Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus: Seorang Pelayan Harus Konsisten

Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus: Seorang Pelayan Harus Konsisten

Bagian 1

Pdt. Guruh Jatmiko Septavianus lahir di Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah pada hari Sabtu Pahing, 30 September 1972. Semasa kecil tidak pernah terbersit di benaknya impian menjadi seorang pendeta. Cita-cita Guruh hanya satu, ingin menjadi dokter. Pelajaran yang berkait dengan ilmu pengetahuan alam menjadi favoritnya. Ketika menginjak bangku SMP, Guruh akrab dengan guru IPA-nya. Bahkan gurunya memberinya kepercayaan memegang kunci laboratorium. Kapan pun Guruh memerlukan, ia bebas keluar masuk laboratorium IPA di sekolahnya. Di bangku SMA Guruh memilih juruan Biologi (A2) sebagai titik tolak menuju Fakultas Kedokteran. 

Di bangku SMA itu pula Guruh aktif dalam berbagai kegiatan di gerejanya, GKI Kutoarjo seperti mengajar Sekolah Minggu dan sebagainya. Tak jarang karena keakraban dengan keluarga pendetanya, Guruh sering menginap di pastori gerejanya. Ia melihat keindahan suasana keluarga kristiani di dalam keluarga Pdt. Kriswana. Ia merasa betah dan diterima setiap kali bertandang ke rumah pendetanya. Betapa indahnya kehidupan pelayan Tuhan. Namun, keinginan menjadi pendeta belum muncul. 

Lulus SMA pada 1990, mulai muncul pergumulan di dalam batinnya. Di satu sisi, keinginan melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran begitu membara. Di sisi lain, Guruh menyadari bahwa biaya kuliah di Fakultas Kedokteran sangat tinggi. Bahkan kalaupun ada program beasiswa. Sementara ia menyadari keadaan keuangan orang tuanya tidak memungkinkan untuk kuliah di kedokteran. Sempat ia ingin meneguhkan niat kuliah, namun akhirnya keadaaan memaksanya mundur. 

“Ibu saya hanyalah guru TK, sementara meski Bapak saya secara KTP sudah Kristen, namun hingga hari itu belum menjadi pengikut Tuhan. Keuangan keluarga kami pas-pasan,”kenang Guruh. 

Guruh memilih menunda niatnya untuk berkuliah dan mencari pengalaman di dunia kerja. Guruh sempat bekerja di PT. Dieng Jaya, di Wonosobo, sebuah perusahaan makanan kaleng. Di tempat itu ia bekerja sebagai operator retort. Tugasnya mensterilisasi produk pangan yang sudah dikemas dalam botol dan kaleng. Setelah melewati proses sterilisasi, barulah produk tersebut bisa dikemas dan dikirim kepada konsumen. Bekerja di pabrik mengajarkan kepada Guruh arti: ketekunan dan kesabaran. 

Sekitar 1991, Pdt. Kriswana, menawari Guruh kuliah di Fakultas Teologi. Guruh menerima tawaran tersebut. Baginya yang penting sekarang adalah melanjutkan kuliah. Urung menjadi dokter tidak masalah. Meskipun pada saat itu ia juga masih belum terbayang untuk menjadi seorang pendeta. Pdt. Kriswana menyatakan ada sebuah gereja yang bersedia memberikan beasiswa untuk mendukung kuliah Guruh. Syaratnya adalah Guruh harus berhasil lolos seleksi masuk Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta. Gereja tersebut adalah GKI Kwitang, Jakarta. Yang luar biasa beasiswa tersebut bukan hanya uang kuliah dan uang asrama, tetapi juga menyangkut uang buku dan semua keperluannya kuliah. Oktober 1996 Guruh lulus dari Fakultas Teologi UKDW. 

Lulus kuliah, Guruh mulai memantapkan panggilannya untuk menjadi seorang pendeta. Waktu itu muncul komitmen di benak Guruh, demikian,”Sekiranya dalam waktu satu tahun saya tidak berproses di Gereja Kristen Indonesia (GKI), maka saya akan menerima jika ada sinode gereja lain yang meminangnya.”

Guruh memiliki pandangan demikian karena selepas dinyatakan lulus ujian yudisium di UKDW, salah seorang dosen memanggilnya ke  ruang kerjanya dan menyatakan,“Mas Guruh, ada 3 buah gereja GKJ yang tertarik dengan panjenengan.” Kebetulan nama-nama gereja yang disebutkan termasuk dalam gereja-gereja besar pada masa itu. Guruh menyampaikan kepada dosennya tersebut bahwa dirinya adalah utusan dari GKI yang akan mengutamakan panggilan dari GKI terlebih dahulu. 

Ternyata mulai Januari hingga Mei 1997 Guruh diminta membantu pelayanan GKI Sokaraja. Kemudian sekitar akhir Juni 1997, dirinya diminta membantu pelayanan GKI Gatot Subroto, Purwokerto khususnya untuk bakal jemaat Ajibarang. Dua bulan kemudian mulai Agustus hingga September 1997, Guruh masuk proses perkenalan resmi di GKI Gatot Subroto, namun dikhususukan untuk mengembangkan Bakal Jemaat Ajibarang. Sekitar Februari 1998, Guruh dinyatakan layak untuk melanjutkan proses orientasi dan diteguhkan menjadi penatua khusus. Selanjutnya ia mulai berproses menjadi calon pendeta GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah. 

Tepat pada perayaan ulang tahunnya yang ke-27 pada 30 September 1999, Guruh Jatmiko Septavianus ditahbiskan menjadi Pendeta GKI Gatot Subroto, Purwokerto. Khotbah sulung yang disampaikannya pada ibadah penahbisan  mengangkat tema: “Apakah Engkau Mengasihiku?”, yang diambil dari pertanyaan Tuhan Yesus kepada Rasul Petrus. Guruh memandang seorang pelayan harus yakin dengan panggilannya. “Jika ya katakana ya, jika tidak katakanlah tidak, jangan ragu!”katanya. Seorang yang mengambil panggilan sebagai seorang gembala menurut Guruh harus selalu konsisten dan teguh dengan panggilan pelayanannya. 

Pada 1 November 1999 status kependetaannya diserahkan oleh GKI Gatot Subroto kepada GKI Ajibarang bertepatan dengan pemandirian GKI Ajibarang. GKI AJibarang menurut Guruh cukup unik. Warga jemaatnya cukup plural, ada yang berlatar belakang Jawa, Tionghoa maupun Tapanuli. Bahkan ada yang berasal dari Timor. Wilayah Ajibarang sendiri termasuk wilayah yang secara perekonomian cukup maju di Banyumas dan sekitarnya. Sehingga banyak orang datang ke Ajibarang untuk mengadu nasib. 

Sekitar bulan Februari 2008, Guruh menerima panggilan GKI Kwitang, Jakarta. Apa yang menyebabkan Guruh mengambil keputusan untuk pindah tempat pelayanan? Guruh menyebut ada dua hal utama yang menjadi titik tolaknya. Pertama, komitmen bersama waktu GKI Ajibarang menjadi jemaat dewasa pada 1 November 1999, waktu itu seluruh majelis jemaat bertekad dalam 5 tahun gereja sudah memiliki pos jemaat. Sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Namun ternyata akhirnya terwujud pada 2007 dengan adanya Pos Jemaat Karangpucung, Majenang. Jika dihitung mulai bergabungnya warga pos Karangpucung pada 2004, boleh dikatakan visi 5 tahun memiliki pos jemaat tercapai. Kedua, tentu kondisi GKI Ajibarang yang pada sekitar 2008 boleh dikatakan sudah stabil. Pada saat Guruh pindah ke Kwitang, warga jemaat GKI Ajibarang sudah terdiri dari 260-270 KK. 

Sebenarnya tidak pernah tersirat dalam benak Guruh untuk pindah tugas pelayanan ke Jakarta. Karena menurut pandangannya Jakarta terkenal dengan kompleksitas pelayanannya. Namun, pada titik tertentu istrinya mengingatkan jika Tuhan yang memanggil, seorang pelayan tidak boleh menolaknya. Apalagi sekitar 2006-2008 banyak rekan pelayanan di sekitar Jabodetabek cukup sering berkomunikasi dengannya. Sekitar 2007 teman-teman dari GKI Kwitang datang ke Purwokerta. Selain hadir dalam ibadah, mereka secara khusus mengundang Pdt. Guruh untuk melayani di GKI Kwitang, Jakarta. Sekitar September 2007 Guruh memulai proses perkenalan dengan GKI Kwitang. Selama 10 hari Guruh mengadakan orientasi dan melayani di GKI Kwitang. Dan pada Februari 2008, Pdt. Guruh diteguhkan sebagai pendeta GKI Kwitang, Jakarta. 

Berpindah dari jemaat sebesar 300-an KK kepada jemaat besar yang anggotanya ribuan dengan wilayah pelayanan Jakarta yang begitu luas pasti tidak mudah. Guruh pun menyadari hal ini. “Tentu saja saya menyadari situasi tersebut. Tapi hal tersebut tidak menjadikan saya ngoyo (memaksakan diri-red). Kami yakin Tuhan akan menyiapkan segala sesuatunya. Untuk mengenal jemaat yang jumlahnya ribuan pasti bukan hal yang mudah, namun saya yakin warga GKI Kwitang sendiri menyadari hal tersebut. Proses perkenalan kami mungkin akan berlangsung seumur hidup,”tuturnya. 




“Prinsip kami waktu masuk dan bergabung dengan GKI Kwitang adalah enjoy saja. Kalau di Ajibarang, dalam sehari saya bisa mengunjungi 3-4 rumah warga jemaat. Di Jakarta belum tentu sehari dapat mengunjungi satu rumah warga. Karena bisa saja baru setengah perjalanan sudah terkena macet di mana-mana,”katanya. 

“GKI Kwitang kalau dilihat bagaikan Indonesia mini. Maka harapannya pendeta-pendeta  di tempat ini  menjadi wakil representasi etnis-etnis tertentu. Nah kebetulan waktu itu ada Pdt. Agus Mulyono dan Alm. Pdt. Em. Hendra Gosana dari etnis Tionghoa. Kemudian ada Pdt. Litos Pane dari etnis Batak. Kemudian saya hadir mewakili etnis Jawa. Agaknya kalau dilihat seperti itu,”lanjutnya. 

Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta, sempat mewawancarai Guruh pada hari-hari pertamanya bergabung dengan GKI Kwitang. Saat ditanya apa yang menjadi kerinduannya sebagai seorang pendeta di GKI Kwitang, Guruh berharap agar nantinya GKI Kwitang menjadi trendsetter liturgi GKI. Dan Guruh sebagai pelayan di GKI Kwitang berhasrat untuk bergelut dan bergumul dengan liturgi. 

“Bagi saya liturgi, khususnya lliturgi minggu di dalam kebaktian minggu itu merupakan sentral kegiatan jemaat. Kalau kegiatan-kegiatan lingkungan, kegiatan pos dan bajem itu relatif dihadiri sedikit warga jemaat. Paling banter 30 anggota jemaat. Tetapi kalau ibadah minggu itu bukan hanya puluhan tapi sudah ratusan bahkan ribuan warga yang hadir. Artinya menjadi sangat efektif untuk memberikan bekal bahkan memberikan pembinaan secara efektif kepada anggota jemaat melalui liturgi,”katanya. 

“Dan bagi saya liturgi itu bukan hanya tata ibadah tetapi seluruh rangkaian dari votum sampai berkat termasuk khotbah di dalamnya. Sehingga bagaimana mengolah liturgi itu menjadi menarik. Setidaknya kalau dari khotbahnya umat merasa tidak memperoleh apa-apa  minimal dari lagunya umat mendapatkan penghayatan dan refleksi iman. Kalau dari lagunya juga tidak memperoleh sesuatu minimal dari pengarahan atau apa yang disampaikan oleh liturgis. Petugas yang membacakan ayat pembukaan dan sebagainya. Paling tidak umat mendapatkan sesuatu dari situ,”lanjutnya. 

Terhadap pertanyaan atau kritikan kaum muda yang sering menganggap liturgi di GKI ketinggalan jaman atau dianggap tidak merefleksikan harapan kaum muda, Pdt. Guruh punya pandangannya sendiri. “Sebenarnya begini, ada pemahaman yang menurut saya keliru di kalangan anggota jemaat bahwa liturgi itu harus dalam bentuk tertentu. Padahal tidak harus demikian. Karena liturgi yang sering dianggap kaku itu juga bisa dibuat menjadi liturgi yang hidup. Liturgi yang hidup itu bergantung kepada beberapa hal. Yang pertama adalah orangnya. Dalam hal ini anggota jemaat dan para pelaku ibadah, para pelayan ibadah. Dan yang kedua adalah faktor pendukung. Faktor pendukung itu seperti misalnya gedung gerejanya, sound systemnya, pencahayaanya, tata dekorasinya, nah itu faktor pendukungnya. Dan yang ketiga adalah faktor tata ibadah. Jika ketiga hal ini terolah dengan baik maka orang akan melihat bahwa yang namanya liturgi itu tidak hanya terfokus kepada khotbah. Tetapi dari keseluruhan pendukung peribadahan tersebut,”terangnya panjang lebar. 

Pdt. Guruh mencontohkan misalnya GKI Kwitang yang di bulan ini sedang menyelenggarakan bulan budaya. Di tahun-tahun yang lalu setiap penyelenggaraan bulan budaya, dekorasi ruang ibadah akan mengikuti pola-pola hiasan atau dekorasi suku budaya tertentu yang diangkat budayanya pada ibadah minggu tersebut. Misal, ketika mengusung budaya Jawa Barat, maka dekorasi di belakang mimbar dan di sekitar ruang peribadahan bernuansa Sunda. 

“Pembaca Kitab Suci juga dapat melakukan tugasnya dengan membaca Alkitab secara story telling, dengan penuh penghayatan dan tidak datar dan monoton,”terangnya.”Jemaat yang tidak memegang Kitab Suci pun bisa dapat tetap memahami kalau pembacaan Alkitab dilakukan dengan benar.”’

Bagi Guruh, liturgi bukan sekadar alat tetapi lebih penting liturgi menjadi sarana anggota jemaat berjumpa dengan Tuhan. Demikian juga para pelayan dan petugas ibadah berjumpa dengan Tuhan melalui liturgi. Atau kalau diistilahkan oleh Pdt. Joas Adiprasetya, ada liturgi after liturgi. 

“Jadi ini hanyalah menjadi semacam bengkel servis saja. Di mana nanti mobil yang diservis itu teruji bengkelnya baik atau tidak ketika mobilnya itu keluar dari bengkel. Kalau satu minggu kemudian dia balik lagi ke bengkel lagi, berarti bengkelnya gak bener. Tapi kemudian sampai satu tahun atau dua tahun mobil itu masih oke berarti bengkelnya ini melakukan servis dengan benar. Nah kira-kira liturgi di dalam gereja itu seperti itu. Sepulang dari ibadah, anggota gereja masuk ke dalam kehidupan mereka melakukan liturgi kehidupan. Harapannya mereka menjalani hidup dengan baik,”tuturnya.  

Sekitar 2014, Guruh melanjutkan studi untuk lebih mendalami liturgi secara praktikal. “Saya mendalami praktikal, jadi bukan ke teori liturginya, atau teologi liturginya, tetapi menghadirkan bagaimana liturgi yang hidup tadi diterapkan. Itu bagian dari tesis saya. Bagaimana membuat liturgi itu menjadi menarik dan jemaat bisa masuk dan menghayati ibadah melalui liturgi yang hidup dan menarik,”tuturnya. Tesis penelitian Guruh diawali dari pendapat banyak anggota jemaat yang melihat ibadah tertata atau tidak dapat dilihat dari bagaimana para pelayan mempersiapkan dirinya. Dari para penatua yang bertugas, pemusik, prokantor, pembaca Alkitab bahkan pendeta yang berkhotbah dapat dirasakan oleh warga jemaat tingkat kesiapan mereka. Persiapan yang baik, membuat ibadah berlangsung dengan lancar, tertib dan baik. Tetapi lebih dari itu, Guruh mencoba menawarkan dalam tesisnya bagaimana membuat liturgi yang hidup yang menghadirkan kerinduan warga jemaat untuk hadir dalam peribadahan. Guruh lulus studi paska sarjananya pada 2017 dengan gelar Master of Arts in Practical Theology dari Pasca Sarjana Fakultas Teologi, UKDW. 

Guruh memang tidak pernah menjadi dokter. Tidak kesampaian cita-citanya mengobati orang-orang sakit. Namun, dengan menjadi pendeta, gembala umat Guruh mengikuti panggilan Tuhan untuk: mengajar, menyapa yang papa dan kesepian, menemani dan menghibur yang terluka, mendoakan warga jemaat dari anak-anak sampai lansia, meneguhkan iman melalui khotbah dan renungan yang menguatkan dan membangun. Pada akhirnya dengan menjadi pendeta, Guruh tetaplah menjadi dokter. Dokter jiwa, penolong dan sahabat bagi warga jemaatnya. Di GKI Kwitang, Jakarta. 

(bersambung)