Pdt. Henriette T. Hutabarat Lebang :  Perempuan Pertama Yang Menjabat Ketua Umum LAI

Pdt. Henriette T. Hutabarat Lebang : Perempuan Pertama Yang Menjabat Ketua Umum LAI

 

Entah disengaja atau tidak, yang pernah menjabat Ketua Umum Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) merupakan orang-orang besar. Tokoh-tokoh Kristen terkemuka di bumi Nusantara. Ambil contoh, Ketua Umum LAI yang pertama, Prof. Dr. Todung Sutan Gunung Mulia. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Ketua Umum Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang pertama. Ketua Umum yang kedua, Pdt. W.J. Rumambi pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Sekretaris Umum DGI. Demikian pula Prof. Dr. P.D. Latuihamallo yang merupakan Guru Besar STT Jakarta dan sekaligus pernah menjadi Ketua Umum PGI. Sebelum Pdt. Dr. Ishak Lambe, Ketua Umum LAI dijabat oleh Pdt. Prof. Dr. Liem Khiem Yang yang pernah menjabat Rektor STT Jakarta, beliau seorang ahli Kitab Suci dan menjadi Guru Besar Perjanjian Baru di STT Jakarta. 

Dan Ketua Umum LAI yang baru, Pdt. Dr. Henriette Tabita Hutabarat Lebang, M.A., jelas merupakan orang besar, karena beliau merupakan tokoh Kristiani nasional bahkan di Asia. Beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal CCA (Dewan Gereja Asia), Ketua Umum Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) dan bahkan saat ini masih menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PGI. Hebatnya, beliau adalah perempuan pertama yang dipercaya untuk menjabat kedudukan tersebut. 

Masa Kecil dan Cita-cita Menjadi Pendeta

Ery Lebang lahir di Makassar 11 Oktober 1952.  Ayahnya, Pdt. Junus Bunga Lebang termasuk generasi pertama Pendeta Gereja Toraja. Ibunya, Adolfina Palamba adalah seorang guru. Ibunya pernah menjadi Kepala Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Kristen Rantepao, Tana Toraja.

“Saya lahir di Makassar, karena kebetulan ayah saya melayani sebagai seorang Pendeta Gereja Toraja di Makassar,”terangnya. “Pada masa itu belum banyak pendeta di Makassar. Hampir setiap hari Ery  menyaksikan ayahnya begitu sibuk dengan berbagai kegiatan pelayanan di luar rumah, baik memimpin ibadah, kunjungan dan termasuk melayani ibadah kedukaan. Hampir tiap hari ayahnya terlibat dalam pelayanan kematian untuk menghantar umat yang meninggal hingga ke pekuburan. Jadi di samping melihat ayah saya memimpin ibadah di gereja ataupun dalam kebaktian rumah tangga, saya menyaksikan ayah saya memimpin ibadah kematian. 

Sejak usia lima atau enam tahun, Ery telah sering diajak menemani ayahnya dalam tugas pelayanan. Karena begitu sering mengikuti sang ayah dalam tugas pelayanan, Ery meniru apa yang dilakukan ayahnya sebagai pendeta. 

“Saya mengambil sebuah peti kecil, kemudian saya berdiri di atasnya atasnya. Selanjutnya saya membaca Alkitab, dan kemudian menyatakan,” Mari kita berdoa!” Demikianlah saya berperan “memimpin ibadah”. Sementara kawan-kawan saya berkumpul di depan saya. Mereka mendengar dan menyaksikan saya “memimpin” ibadah. Tak jarang kawan=kawan saya berkata,”Gantian dong, saya juga mau belajar memimpin ibadah!”

Makin lama orang pun bertanya,” Ery kamu kalau besar ingin menjadi pendeta?” Saya jawab,”Tidak, saya tidak ingin menjadi pendeta!” “Mengapa kamu tidak mau?”Tanya mereka. Saya jawab,”Karena tugas pendeta setiap hari membawa jenasah ke Pampang (pekuburan Kristen di Makassar).” 

Hampir setiap hari Ery melihat iring-iringan mobil jenasah dan orang-orang yang menghantarkannya ke pekuburan lewat di depan rumah mereka.  Ery kecil meyakini, kalau menjadi pendeta pasti akan disibukkan dengan pelayanan orang-orang meninggal. 

Selain itu ketika di Makassar, Ery dan keluarganya tinggal di sebuah rumah pastori yang cukup besar dan ditempati dua keluarga pendeta. Setiap malam mereka mengadakan ibadah bersama. Secara bergiliran di dalam keluarga diajarkan bagaimana berdoa, membaca Alkitab dan juga menyanyikan kidung pujian. Di sinilah benih-benih iman dan kecintaan kepada Kitab Suci bertumbuh. 

Pindah ke Toraja

Sekitar tahun 1960 ayah Ery terpilih menjadi Sekretaris Umum Komisi Usaha (sekarang Badan Pekerja Sinode) Gereja Toraja. Maka Pdt. Junus Lebang dan keluarganya pindah domisili ke Rantepao, Tana Toraja. Usia Ery saat itu sekitar sepuluh tahun. Seiring bertumbuhnya usia, maka Ery mulai terlibat dalam berbagai pelayanan dan kegiatan gerejawi. 

Selagi masih duduk di bangku SMP, Ery sudah mulai terlibat dalam pelayanan Sekolah Minggu. Awalnya ia sekadar ditugaskan menemani dan mendampingi anak-anak Sekolah Minggu tersebut. Hingga ketika menginjak kelas tiga SMP, Ery mulai diberi kepercayaan mengajar Sekolah Minggu. “Pada masa itu guru-guru Sekolah Minggu masih jarang,” katanya. “Kebetulan Ibu saya seorang guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Saya sering melihat murid=murid SPG yang praktik mengajar di SD, saya pun belajar meniru bagaimana mereka mengajar,”lanjutnya. 

Ketika duduk di bangku kelas dua SMA, Ery pindah ke Surabaya. Ia dititipkan ayahnya pada salah satu saudara yang tinggal di Surabaya. Waktu itu Ery memiliki keinginan yang cukup kuat untuk menjadi seorang dokter. Dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya menjadi pilihan yang cukup favorit pada masa itu. Namun, menjelang lulus SMA, keluarga kembali bertanya kepadanya,”Apakah Ery serius ingin menjadi seorang dokter?” Setelah berpikir Ery pun menjawab,”Saya mau bekerja di bidang yang berhubungan dengan manusia atau kemanusiaan.” Pilihannya menurut Ery ada dua: menjadi dokter atau seorang pendeta.  

Untuk memastikan pilihannya, Ery pun mendaftar ke dua perguruan tinggi, yang pertama ke Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta dan yang kedua ke Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Ternyata jawaban dari Tuhan adalah STT Jakarta. Keinginannya belajar teologi sempat membuat perasaan kedua orang tuanya bercampur aduk. Bukan karena tidak mendukung harapan Ery untuk menjadi pendeta, melainkan karena pada masa itu di Gereja Toraja belum menerima seorang perempuan untuk menjadi pendeta. Namun Ery terus melangkah maju.

Belajar Organisasi

Di STT Jakarta Ery tidak hanya belajar teologi. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi. Meskipun STT Jakarta diakui Pdt. Ery salah satu tempat penempaan dan melatih diri berorganisasi, namun ia menegaskan bahwa benih-benih pembelajarannya telah tumbuh jauh sebelum dirinya menjadi mahasiswa STT Jakarta. 

“Dari sejak remaja saya sudah terlibat dalam berbagai kegiatan di Gereja Toraja. Mulai dari hal-hal yang sederhana hingga berbagai kepanitiaan di gereja. Termasuk ketika mengajar Sekolah Minggu,”katanya. 

Namun, jiwa kepemimpinan dan berorganisasi Ery juga tumbuh lewat keikutsertaannya dalam kepramukaan. Ery aktif dalam Gerakan Pramuka sejak duduk di bangku SMP di Toraja. “Melalui Pramuka saya belajar bagaimana belajar mandiri, belajar bekerja sama, bagaimana harus memimpin regu, bagaimana harus bergerak cepat, juga bagaimana belajar mengambil keputusan,”katanya. 

Keaktifan dalam kegiatan Pramuka mengantar Ery untuk pertama kalinya menginjak Kota Jakarta. Regu Pramuka sekolahnya mengikuti perlombaan dari mulai tingkat Kota, selanjutnya tingkat Provinsi di Makassar dan akhirnya empat orang di antara regu sekolahnya terpilih untuk mewakili Provinsi Sulawesi Selatan dalam Jambore Nasional Pramuka di Cibubur, Jakarta. Inilah keikutsertaan Ery pertama kalinya dalam sebuah event nasional. 

Di STT kemampuan berorganisasi Ery semakin terasah. Sekitar tahun 1975 Ery terpilih menjadi Sekretaris Dewan Mahasiswa STT Jakarta. Dan setahun kemudian saya menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa STT Jakarta. “Saya merupakan perempuan pertama yang menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa STT Jakarta,”katanya. 

“Ketika saya menginjak tingkat akhir di STT Jakarta hingga masa-masa awal setelah saya lulus dari STT, saya belajar banyak dari ayah saya. Ayah menjadi teman belajar dan diskusi yang menyenangkan. Kami berdiskusi tentang Gereja Toraja,  dan bagaimana gereja bertumbuh di tengah masyarakat yang memiliki budaya dan adat istiadat yang sangat kuat. Pendeknya, kami berdiskusi banyak hal di meja makan. 

“Yang menarik, meski ayah saya seorang pendeta, kakek dan nenek saya dari ayah belum menjadi seorang Kristen, mereka masih menganut agama Suku Toraja,”katanya.  Meski belum memeluk Agama Kristen, menurut pandangan Ery neneknya demikian menghidupi nilai-nilai kristiani. “Beliau begitu gemar menolong sesama, mengunjungi orang-orang yang sakit. Jika ada orang yang kekurangan, beliau tidak segan-segan berbagi,”katanya. “Maka, saya melihat di dalam wisdom tradition Toraja tergambar nilai-nilai ajaran Kristus,”lanjutnya. Neneknya selalu menegaskan butir nasi selalu lebih banyak dari jumlah orang. Orang tidak mungkin kekurangan meskipun harus berbagi dengan orang lain.

Nenek saya sendiri di kalangan orang-orang Toraja dikenal sebagai seorang imam dalam agama suku Toraja. Nenek saya menjadi rujukan tempat orang meminta petunjuk, kapan saatnya menanam padi, kapan sebaiknya menyelenggarakan pesta pernikahan dan lain sebagainya. 

Akhirnya Menjadi Seorang Pendeta

Setelah menyelesaikan kuliah di STT Jakarta tahun 1977, Ery kembali ke Toraja. Meski demikian bukan berarti karir kependetaannya berjalan dengan mulus. Ery tidak langsung dipersiapkan untuk menjadi calon pendeta, karena hingga awal 1980-an Gereja Toraja belum menerima perempuan dalam jabatan kependetaan. 

Pada waktu ia kembali ke Toraja, banyak orang bertanya kepadanya,”Buat apa kamu pulang, bukankah lebih baik bekerja di Jakarta? Beberapa kalangan menyarankan dirinya lebih baik bekerja di lembaga gerejawi nasional semacam PGI. 

Sekalipun demikian, Ery bertekad untuk melayani di Gereja Toraja.  Selain membaktikan diri kepada Gereja Toraja yang memberikan rekomendasi studinya di STT Jakarta, Ery juga berharap bahwa kehadirannya dalam pelayanan Gereja Toraja bersama perempuan berpendidikan teologi lainnya, akan membuka wawasan jemaat mengenai talenta dan kemampuan yang Tuhan berikan. “Saya berpikir, kalau saya tidak pulang, pintu kesempatan untuk hadirnya seorang pendeta perempuan akan semakin tertutup,” terangnya. Dari awal Ery memang senantiasa yakin akan konsep kemitraan antara laki-laki dan perempuan. “Laki – laki dan perempuan semestinya mendapatkan peran dan panggilan yang sama dalam pelayanan gerejawi, sekalipun dengan karunia yang berbeda-beda,”lanjutnya.

Selama tiga bulan Ery setiap hari hanya bolak-balik dari rumah ke ke Kantor Sinode Gereja Toraja. “Badan Pekerja Sinode sendiri mungkin bingung untuk menempatkan saya di mana, karena belum memungkinkan perempuan memimpin dalam jemaat,”kenangnya. 

Setelah menunggu penugasan selama tiga bulan, Ery akhirnya ditempatkan di Lembaga Pembinaan Kader (LPK) Gereja Toraja yang berpusat di Tangmentoe. Selama 1978 – 1980 Ery bekerja dalam satu tim engan ayahnya yang saat itu menjadi Direktur LPK Gereja Toraja.  Menurut Ery, dirinya menikmati masa – masa pelayanan di LPK, terutama karena berkesempatan bekerja bersama ayahnya, yang artinya belajar langsung dari beliau tentang berbagai hal. Kesempatan itu juga merupakan waktu baginya lebih mengenal Gereja Toraja. Baik melalui perjumpaan dengan para senior Pimpinan Gereja Toraja maupun dengan para pendeta dan pemimpin jemaat dalam program-program pembinaan warga gereja baik di jemaat maupun yang diadakan di Tangmentoe.

Setelah menikah tahun 1980, Ery pindah ke Jakarta mengikut suaminya yang berdomisili di Jakarta.  Sejak saat itu Ery mulai terlibat dalam pelayanan oikoumenis lewat Dewan Gereja – Gereja di Indonesia (DGI) yang sekarang dikenal dengan nama PGI.  Ery memulai pelayanannya di DGI sebagai asisten Sekretaris Umum PGI, yang ketika itu dijabat oleh Pdt. Dr. S.A.E. Nababan.  

Pada Sidang Raya DGI tahun 1984, DGI berubah nama menjadi PGI (Persekutuan Gereja – Gereja di Indonesia). Sidang Raya tersebut memutuskan membentuk Biro Pelayanan Wanita PGI dan Ery diangkat menjadi Kepala Biro Wanita PGI yang pertama. Pekerjaan ini membuatnya banyak berhubungan dengan komisi wanita di berbagai gereja maupun kegiatan pemberdayaan perempuan lingkuplokal, nasional dan international.

Tahun 1986, Ery diutus oleh PGI untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke Presbyterian School of Christian Education (PSCE) di Richmond, Virginia, USA. Ery berangkat studi ke Amerika pada tahun 1986 bersama suaminya Donald Hutabarat dan anak mereka yang pertama, Thea, yang ketika itu berusia empat tahun.  Anaknya yang kedua yaitu Cita, lahir di Amerika tahun 1989 ketika Ery sedang mempersiapkan disertasi doktornya. Dia mendapat gelar Master of Arts (MA) tahun 1987 dan Doctor of Education (EdD) tahun 1991.   

Setelah kembali ke Indonesia tahun 1991, Ery diutus oleh Gereja Toraja dan PGI untuk menjadi Wakil Sekjen CCA yang berkedudukan di Hong Kong, setelah berhasil melalui proses pemilihan staf senior di lembaga tersebut.  CCA adalah Persekutuan Gereja – Gereja di Asia yang beranggotakan  Dewan Gereja Nasional salah satunya  PGI dari Indonesia dan 17 negara di Asia. Mulai dari Iran di Barat hingga Jepang di Timur, Nepal di Utara hingga Australia dan Selandia Baru di Selatan, serta 101 Gereja Anggota yang tersebar di negara – negara tersebut. Dewan Gereja di setiap negara memiliki ciri khas masing-masing. Ada yang anggota-anggotanya adalah Gereja Protestan seperti PGI. Sementara ada pula seperti di Australia, Dewan Gereja di negara tersebut juga beranggotakan Gereja Katolik. Di Sri Lanka dan Korea, Gereja Anglikan menjadi anggota Dewan Gereja di negara tersebut. Perjumpaan dengan berbagai pengurus dewan gereja diakui oleh Ery semakin menumbuhkan semangat oikumene dan persaudaraan. Ada keinginan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan masing-masing. 

Karena tugas itu maka Ery dan Keluarganya berdomisili selama sepuluh tahun di Hong Kong. Pekerjaannya banyak berkunjung mendampingi gereja – gereja di Asia, dan mengadakan program di berbagai  negara. Selama itu pula, Donald Hutabarat sang suami bekerja secara suka rela untuk mendampingi Tenaga Kerja Wanita (TKW) Asal Indonesia. Di antara TKW yang didampinginya ada yang berasal dari Toraja. Mereka yang didampinginya terutama yang mengalami perlakuan yang tidak adil dari majikannya.

Tahun 1985, Gereja Toraja akhirnya memutuskan untuk menerima perempuan dalam jabatan gerejawi (pendeta, penatua, syamas).  Pdt. D.M. Anggui Pakan merupakan perempuan pertama yang ditahbiskan sebagai Pendeta Gereja Toraja. Karena menyelesaikan studi, Ery baru ditahbiskan menjadi Pendeta Gereja Toraja Maret 1992. Ia ditahbiskan setelah melalui ujian kelayakan menjadi Pendeta GerejaToraja yang diadakan di Gereja Toraja Jemaat Kramat Jakarta Utara.  Ketika itu Ery menjadi pendeta tugas khusus yang melayani CCA, demikian juga di PGI.

Dalam Sidang Sinode Am (SSA) GerejaToraja yang dilaksanakan di Palopo tahun 2001, Ery terpilih menjadi Ketua I BPS Gereja Toraja, yang membidangi Pembinaan Warga Gereja dan Pekabaran Injil. Tugas ini memungkinkan Ery untuk memusatkan perhatiannya pada program – program pembinaan warga gereja dan Pekabaran Injil bersama rekan – rekan  Anggota Tim Badan Pembinaan Warga Gereja dan Pekabaran Injil (BPWG-PI).  Jabatan sebagai Ketua BPS Gereja Toraja  diembannya hingga tahun 2006.  

Tahun 2006 hingga 2010, ia diangkat menjadi Direktur Institut Teologi Gereja Toraja yang bertugas mempersiapkan para calon  Pendeta Gereja Toraja dan mengadakan continuing education bagi para pendeta. Jadi secara garis besar ada dua tugas utama lembaga ini. Yang pertama, mempersiapkan seleksi, pembinaan dan persiapan bagi para calon pendeta Gereja Toraja. Yang kedua, mempersiapkan dan menyelenggarakan berbagai pembinaan, seminar dan pelatihan bagi para pendeta Gereja Toraja. 

Tahun 2010 Ery terpilih oleh Central Committee CCA menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Se-Asia yang berkantor di Chiang Mai, Thailand. Saat ditanyakan bagaimana cara pandang gereja-gereja di Asia terkait kesempatan perempuan dalam menduduki jabatan-jabatan gerejawi, Ery menceritakan pengalamannya. “Secara garis besar pergumulan gereja-gereja di Asia terkait kesempatan perempuan menjadi pendetab kurang lebih sama. Ambil contoh, sewaktu saya mulai berkarya di CCA sebagai wakil Sekjen, gereja-gereja di Korea belum mengakui keimaman seorang perempuan. Karenanya ketika saya berkunjung ke Korea, saya mencoba membagikan bagaimana perempuan dengan talenta yang berbeda dengan pria dapat saling melengkapi dalam pelayanan.” 

Selanjutnya, Ery kemudian dipilih sebagai salah seorang Anggota Central Committee World Council of Churches, WCC atau Dewan Gereja-gereja Sedunia pada Sidang Raya WCC tahun 2013 di Busan, Korea Selatan. Dari antara Anggota Central Committee Periode 2013 – 2021, Ery dipilih menjadi Anggota Executive Committee WCC (2013 – 2017) yang berkantor di Jenewa, Swiss.

Menjadi Ketua Umum PGI 

Pada Sidang Raya PGI di Nias November 2014, Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat – Lebang terpilih sebagai Ketua Umum PGI untuk periode 2014 – 2019. Pdt. Ery merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua Umum PGI. Sebelumnya Ketua Umum selalu kaum pria. Pada saat itu Pdt. Ery Lebang masih menjabat sebagai Sekjen CCA. “Tentu saja situasi tersebut memerlukan masa transisi. Namun, saya meyakini bahwa hampir rata-rata yang menjabat sebagai seorang pimpinan gereja atau lembaga gerejawi nasional merupakan orang-orang yang sibuk dan dipercaya di berbagai jabatan. Jadi proses transisi merupakan proses yang alamiah,”katanya. 

Saat ditanyakan tantangan yang dihadapi sebagai Ketua PGI terutama adalah bagaimana gereja-gereja di Indonesia saling menghargai satu sama lain. “Saling mengenal dan menghargai dalam gerakan oikumene merupakan faktor yang sangat penting,”katanya. “Gereja-gereja di Indonesia semestinya menyadari bahwa mereka adalah satu tubuh Kristus yang harusnya saling memperhatikan, saling peduli dan bersama-sama mewujudkan misi Allah di tengah dunia.”

“Kita perlu terus berdoa agar Roh Kristus mentransformasi pemikiran lama gereja-gereja, agar meskipun beraneka cara pandang teologisnya, cara beribadahnya, beda budayanya namun kita adalah satu dan bisa saling bekerja sama,”tegasnya. “Hal itu hanya bisa terjadi kalau gereja-gereja di Indonesia memiliki relasi yang baik, memiliki rasa saling percaya dan saling menghargai. 

Lebih lanjut, Pdt. Ery menegaskan daripada impian menjadi satu secara organisatoris, gereja-gereja perlu lebih mengedapankan untuk menjadi satu visi dan satu action. “Bagaimana aksi bersama dan kesaksian bersama di tengah bangsa yang majemuk ini lebih penting daripada sekadar memaksakan gereja harus menjadi satu secara organisasi. Kita tidak perlu memungkiri bahwa kita memiliki perbedaan dan kepelbagaian yang saling memperkaya,”terangnya. 

Pada Sidang Raya PGI di Sumba November 2019, ia terpilih menjadi Ketua Majelis Pertimbangan PGI periode 2019 – 2024.  Dalam posisi – posisi pelayanan yang diembannya, Ery tercatat sebagai perempuan pertama yang dipercayakan mengangkat jabatan-jabatan pelayanan tersebut. Di bawah kepemimpinannya, namanya tercatat sebagai tokoh nasional Kristen yang mengedepankan ruang toleransi antar umat beragama.

Menjadi Ketua Umum LAI

Awal 2021, ketika dicalonkan untuk bergabung dengan LAI, Pdt. Ery Lebang menjawab,”Saya akan menggumulkannya. Kalau ini memang panggilan Tuhan, saya akan terima dan lakukan sebaik mungkin.”

Mengerjakan segala sesuatu dengan sebaik mungkin, seteliti mungkin, semaksimal mungkin seperti sudah menjadi karakter Ibu Ery. Bagi Pdt. Ery pelayanan adalah mempersembahkan keseluruhan hidup kita kepada Kristus. Karenanya, pelayanan menurut beliau tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. 

Pada sisi lain, Ery memaknai dirinya sebagai hamba Tuhan, karena itu dalam berkarya ia percaya akan campur tangan Allah mengarahkan hidupnya dalam tugas – tugas yang dipercayakan kepadanya. Satu hal yang menjadi prinsipnya bahwa ia tidak pernah mempromosikan dirinya untuk maju dalam jabatan yang dia emban. 

Dalam pelayanan penyebaran Kabar Baik, menurut Ibu Ery, saling mengenal antara gereja dan umat Tuhan dengan LAI sangat penting. “Semua gereja menggunakan Alkitab terbitan LAI, tetapi belum semuanya mengenal dan bermitra dengan LAI,”terangnya. Dengan saling mengenal akan semakin tumbuh kerja sama dan kemitraan antara gereja dan LAI. Beliau mengambil contoh, Program Satu Dalam Kasih, yang menjembatani gereja-gereja yang memiliki kemampuan untuk membantu gereja-gereja di daerah terpencil dan pelosok yang membutuhkan Alkitab. 

Pdt. Ery menjabat sebagai Ketua LAI, dalam situasi yang tidak mudah. Pandemi belum berakhir, sementara tahun-tahun belakangan terjadi transisi yang sangat cepat, peralihan dari era cetak menuju era digital. Menghadapi tantangan ini, beliau lebih memilih untuk bersikap optimis. 

“Orang mengatakan dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan digital, media cetak segera punah. Namun, sampai hari ini kita melihat masih banyak orang yang memilih dan terikat menggunakan Alkitab cetak. Lebih lagi bagi mereka yang tinggal di pelosok dan pedalaman, di daerah-daerah yang mengalami kesulitan sinyal, Alkitab cetak masih menjadi pilihan utama,”katanya. 

“Saya percaya bahwa Tuhan mengarahkan sejarah. Saya yakin Tuhan memberikan tantangan untuk setiap era tertentu dengan solusinya masing-masing. Yang utama adalah kemampuan kita untuk berinovasi dan menjawab tantangan agar firman Tuhan mudah diakses dan semakin banyak tersebar ke seluruh Indonesia,”pungkasnya.