam ilmu misiologi, karena hingga saat itu belum ada pendeta GKP yang mendalami ilmu misiologi. Ketika dirinya mencari informasi tentang studi lanjut S2 di STT Jakarta, program paska sarjana part time sudah tidak ada, hanya ada program studi lanjut full time. Bagi pendeta yang berkeinginan studi lanjut untuk sementara waktu harus total meninggalkan jemaatnya.  

Pdt. Engkih tidak patah semangat, ia pun melaporkan situasi di STT Jakarta kepada sinode. Sebenarnya sinode memberinya kesempatan untuk meninggalkan jemaat sementara waktu. Namun Pdt. Engkih tidak mau. Karena dirinya sudah berkomitmen untuk memperpanjang masa pelayanan di Sukabumi dan telah diumumkan dalam warta, maka ia tidak ingin mengecewakan jemaat. Akhirnya datang informasi yang melegakan. Ada program kurus pastoral Pasca Sarjana di Pusat Pastoral Yogyakarta. “Pusat Pastoral merupakan Sekolah Katolik, para pengajarnya langsung datang dari Belanda, dari Utrech. Awalnya kuliah berjalan dalam bahasa Inggris. Namun karena beberapa rekannya kesulitan berbahasa Inggris akhirnya diputuskan menggunakan jasa penerjemah. 

Selama tiga tahun, Pdt. Engkih bolak-balik Yogyakarta dan Sukabumi. Pulang pergi, sebulan di Yogyakarta, dua bulan melayani di jemaat GKP. Apa yang dipelajari di ruang kuliah langsung ia praktikkan di tengah kehidupan jemaat. Maka jemaat pun beruntung merasakan langsung apa yang dipelajari pendetanya di kuliah lanjut. Program Kuliah Pasca Sarjana di Pusat Pastoral Yogyakarta ini nantinya diadaptasi oleh STT Jakarta dan Universitas Kristen Duta Wacana dalam merintis program Magister Ministry (M.Min.).

 

Terlibat dalam Forum Oikumene dan Kemasyarakatan

Sejak awal mula menjadi pendeta dalam diri Engkih tertanam semangat oikumene yang dibangun karena pemahamannya akan konsep “Tri Wawasan”. Wawasan pertama adalah wawasan ke-GKP-an. GKP saat ini terdiri dari sekitar 59 jemaat. Semuanya merupakan bagian dari GKP yang tidak terpisah. Kedua, wawasan oikumene, yang artinya GKP tidak mungkin berjalan sendiri kalau tidak berjalan bersama-sama dengan gereja lain, dengan umat kristiani di manapun mereka berada, baik di dalam maupun di luar negeri. Wawasan ketiga adalah wawasan kemasyarakatan dan kebangsaan. Gereja harus peduli dengan lingkungan di mana dia tinggal. GKP memiliki visi pada 2034 nanti GKP menjadi gereja bagi sesama. 

Pernah pada sekitar tahun 1983 atau 1984, Pdt. Engkih yang adalah seorang pendeta baru, diberikan kesempatan untuk mengikuti kursus oikumene selama 5 bulan di Swiss. Pdt. Engkih teringat masa kecilnya, meskipun cita-cita menjadi pilot batal, ia tetap berkesempatan mendatangi berbagai tempat di bumi. 

Pdt. Engkih mengingat, saat melayani sebagai pendeta di GKP Sukabumi adalah masa perjuangan dan pematangan dirinya. “Sukabumi waktu itu daerah yang tidak mudah untuk bergaul dengan lingkungan. Apalagi dengan collar di leher dan mata sipit,”kenangnya. Menurut Engkih, pasca tragedi tahun 1965 keturunan Tionghoa tidak berani menyebutkan jatidirinya sebagai seorang Tionghoa. Bagi Engkih ini justru waktu yang tepat untuk membuka diri. 

“Saya berpikir diri saya harus berani dan saya belajar dari sosok ayah saya. Beliau memakai peci dan bergaul dengan semua orang di Karawang. Ketika saya dipercaya menjadi Ketua Lembaga Kerja Sama Gereja di Sukabumi saya hadir berelasi dengan Kepala Kantor Dinas Agama Kota Sukabumi, waktu itu dijabat Drs. Mamak,”Tuturnya. “Setiap 3 Januari, dalam Hari Amal Bakti Dep. Agama, saya selalu menghadiri upacara peringatan. Semua hadir dengan penampilan muslimin dan muslimah, saya sendiri yang mengenakan jas dan collar simbol kependetaan. Sebagai seorang hamba Tuhan, saya percaya diri dan tidak pernah khawatir, karena saya merasa memiliki hak yang sama sebagai warga negara,”lanjutnya. 

Suatu saat Pdt. Engkih mengajukan kepada Pak Mamak, “Pak Mamat, mohon maaf sebelumnya. JIka saya boleh mengajukan usul. Setiap peringatan 17 Agustus, ketika Bapak memimpin doa di depan, para pemuka semua agama diajak untuk berdiri di depan, dan tetap Bapak yang memimpin doa. Puji Tuhan Pak Mamat mendukung usulan tersebut. Bahkan kebiasaan tersebut bukan hanya kami lakukan di Kota Sukabumi, namun kami tularkan hingga wilayah kabupaten.  Akhir 90-an saya bertemu kembali dengan Pak Mamat. Beliau sudah menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Dep. Agama, Jawa Barat. Sementara saya Ketua PGIW (Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah) Jawa Barat. Kami punya hubungan yang selalu akrab. Dan kami punya semangat kebangsaan yang sama. 

 

Menjabat Sebagai Sekretaris Umum GKP

Ketika pada 1994 diselenggarakan Sidang Sinode GKP di Garut, Pdt. Engkih dimohon untuk menjadi Sekretaris Umum GKP yang selanjutnya. Ketika nama Engkih diajukan menjadi calon Sekretaris Umum, sempat muncul pergumulan dan kegalauan perasaan di dalam hatinya. “Mampukah saya sebagai seorang keturunan Tionghoa melaksanakan tugas yang demikian berat ini?”demikian batin Engkih. Namun, akhirnya Engkih menyanggupi panggilan pelayanan ini.  Semua didasari dengan semangat yang sama, untuk  menghadirkan GKP sebagai gereja bagi sesama. Gereja yang hadir untuk semua. Jadilah Engkih Gandakusumah, menjabat Sekretaris Umum Sinode yang berkedudukan di Bandung. 

Ketika Pdt. Engkih dan keluarga berpindah ke Bandung, jemaat GKP Sukabumi yang merupakan anak rohaninya dan sudah begitu dekat hubungannya bagai keluarga menangis sedih. Meskipun sedih, mereka tetap mendukung karya pelayanan Pdt. Engkih yang baru. Dukungan dari warga jemaat begitu disyukuri pendeta Engkih. “Saya bisa mencapai keaadaan seperti sekarang karena dukungan penuh warga jemaat. Saya juga banyak belajar dari jemaat. Termasuk ketika mendapatkan kesempatan belajar ke Swiss,”tuturnya. 

Saat Pdt. Engkih menjabat sebagai Sekum, banyak tantangan dan pergumulan yang mesti dihadapi. Namun ada beberapa yang paling utama. Pertama, berhentinya dukungan-dukungan dana dari luar negeri. Karena gereja-gereja dan lembaga donor mengalami berbagai masalah internal. Sebagai Sekretaris Umum, Pdt. Engkih beberapa kali mendatangi mitra-mitra GKP di luar negeri, namun lembaga-lembaga misi maupun gereja penopang berpendapat bahwa GKP yang selama ini mereka topang dan gendong harus mulai diturunkan dari gendongannya. Harus mulai dimandirikan. Hal ini sebenarnya sesuai dengan semangat tri kemandirian gereja, yaitu mandiri secara: teologi, daya dan dana. Masalah utama yang harus dicari solusinya adalah membiayai studi mahasiswa-mahasiswi teologi. 

Sebelumnya karena keterbatasan dana sempat ada peraturan, bahwa dukungan dana pendidikan hanya untuk mahasiswa teologi laki-laki, sementara perempuan tidak memungkinkan. Peristiwanya diawali karena ada kasus mahasiswi teologi yang mendapatkan beasiswa kemudian batal menjadi pendeta karena menikah dengan rekan kuliahnya yang menjadi pendeta. “Pasti kebijakan ini menimbulkan banyak protes terutama dari kaum perempuan, karena prinsip kesetaraan gender,”tuturnya. Secara faktual menurut Engkih dana sinode memang terbatas, namun kebijakan melarang perempuan beroleh beasiswa juga tidak tepat. 

Akhirnya, Pdt. Engkih dengan jaringan dan relasi yang dimilikinya mencoba menghimpun dana dari warga-warga jemaat yang terbeban untuk mendukung studi mahasiswa teologi, yang adalah calon-calon pendeta GKP di masa depan. Warga dengan antusias mendukung besar dan kecil sesuai kemampuan mereka. 

Pergumulan kedua yang cukup menyita tenaga, waktu dan pikiran adalah memastikan kepemilikan asset milik GKP di perempatan Pajajaran Pasir Kaliki, yaitu Istana Plaza Mall. Awalnya di situ kantor sinode yang lama. Kemudian tanah di okasi tersebut bermasalah karena ada banyak orang menempati sehingga sinode tidak bisa memanfaatkannya. Seiring perjuangan akhirnya kepemilikan dan pengelolaan kembali ke tangan GKP. Saat ini lahan di tempat itu di Built Operate Transfer (BOT-kan) selama 30 tahun. Puji Tuhan nanti di tahun 2034 dan juga ketika GKP menginjak usia seratus tahun lahan dan bangunan megah itu akan sepenuhnya menjadi milik GKP. “Ada dua pergumulan utama, yaitu beasiswa mahasiswa teologi dan tentang tanah di Pajajaran Pasir Kaliki, yang lainnya banyak namun Tuhan menyertai pelayanan kami dengan luar biasa,”tutur Pak Engkih. 

 

Kembali Melayani Jemaat

Pdt. Engkih menjabat sebagai Sekretaris Umum Sinode GKP selama dua periode, yaitu 1994-1998 dan periode kedua 1998-2002. Peraturan Sinode GKP menyebutkan jabatan Sekretaris Umum Sinode hanya bisa dijabat maksimal dua periode berturut-turut. Setelah tidak menjabat sebagai Sekretaris Umum, tiba waktunya bagi beliau untuk memutuskan pelayanan selanjutnya. Apakah akan melayani di tengah umat atau melayani di ladang pelayanan lainnya. 

Dalam doanya Engkih bertekad siapapun jemaat yang mengundangnya pertama kali, ia harus menghormati panggilan tersebut dan menjalaninya. Baik di kota maupun kampung, di mana saja ia siap. Tidak lama kemudian datanglah utusan dari GKP Yeruel Cibubur. Memohon Pak Engkih untuk melayani mereka. Walaupun ia sudah memiliki tekad awal, ia sempat ragu, karena anak-anaknya pada waktu itu berkuliah di Universitas Maranatha, Bandung. Tentu saja Pdt. Engkih berharap tetap dapat berkumpul. Namun, ia menyadari bahwa panggilan pelayanan dari Tuhan harus selalu dihormati. 

Setelah Cibubur datang juga utusan dari salah satu GKP di kota besar dan dari sekitar Jakarta. Yang lebih mengejutkan, jemaat besar GKP di Bandung, jemaat tempat Pdt. Engkih tinggal selama di Bandung juga memohonnya melayani mereka. “Saya ajak istri dan anak-anak berdoa mohon petunjuk dari Tuhan, meskipun secara prinsip GKP Cibubur adalah pilihan pertama karena mereka yang pertama mengundang,”katanya. “Ternyata yang luar biasa anak-anak mendukung penuh pilihan yang saya ambil dan mereka berkata: yang melayani nanti papa, yang mengambil keputusan silakan papa saja.” Pdt. Engkih begitu terharu atas dukungan anak-anaknya. Ia tidak berani melanggar janjinya. Maka jadilah ia selanjutnya pindah tugas pelayanan ke GKP Yeruel, Cibubur. Selama 15 tahun ia melayani jemaat di tempat ini. Di tengah pelayanan sebagai pendeta GKP Yeruel, Pdt. Engkih juga dipercaya untuk menjadi pendeta konsulen di POUK Cijantung, di Kompleks Kopassus. Kepercayaan tersebut dijalani Pdt. Engkih dengan sepenuh hati, karena semangatnya untuk selalu menghadirkan berkat dan kebaikan bagi banyak orang. 

 

Memasuki Emeritus

Setelah sekitar 36 tahun melayani sebagai pendeta, Pdt. Engkih memasuki masa emeritus yang ditandai dengan Ibadah Emeritasi pada 28 Februari 2017, bertempat di Balai Komando Kopassus, Cijantung. Setelah memasuki masa emeritus Pdt. Engkih dan keluarga berniat kembali ke tinggal di kediamannya di Bandung. Maka pada 24 September 2017 diadakan Ibadah Perpisahan dengan Jemaat GKP Yeruel Cibubur. Dan mulai 3 Oktober 2017 beliau telah berpindah keanggotaan ke GKP Bandung. 

“Setelah saya memasuki masa emeritus, kesibukan saya tidak langsung berkurang. Saya masih dipercaya menjadi Ketua Tim 7 PGI bersama dengan Pdt. Sri Yuliana (kini berkarya di LAI) dan beberapa rekan lain, yang diamanatkan untuk menyusun pedoman kerja POUK Nasional,”katanya. Dalam kapasitas tersebut ia pun hadir dalam Sidang MPL PGI di Palopo. Pdt. Engkih juga terlibat sebagai mitra pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia dengan menjadi penasihat Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan (KKPD) LAI Mitra Bandung. KKPD sendiri adalah para sukarelawan (volunteer) yang mendukung pelayanan LAI dengan melakukan berbagai kegiatan untuk menggalang dukungan bagi pelayanan LAI atau pengembangan kemitraan. 

Mengenang perjalanan panjang pelayanannya, Pdt. Engkih menyebut 15 negara telah ia kunjungi dalam berbagai acara dan hampir semua provinsi di Indonesia ia kelilingi. Dalam kepadatan pelayanan sebagai pendeta yang sering bepergian, ia menyadari anak-anak dan juga istri seringkali ia tinggalkan. Namun, ia berusaha mengatur waktunya agar meski kuantitas waktunya terbatas, ia punya kesempatan berkualitas yang ia manfaatkan bersama keluarga. Misalnya melalui kegiatan rekreasi bersama, menonton bersama, yang utama anak-anak menyadari dirinya hadir dan memperhatikan mereka. Dalam situasi yang tidak selalu ideal, anak-anaknya berhasil meraih prestasi tinggi dalam kuliah, dan keduanya meraih kelulusan dengan predikat cum laude.

 

Blessed to Be Blessing

Pdt. Engkih punya motto hidup: blessed to be blessing, yaitu diberkati untuk menjadi berkat dan memberkati orang lain. Artinya dalam usia berapapun, seseorang harus tetap mau dan mampu menghadirkan berkat bagi sesamanya. Termasuk ketika memasuki usia di atas 60 tahun. 

Belakangan bersama beberapa rekan, ia merintis dan membangun Komunitas Eldove LAI (Elderly, Old and Very Old)LAI, yaitu komunitas yang anggota-anggotanya para senior berusia di atas 60 tahun. Dari awal komunitasi ini menghindari penggunaan istilah lansia (lanjut usia). Menurut Pak Engkih lanjut usia sering berkonotasi lemah, lesu, penyakitan dan bau tanah. Pak Engkih merujuk rumusan WHO, yang menyebut orang sampai dengan 65 masih dianggap berusia muda. Karenanya harus tetap memiliki semangat yang tinggi. Termasuk sekiranya mereka duduk di atas kursi roda Pdt. Engkih mendorong mereka untuk memiliki semangat dan sukacita dan seterusnya menghadirkan berkat bagi orang lain. 

Perjalanan panjang yang telah dilalui mengajarkan Pdt. Engkih untuk senantiasa mengucap syukur. Tanpa pertolongan Tuhan ia tidak mungkin menyelesaikan pelayanan hingga usai bahkan hingga hari ini.  Banyak orang ketika berpindah dari banyak kesibukan dan kemudian memasuki usia emeritus merasa khawatir. Khawatir karena penurunan kesejahteraan ataupun penurunan perhatian. Ada perasaan kekosongan. Hal yang sebaliknya terjadi pada Pdt. Engkih. Ketika ia memasuki masa emeritus dan kemudian pulang ke Bandung ia mendapatkan kesempatan untuk melayani bersama LAI, awalnya lewat KKPD LAI Mitra Bandung dan belakangan turut mengembangkan Komunitas Eldove. Pdt. Engkih berterimakasih kepada LAI yang telah memberikan kepercayaan luar biasa kepada dirinya sehingga bisa berkiprah lebih lanjut dalam pelayanan.

“Saya berharap masih memiliki kesempatan untuk mendampingi orang-orang yang membutuhkan pelayanan pendampingan pastoral. Siapapun mereka,”terangnya. Bahkan sudah beberapa periode ini Pdt. Engkih dipercaya menjadi pastor pastorum. Pastor Pastorum itu di GKP bukan pendetanya pendeta tapi pendeta dan keluarga berkumpul dua tahun sekali lalu memilih, ada lima pendeta dijadikan pastor pastorum. Supaya kalau ada pendeta punya pergumulan, dan mereka tidak selalu memungkinkan untuk berbagai dengan penatua dan majelis jemaat, mereka akan memperoleh dukungan dan bantuan dari pastor pastorum,”tuturnya.

“Nomor hape saya selalu terbuka bagi siapapun termasuk mereka yang berbeda agama sekalipun, tidak dalam rangka untuk kristenisasi tapi mendampingi mereka untuk menjadi orang-orang yang baik, yang sehat, menghargai dirinya sendiri dan sesama,”lanjutnya. 

Menutup kesaksian hidupnya, Pendeta Engkih memiliki sebuah pengalaman yang luar biasa. Pada 6 Juli 1985 ia menikah. Wajarnya pengantin setelah pernikahan ingin berbulan madu. Namun, bagi seorang pendeta bulan madu waktu itu hanya impian belaka. Tiba-tiba datanglah ke pastori seorang anggota majelis gereja yang berusia lanjut, kira-kira 70 tahunan.  Ia berkata,”Pak pendeta dan ibu saya mau kasih kado pernikahan, mau ajak bapak dan ibu ke Bali. Kita ke sana bertiga, tapi nanti berangkatnya naik bis dan disambung kereta.”

Di beberapa kota, di Solo, Madiun dan Mojokerto mereka berhenti. Ternyata majelis tua itu menengok anak cucunya sambil mengumpulkan dana dari anak-anaknya untuk biaya perjalanan ke Bali. Singkat cerita rombongan sampai di Bali. Bapak tua tersebut mencari penginapan, sementara Pdt. Engkih dan istri menunggu di terminal bis. Akhirnya Bapak tua itu datang dan berkata,”Pak Pendeta, kalau kita menginap di hotel, dananya tidak cukup untuk tur. Jadi kita menginap di penginapan biasa ya?” 

Pdt. Engkih menjawab,”Iya, tidak apa-apa.” Maka bapak itu pun pergi lagi mencari penginapan dan kemudian balik kembali. “Pak pendeta, puji Tuhan kita akhirnya beroleh penginapan, tapi ternyata penginapan di Bali mahal juga. Jadi mohon maaf, terpaksa kita tidur satu kamar bertiga,”tutur bapak itu malu. 

Jadilah pengantin baru tidur bertiga bersama seorang anggota majelis sepuh di dekat mereka. Demikianlah bulan madu pun dijalani bertiga. “Saya tidak pernah kecewa apalagi bersungut-sungut. Kami tetap bersyukur. Dari awal tujuan kami ke Bali bukan untuk diri kami sendiri, melainkan menyenangkan hati orang tua tersebut,”kata Pdt. Engkih. “Kami tetap bisa menikmati Bali bersama-sama.”

Singkat cerita rombongan “bulan madu” pulang kembali ke Sukabumi. Bertahun-tahun kemudian, kira-kira 1999, artinya 14 tahun setelah peristiwa tersebut ia menerima tamu dari Swiss. Mulanya tamu tersebut ingin mencari hotel sebagai tempat menginap. Namun, dengan tegas Pak Engkih menolaknya dan menawarinya tidur di rumah dinasnya. Karena rumah dinas memiliki banyak kamar tamu. 

Rekan dari Swiss tersebut berkata, sebelum pulang ke negaranya, ia dan istrinya ingin berlibur ke Bali. Ia pun bertanya kepada Pdt. Engkih apakah sudah pernah mengunjungi Bali. “Saya jelas pernah mengunjungi Bali, karena bulan madu kami pun di Bali,”jawab Pdt. Engkih sambil menceritakan kembali pengalaman bulan madunya yang luar biasa tersebut. 

Anehnya rekan dari Swiss tersebut sama sekali tidak tertawa ketika mendengar kisah Pdt. Engkih. Dia malah menanggapinya dengan sangat serius. 

“Jadi kamu belum pernah berbulan madu dong,”ujar orang Swiss tersebut.

“Bulan madu dalam arti apa? Saya toh sudah menjalaninya,”jawab Pak Engkih. 

“Saya akan usahakan tahun depan kamu berbulan madu ke Swiss. Bukan sekadar liburan, namun nanti kamu bekerja selama di Swiss,”kata orang Swiss. Pdt. Engkih pun bertanya pekerjaan apa yang harus dilakukannya? Orang Swiss tersebut menjawab,” Kamu nanti di Swiss berkhotbah, menceritakan tentang Indonesia, mengajar Sekolah Minggu dan sebagainya.”

Tentu saja itu bukan pekerjaan yang sulit bagi Pdt. Engkih. Meskipun ia dan istrinya belum percaya penuh janji rekannya dari Swiss tersebut. Ternyata janji itu benar ditepati. Bulan Juli tahun 2000, Pak Engkih dan istri berangkat ke Swiss untuk berbulan madu kedua sekaligus menjalankan tugas pelayanan. Selamat sebulan mereka tinggal di Swiss. Artinya 15 tahun setelah perjalanan darat ke Bali. Ia tidak pernah berharap dan bermimpi tapi Tuhan menjawab dan memberikan apa yang tidak ia minta. Berkat dan pemberian Tuhan selalu lebih dari yang ia pikirkan. Begitu banyak berkat Tuhan yang ajaib yang telah ia alami. 

Kang Yadi Suryadi Sairin memang telah membelokkan jalan hidup Pdt. Engkih dari cita-cita awalnya menjadi pilot ataupun diplomat. Namun, Tuhan memakai cara tersebut untuk menjadikan kehadiran Pdt. Engkih senantiasa menjadi berkat bagi sesama di manapun ia hadir dan berkarya. Tepat seperti motto hidupnya: blessed to be blessing, Pdt.  Engkih dan keluarga senantiasa berdoa, agar hidup mereka terus menjadi berkat bagi banyak orang lain. Semoga kita pun dimampukan demikian juga.