Pdt. Friedrich Tometten: Bapak Rohani Orang Yali

Pdt. Friedrich Tometten: Bapak Rohani Orang Yali

 

Mengapa suatu suku bangsa bergantung pada bahasanya dan mengapa mereka ingin membaca Alkitab dalam bahasa mereka sendiri? Ini juga yang ada dalam impian Suku Yali. Pendeta Tometten menceritakan pengalamannya untuk kita. 

Kekhasan bahasa Yali

Bahasa Yali menjadi bahasa ibu untuk hampir 100.000 orang penutur yang tinggal di bagian timur Kota Wamena di pedalaman Papua. Bahasa Yali sangat efisien untuk mengungkapkan berbagai-bagai nuansa hidup. Bahasa itu mengenal hampir 1000 macam bentuk konjugasi kata kerja. Variasi-variasi dari kata dasar, sufiks atau infiks mengandung informasi yang rinci tentang berlangsungnya suatu peristiwa: kapan persisnya, siapa subjek dan objeknya, apakah peristiwanya mungkin saja terjadi atau tidak mungkin sama sekali, sebagian atau keseluruhan, berulang atau selesai. 

Beberapa bentuk hanya bisa direproduksi dalam bahasa lain dengan kalimat-kalimat yang panjang, misalnya: og-netlebon = „sesuatu yang seharusnya dia berikan kepadaku“, atau pale-unubaharuk-uwag = „Kami sudah habis memotongnya sama sekali“, termasuk informasi “telah lampau sekali“ dan “sudah lama selesai“.

Selain itu, bahasa Yali juga mengenal puluhan partikel penunjuk lokasi yang memungkinkan orientasi yang tepat dalam sebuah ruang. Untuk setiap titik lokasi terdapat kata yang sesuai, apakah sesuatu itu berada di hilir, di hulu, di sebelah sini atau di seberang sungai, di lereng, di atas, berjarak dekat, berjarak menengah atau jauh; semua tersedia kata-kata tersendiri.

Dengan demikian, bahasa Yali menawarkan sebuah instrumen yang sangat teliti untuk menggambarkan gerakan-gerakan dalam ruang dan interaksi-interaksi. Sebaliknya, untuk mengungkapkan perasaan pribadi hanya tersedia instrumen yang terbatas. Kalau ditafsirkan dengan hati-hati, maka dapat dikatakan bahwa bahasa Yali mengarahkan persepsi pembicara pada gerakan dalam ruang dan pada apa yang dilakukan seseorang, yaitu bagaimana seseorang berperilaku berdasarkan pengamatannya terhadap lingkungan. 

Agaknya bahasa Yali membentuk persepsi-persepsi, pengalaman-pengalaman dan pemahaman diri, bahkan membentuk perilaku tiap individu terhadap lingkungan dan orang-orang sekitarnya sendiri. Semua itu bersifat sublim yang tentu saja tidak bisa diukur. Bagaimanapun juga, hal itu menunjukkan eksistensi seseorang yang bergantung pada bahasanya, bahkan eksistensi suatu suku bangsa bergantung pada bahasa mereka sendiri. Dalam bahasa lain, saya akan menjadi orang lain! 

Lain bahasa – lain gambaran idealnya 

Perbedaan yang terdapat antara berbagai bahasa dan pengaruhnya terhadap persepsi-persepsi manusia sangatlah mendasar. Berikut sebuah contoh yang diambil dari kumpulan kisah dongeng masyarakat Yali yang dikompilasi oleh Natan Pahabol:

“Di suatu desa tinggallah seorang wanita muda cantik yang berhidung mancung dengan lubang-lubang hidungnya yang besar. Dia gemuk seperti buah pandan. Di atas bahunya tersampir sebuah jaring dari daun-daun Mui dan daun Ambin. Roknya terbuat dari rumput yang dijalin seperti lapisan jamur Wilin dan jamur Surep. Keringatnya mengalir deras seperti air terjun Sungai Welepsi dan Sungai Wamayeg. Dan orang-orang lelaki datang berbondong-bondong dari Barat dan dari Timur untuk melamarnya... “

Kiranya tidak ada pria non-Yali yang datang ke sana. Karena gambaran ideal kita tentang seorang wanita cantik biasanya berbeda satu dengan yang lain. Lain bangsa, lain adatnya. Lain bahasa, lain orangnya.

Apa yang menurut orang Yali indah, apa yang menggairahkan mereka, apa yang menggerakkan mereka, apa yang mengesalkan mereka – semua itu selayaknya diungkapkan dalam bahasa mereka sendiri. Untuk mengungkapkannya mereka menggunakan referensi lokal (siapa yang mengenal Sungai Welepsi?). Mereka menggunakan gambar-gambar dan pengalaman-pengalaman yang berada dalam jangkauan asosiasi mereka dan yang hanya bisa dipahami dalam dunia kehidupan mereka (tahukah kita, betapa berharganya lemak buah pandan itu? Dan apakah apresiasi kita sama seperti mereka?). Kaitan yang erat antara bahasa dengan ruang hidup dan pengalaman para penuturnya itu menciptakan ”ke dalam“ rasa kebersamaan yang kuat dalam diri mereka, tetapi juga sekaligus menciptakan ”ke luar“ rasa kepercayaan diri yang sehat. Hanya dalam bahasa mereka sendirilah mereka dapat merasa seperti di rumah sendiri. Tidak dalam bahasa apa pun, selain dalam bahasa mereka sendiri, mereka dapat mengungkapkan persepsi dan perasaan mereka secara tepat. Hanya bahasa mereka sendirilah yang memiliki instrumen yang mampu mengungkapkan asosiasi dan nuansa halus yang sesuai dengan persepsi dan perasaan mereka secara asli dan unik. Jika mereka kehilangan bahasa mereka, maka mereka juga akan kehilangan rasa “di rumah sendiri”.

Pemeliharaan bahasa sebagai tugas Gereja – penerjemahan Alkitab  

Tidak heran, begitu saya tiba di Papua pada tahun 1989, saya langsung didesak oleh orang-orang Yali untuk bersama-sama menerjemahkan Perjanjian Lama dengan mereka. Pada saat itu, Perjanjian Baru sudah dikerjakan oleh tim penutur asli di bawah bimbingan Pendeta Dr. S. Zoellner. Beliau - seperti saya – pernah diutus oleh United Evangelical Mission (UEM) dari Jerman ke Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Namun, justru Perjanjian Lama bagi jemaat-jemaat Yali layaknya cermin hidup mereka sendiri yang memuat semua pertanyaan, tantangan dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup, serta kerinduan mereka akan kesehatan yang baik dan keselamatan hidup. “Perut kami seperti digigit dari dalam, kalau membacanya”, begitu kata mereka dalam bahasa ibu mereka, sembari tidak mau menyerah sampai kami duduk bersama-sama untuk mengerjakan terjemahan pertama.

Demikianlah saya belajar dari mereka bahwa misalnya tidak ada kata “perintah“ dalam bahasa mereka (terlalu abstrak!), melainkan ungkapan yang agak konkret, yaitu: “menyerahkan sebuah tongkat untuk berkebun ke tangan seseorang dan memintanya untuk menggarap kebun dengan baik“. Saya jadi belajar, bagaimana bahasa ini memaksa kita untuk berbicara dengan jelas dan konkret. Pembebasan misalnya diterangkan sebagai berikut: “melepaskan tali yang mengikat kedua tangan orang”.

Saat proses penerjemahan berlangsung, selalu terjadi diskusi-diskusi yang seru di dalam tim penerjemah kami, terutama ketika harus menerjemahkan kisah-kisah perang dan pertempuran dalam Perjanjian Lama. Mereka benar-benar ahli di bidangnya, karena sebagian dari mereka pernah ikut berjuang dalam peperangan antarsuku. Dari pengalaman mereka sendiri, mereka mengetahui arti melepaskan impuls yang destruktif, rasa takut disergap atau pembunuhan berdarah dingin. Dengan demikian, mereka merasakan lebih intensif janji Allah seperti dalam Mazmur ke 23: “Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku”, yang dalam bahasa Yali lebih kurang berbunyi: “Sementara musuh-musuh mengintaiku, Engkau menyediakan hidangan ’bakar batu‘ yang bisa aku nikmati dengan hati yang tenang”. Demikian juga mereka dengan senang hati menerjemahkan pernyataan iman yang berani dari 2 Samuel 22:30: “Dengan Allahku aku berani melompati tembok” - yang dalam bahasa Yali menjadi: ”Jika Allah dipihakku, aku bisa melompati pagar tinggi yang dibuat oleh musuh-musuhku untuk memagar desa mereka”. Saya tidak perlu menjelaskan pada mereka bahwa kalimat-kalimat seperti itu dipahami secara kiasan.

Untuk apa orang-orang Yali memerlukan teks-teks Alkitab?

Pada tahun 2000, setelah terbitnya terjemahan Perjanjian Baru dengan judul “Allah Wene” yang mempunyai 500 halaman, serta dengan terbitnya lebih dari 600 halaman terjemahan Perjanjian Lama, maka saya pikir, itu sudah cukup! Namun, pada tahun 2006 jemaat-jemaat Yali mendesak saya untuk menerjemahkan sisa 50% lagi dari Perjanjian Lama yang belum selesai diterjemahkan. Saya bertanya, “Apa yang masih kurang?“ Jawab mereka, “Misalnya, silsilah keturunan!“ Silsilah seperti ini: “Arpakhsad memperanakkan Selah, Selah memperanakkan Eber. Bagi Eber lahir dua anak laki-laki ....dst.”? Aneh, pikirku. Mengapa hal tersebut penting buat mereka? Kelihatannya jemat-jemaat Yali berkepentingan untuk mengetahui asal-usul dan tempat mereka dalam silsilah Alkitab, sama seperti orang-orang dulu dalam Perjanjian Lama yang berkepentingan dengan asal-usul dan tempatnya dalam sejarah panjang Allah dengan manusia. Dengan demikian, orang-orang Papua tersebut dapat merasakan adanya pengakuan dan penghargaan dari Allah yang telah menyediakan mereka tempat di dunia.

Di antara kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, jemaat-jemaat Yali selalu ingin kembali kepada cerita tentang pengembaraan dari tanah Mesir, perampokan tanah oleh Raja Ahab, Nabi Yunus yang memanggil orang-orang Niniwe untuk bertobat ke jalan yang benar. Cerita-cerita semacam ini pada dasarnya tidak mengajarkan moral dan pandangan hidup, namun mengaktualisasikan rasa rindu akan perdamaian, keadilan dan kehidupan yang bermartabat. 

Hampir dalam setiap diskusi kelompok yang membahas teks-teks Alkitab ditutup dengan catatan: “Ini adalah kisah kami, kisah-kisah yang terjadi di tengah-tengah kami!“ Seringkali jemaat-jemaat Yali menunjukkan hubungan motif-motif alkitabiah itu dengan motif dari kisah-kisah mitologi mereka sendiri. Pengumpulan mitos-mitos mereka berlangsung secara sejajar dengan penerjemahan Perjanjian Lama pada tahun 90-an. “Mitos-mitos nenek moyang kami mempunyai relasi yang sama terhadap Alkitab, sebagaimana relasi antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Dulu kami hanya meraba-raba seperti berjalan dalam kabut, sekarang kabutnya sudah terang. Sekarang kami mengenal nama Yesus dan Bapa-Nya.” Mereka menyadari bahwa Allah yang menjaga martabat mereka, yang sering kali terancam oleh orang lain. Cerita-cerita Alkitab merupakan jawaban atas ancaman terhadap identitas mereka. Oleh karena itu, masyarakat Yali berhak tahu tentang Firman Allah ini – sewajarnya dalam bahasa mereka sendiri, sehingga mereka bisa ikut merasakan, bahwa janji Allah akan hidup dalam damai, dalam keadilan, dalam kebebasan dan dalam martabat, juga berlaku bagi mereka. Salah satu lagu mereka mengungkapkan secara jelas perasaan ini: “Allah telah menemukan kami yang berada di balik gunung – itulah sebabnya kami memuji Dia!”

Lembaga Alkitab sebagai bidan

Dari awalnya proses penerjemahan berjalan berselang-seling dengan pelayanan di jemaat-jemaat, maupun pelajaran di Sekolah Alkitab, sehingga seluruh hasil terjemahan langsung disosialisikan dan diujicobakan dalam ibadah-ibadah minggu dan unsur-unsur jemaat, Sekolah Minggu, Penelaahan Alkitab, dan pelajaran sekolah. Proses penerjemahan yang selalu terjadi dalam kontak erat dengan semua unsur jemaat, pria dan wanita, tua dan muda, orang terdidik dan yang belum terdidik, menghasilkan terjemahan yang dari awalnya diterima dan “dimiliki“ seluruh lapisan masyarakat dan jemaat.

Proses penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Yali meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa ibu dengan semua warisan tradisi lisan, sehingga jemaat-jemaat Yali mulai mengumpulkan mite-mite, dongeng-dongeng, dan lagu-lagu dalam bahasa Yali. Di tiap-tiap kampung unsur-unsur jemaat mulai mengarang lagu-lagu rohani dalam bahasa ibu mereka. Peningkatan bahasa Yali melalui proses penerjemahan, apalagi kehadiran Alkitab dalam bahasa Yali, menjadi motif kuat untuk belajar membaca. Akhir-akhir ini program pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan oleh gereja diikuti oleh ribuan orang yang rata-rata mulai sanggup membaca teks-teks kecil lewat dua bulan pertama.

Keterkaitan proses penerjemahan dengan pelayanan di jemaat dan pelajaran di Sekolah Alkitab memungkinkan proses revisi yang terjadi berturut-berturut, sehingga tiap-tiap kitab Perjanjian Lama mengalami proses revisi sampai enam atau tujuh kali, sebelum diserahkan kepada Lembaga Alkitab untuk pemeriksaan terakhir. 

Lembaga Alkitab Indonesia memegang peran penting dalam seluruh proses penerjemahan. Berkat kompetensi tinggi dan dedikasi serta ketelitian konsultan-konsultan LAI yang membimbing tim penerjemah kami dan memeriksa hasil terjemahan kami dengan seksama, maka mutu terjemahan menyangkut ketepatan, kejelasan dan kewajarannya sangat berkembang. Menjelang penyelesaian terjemahan Alkitab, LAI menawarkan akan mensponsori cetakan Kabar Baik Bergambar, asal diterjemahkan ke dalam bahasa Yali. Pada akhirnya, pada bulan Mei 2018 Gereja Kristen Injili di Tanah Papua bersama Lembaga Alkitab dapat menyerahkan hasil penerbitan dan cetakan LAI, yaitu 14.400 eksemplar ALLAH WENE dan 7.000 kitab Kabar Baik Bergambar dalam bahasa Yali kepada jemaat-jemaat di Yalimo. Mereka menyukuri peristiwa itu dengan menyanyi “Oleh karena Firman itu kita hidup!“ 

Kepada Lembaga Alkitab Indonesia yang menjadi bidan dalam “kelahiran“ itu dan dalam tahun ini memperingati kelahirannya 65 tahun yang lalu, jemaat-jemaat Yalimo mengucapkan penuh rasa terima kasih dan syukur: Semoga Tuhan memberkati yang menjadi berkat buat kami, dan “Panjang umurnya serta mulia!“  

 

Pdt. Pdt. Friedrich Tometten, Konsultan LAI, misionaris utusan United Evangelical Mission, Jerman.