Pdt. Joas Adiprasetya: Mengembara Merengkuh Kerapuhan

Pdt. Joas Adiprasetya: Mengembara Merengkuh Kerapuhan

 

Pdt. Prof. Dr. Joas Adiprasetya siapa yang tidak mengenalnya? Beliau adalah dosen penuh waktu dan sekaligus Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta, Pembina Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia, Pendeta Jemaat di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Indah, penulis buku best seller “Labirin Kehidupan”, dan pembicara di berbagai seminar (kini webinar). Ketik namanya di Google, maka akan langsung nongol biodata dan foto dirinya. 

Apa yang mendorong pria kelahiran Madiun, 8 Januari 1970 ini untuk memilih panggilan sebagai pendeta? Apakah kebetulan karena ayahnya juga seorang pendeta? “ Sebenarnya tidak ada keharusan seperti itu di dalam keluarga kami. Malahan anak pendeta biasanya nakal-nakal,”tuturnya sambil tertawa. “Makanya jarang ada anak pendeta yang mengikuti jejak orang tuanya menjadi pendeta. Malahan kami sering disebut anak setan, karena kenakalan kami.”

Namun, secara pribadi Joas mengakui figur ayahnya memiliki pengaruh cukup signifikan dalam pembentukan panggilannya sebagai pendeta. Di waktu kecil ia sering diajak menemani ayahnya dalam tugas pelayanan. Maka Joas pun mulai melihat keseharian pelayanan seorang pendeta. Ada dorongan mengikuti jejak sang ayah. 

Pdt. Daud Adiprasetya, ayahnya punya banyak koleksi buku. Sejak kecil Joas suka membaca buku. “Saya itu hobinya ndeprok (duduk di lantai) di bawah rak bukunya Papi saya. Sebagai seorang pendeta, beliau memiliki buku-buku yang cukup banyak,” katanya. Joas kecil membaca beragam buku bukan hanya bacaan rohani atau teologi, namun juga cerita-cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan juga Alkitab. 

“Bagi saya pribadi Alkitab bukan hanya penting. Namun, teramat penting! Alkitab mempertautkan gereja pada masa kini dengan Allah dan umat-Nya sejak ribuan tahun silam. Dengan mencintai Alkitab kita mempercayai bahwa Allah yang bekerja bagi umat-Nya dulu, sebagaimana terekam dalam Alkitab adalah Allah yang masih terus bekerja pada masa kini melalui Anak-Nya di dalam Roh Kudus. Saya tak pernah bisa membayangkan jika peran Alkitab disingkirkan dalam kehidupan gereja; maka gereja itu siap untuk segera mati,”terangnya. 

Sebagai seorang pendeta, ayahnya mengalami enam kali berpindah tempat pelayanan sebelum memasuki masa emeritus. Dari Solo, Ambarawa, Madiun, Malang, Yogyakarta dan kembali lagi ke Solo. Selepas emeritus, papinya juga sempat melayani di Kediri. Ayahnya memang tidak bisa berpangku tangan dan selalu ingin menolong jemaat-jemaat yang tidak memiliki pendeta.  

“Seringnya berpindah kota membentu spiritualitas saya, sebagai pribadi yang sangat fluid, tidak terlalu suka diam, mudah beradaptasi dan senang mengembara atau berpindah-pindah.Demikian juga saya menghayati hidup kristiani saya yang tidak pernah berada dalam comfort zone. Suka mencoba hal-hal baru. Pengalaman masa lalu tersebut mmbentuk cara berpikir saya. Termasuk ketika saya sendiri sudah berkeluarga, dan meskipun wilayah pelayanan saya hanya di GKI Pondok Indah, namun kami juga mengalami pindah-pindah rumah, dan bahkan pindah negara ketika saya melanjutkan studi,”terang Joas.  

Masuk STT karena coba-coba

Memasuki usia remaja, cita-cita Joas sempat berubah. Ia berkeinginan menjadi seorang psikolog. Bahkan lulus SMA, Joas mengikuti ujian saringan masuk Fakultas Psikologi UGM. Ia lulus dan diterima masuk Fakultas Psikologi di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. 

Namun, suatu siang di atas meja makan rumahnya Joas melihat  lembar formulir pendaftaran STT Jakarta. Waktu itu keluarganya tinggal di Yogyakarta. Saya sudah di terima di UGM. Tapi pada satu siang gitu di meja makan itu ada tergeletak di meja itu formulir pendaftaran STT Jakarta. Ia tertarik untuk membacanya. Yang muncul di benaknya pada waktu itu adalah keinginan berlibur ke Jakarta. Apa alasan yang paling pas? Tentu saja mendaftar ke STT Jakarta. 

“Saya main-main saja waktu itu. Niat utama saya jalan-jalan. Saya ikuti tes masuk di STT Jakarta. Ternyata saya lulus dan diterima. Di situlah saya baru merasa bingung,”katanya. Sempat ia berpikir, merenung dan bergumul mengambil keputusan. “Meskipun sempat bingung saya putuskan melanjutkan pendidikan ke STT Jakarta. Yang sedikit berat hanyalah meninggalkan pacar saya karena ia berkuliah di UGM,’’katanya. 

Pada titik ini Joas menyadari panggilan Tuhan hadir melalui berbagai cara. Bisa melalui pergumulan batin, bisa lewat kesadaran untuk mengembangkan kemampuan yang Tuhan berikan. Bahkan bisa melalui percakapan dengan orang-orang di sekitar kita. 

Sebuah Kebetulan

Kuliah di STT Jakarta boleh dikatakan dijalani Joas dengan lancar. Bahkan dirinya boleh dikatakan salah satu mahasiswa berprestasi, karena sedari tingkat empat sudah diarahkan untuk menjadi calon pengajar di almamaternya tersebut. Bahkan belum juga ia menyelesaikan kuliah, ia dipinang GKI Pondok Indah, meskipun peristiwanya seperti sebuah kebetulan.  

Waktu itu Joas sudah duduk di tingkat lima dan sedang mempersiapkan skripsi. Suatu sore ia sedang mandi di asrama. Datanglah Pdt. Agus Susanto yang sedang mencari pengkhotbah untuk acara retret jemaat GKI Pondok Indah. 

“Yang beliau cari sebenarnya adalah mahasiswa S2 yang memang tinggal satu kompleks dengan kami. Namun mahasiswa S2 tidak bisa karena ada kesibukan, saya yang baru keluar dari kamar mandi ditunjuk oleh rekan S2 tersebut. Sudah Joas saja kata rekan tersebut. Saya jawab asal saja mulanya:iya deh,”katanya. 

Joas sebenarnya tidak paham jika ia diminta untuk memimpin retret jemaat GKI Pondok Indah. Mau menolak pun tidak enak, karena sudah telanjur mengiyakan. Ternyata warga jemaat puas dengan pelayanan yang dibawakannya. Tidak menunggu lama, GKI Pondok Indah menawarinya bekerja di sana sebagai tenaga kategorial remaja dan pemuda sambil menyelesaikan skripsi. Sebuah tawaran yang disambut terbuka oleh Joas. 

“Itulah perkenalan pertama saya dengan GKI Pondok Indah, sebuah gereja yang terbuka, progresif, sangat apresiatif dan saya sangat menikmati hal tersebut,”tuturnya. 

Ketika GKI Pondok Indah ingin meningkatkan statusnya dari tenaga kategorial menjadi calon pendeta, Joas menjelaskan bahwa ia sudah diarahkan oleh STT Jakarta untuk menjadi calon pengajar. Namun, ternyata GKI Pondok Indah tidak mempermasalahkannya. Maka berlanjutlah proses persiapan di dua tempat, sebagai calon dosen di STT Jakarta dan calon pendeta di GKI Pondok Indah. 

Mengagumi Pak Eka

Di STT Jakarta (kini STFT Jakarta)  mulanya Joas diarahkan untuk menjadi calon dosen Etika. Setelah menyelesaikan studi S2, ia melanjutkan studi ke School of Theology, Boston University, Amerika Serikat. “Awalnya saya diminta menjadi calon pengajar etika. Studi magister saya tentang etika. Namun, sampai di Boston dosen etika yang semestinya saya jadikan pembimbing sudah pensiun. Saya terpaksa berganti pembimbing, dan saya memilih pembimbing yang mukanya mirip-mirip Dumbledore di Hary Potter. Maka kemudian saya memilih belajar Teologi Sistematika. 

Sebagai orang yang mendalami etika kristiani, Joas begitu mengagumi sosok almarhum Pdt. Dr. Eka Darmaputera, salah satu teolog besar tanah air. “Saya terpesona dengan Pak Eka terutama karena integritasnya. Ia selalu merespon dan menanggapi sesuatu dengan tenang, kalem dan penuh kedalaman,”tuturnya.

Selain itu ada dua lagi yang ia kagumi dari sosok Eka Darmaputera. “Pertama adalah spiritualitas Pak Eka. Pak Eka memiliki spiritualitas yang ugahari, sangat sederhana, simple dan tidak merindukan hal-hal yang spektakuler. Allah dihayati oleh Pak Eka hadir dengan cara yang sangat sederhana. Pada saat berjuang melawan kematian, ia tidak menuntut Allah untuk menyembuhkan,”tuturnya lebih lanjut.” 

“Yang kedua fleksibilitas dalam berteologi. Dia sangat sadar bahwa teologi itu harus siap untuk di koreksi dan revisi. Dan dia bersedia mengkoreksi sendiri teologinya jika dirasa tidak tepat. Menurut saya itu adalah modal paling penting bagi semua teolog. Jadi tidak boleh merasa paling benar dan selalu benar,”katanya.  

Pengajar Teologi Konstruktif 

Sepulang dari Boston, Pdt. Joas mengajar Teologi Sistematika dan kemudian Teologi Konstruktif di almamaternya, STFT Jakarta. Apa itu Teologi Konstruktif? 

“Teologi konstruktif merupakan perkembangan mutakhir dari ilmu yang dulu disebut dengan dogmatika, yaitu sebuah ilmu yang membicarakan dan mendalami tema-tema ajaran iman Kristen yang utama. Misalnya penciptaan, dosa, keselamatan, Allah dan sebagainya. Dogmatika berkembang menjadi teologi sistematika. Di dalam dogmatika yang diutamakan adalah penurunalihan kebenaran. Ajaran iman Kristen yang utama tidak boleh meleset diajarkan dan jangan diselewengkan, demikian dogmatika,”katanya. 

“Sementara teologi sistematika itu bukan soal ajarannya yang diturunkan, tapi suatu pemahaman tentang ajaran itu menjadi benar dalam relasinya dengan yang lain. Jadi kalau ada orang yang mengatakan sesuatu itu bener atau tidak, acuannya adalah ditempatkan dalam konteks ajaran-ajaran yang lain dan menjadi sebuah sistem,”tuturnya lebih lanjut. 

“Teologi  konstrutif yang diajarkan di STFT Jakarta itu justru ajaran kuno yang harus dibahasakan ulang secara baru, direkonstruksi kembali secara terus menerus. Di sini ada ketegangan antara ajaran yang dipertahankan atau yang harus diperbarui. Gak semua harus diperbarui, karena malah bisa sangat melenceng dari ajaran mula-mula. Sebuah ajaran dikatakan benar artinya dipercaya orang Kristen sepanjang abad dan kemudian bagaikan karya seni, dihadirkan terus menerus secara baru tanpa kehilangan keasliannya,”terangnya. 

“Pada titik ini saya cukup kristis terhadap dengan apa yg dinamakan dengan teologi kontekstual. Karena teologi kontekstual ini seringkali justru mulai muncul dari konteks. Seolah-olah konteks ini yang paling dominan lalu teks Kristen itu seperti imbuhan. Hal itu saya tolak. Teks Kristen itulah yang seharusnya menjadi komposisi atau  unsur utama bukan pernak-pernik tambahannya,”tuturnya penuh semangat. 

Labirin Kehidupan dan Pandemi Covid

Saat membaca buku Pak Joas: Labirin Kehidupan 1 dan Labirin Kehidupan 2, kita seperti melihat visi beliau tentang pandemi. Kedua buku tersebut diterbitkan sebelum terjadinya pandemi, namun inspirasi-inspirasi di dalamnya seperti memandu para pembaca bagaimana berselancar dan beradaptasi menghadapi pandemi dan situasi yang serba tidak pasti. Di dalam buku itu ditulis berbagai hal seperti: hidup ugahari, menikmati hidup setiap hari secara biasa, spiritualitas ketabahan, ajakan untuk hidup melambat (slowing down), menyentuh dan merengkuh dan masih banyak tema lainnya. Bukunya seperti disiapkan khusus sebagai panduan spiritualitas di era pandemi. 

Padahal awalnya buku itu dibuat sebagai kritik Pak Joas atas pandangan beberapa teolog Kristen. “Saya tidak suka dengan cara memberitakan Injil yang membuat orang harus seperti manusia super, wow, luar biasa, penuh mujizat dan spektakuler. Spiritualitas baginya bisa dijumpai dalam hal-hal yang biasa-biasa saja, yang sederhana, yang rutin ditemui hari demi hari. Yang ia lihat dari opa, oma, ibunya, dan banyak orang yang ditemuinya dalam peziarahan kehidupan. 

Istilah labirin muncul karena Pak Joas menghayati kehidupan sebagai sebuah pengembaraan yang tak pernah usai. Hidup terus berjalan, dan  perjalanan itu dialami bersama dengan orang-orang terdekat maupun dalam perjumpaan dengan orang-orang asing. Labirin menggambarkan kehidupan orang percaya sebagai komunitas peziarah, yang bermakna justru ketika dijalani dengan setia, selangkah demi selangkah, dari detik ke detik. 

Saat ditanyakan pandangannya tentang situasi akibat pandemi Covid-19, menurut Pak Joas, yang paling mengkhawatirkan sesungguhnya bukan serangan pandemi, namun periode paska pandemi. “Kalau kita belajar dari sejarah pandemi Black Death di Eropa, yang terjadi sekitar abad ke-14, buntutnya terasa hampir empat abad. Sampai reformasi kemudian muncul dan mengubah wajah gereja secara luar biasa. Saya mengusulkan sebuah model gereja yang proflektif. Profleksi berbeda dari refleksi. Refleksi artinya kita melihat ke belakang untuk mengambil keputusan di masa kini. Proflektif merupakan cara memandang realitas ke masa depan dengan menyadari bahwa di depan kita terdapat yang lain di dalam kerapuhan mereka.” 

Pandemi ini menurut Pdt. Joas telah memaksa kita untuk hidup bagaikan berjalan di dalam kabut pekat. Masa depan tidak dapat lagi dilihat dengan jarak yang jauh. Ketidakmampuan kita melihat masa depan terlalu jauh menampilkan sisi kerapuhan kita. Kita hanya bisa menjalani setapak demi setapak, selangkah demi selangkah. 

“Kita kini hidup di era sulit di mana tidak ada guideline, tidak ada peta, tidak ada GPS yang bisa kita andalkan,”kata Pak Joas. “Tidak masalah yang penting jalan terus, kadang kita terjatuh kemudian bangkit kembali,kadang tersesat kita mundur lagi,”lanjutnya. 

Ini spiritualitas yg pindah2 ini berpengaruh bahwa gereja itu berjalan terus pelan-pelan, kadang jatuh bangkit lagi, kadang tersesat mundur lagi. Cari jalan terus untuk bertahan hidup, tapi kemudian di tengah jalan itu pasti akan ketemu orang-orang yg menderita dan tolonglah, bantulah. Nyatakan cinta Tuhan. Nah itu yg saya sebut proflektif. Itu yg saya usulkan dalam pidato pengukuhan guru besar. 

Dalam perjalanan, pengembaraan itu, menurut Pak Joas kita akan berjumpa dengan sesama yang lain, yang juga merapuh akibat pandemi tersebut. Saat gereja ataupun umat Tuhan yang berjalan pelahan, merapuh, berjumpa dengan mereka yang juga merapuh dan menderita, gereja dipanggil untuk menolong dan menopang, menyatakan cinta kasih Tuhan.

Berjalan pelan selangkah demi selangkah melintasi lapisan kabut pandemi membuat Pak Joas menyadari bahwa setiap hari sekarang ini bagaikan hari kematian. Kita berada dalam bayang-bayang Allah dan dikepung sekaligus oleh bayang-bayang kematian. Maka lebih baik jika gereja fokus mengerjakan apa yang di depan mata dan tidak perlu berpikir terlalu jauh ke depan seperti halnya manajemen duniawi. 

“Saya menolak pandangan, bahwa sebuah gereja seharusnya membuat visi jangka ataupun jangka menengah agar langkahnya tertata. Saya menolaknya terlebih di masa pandemi. Berpikir terlalu jauh pada saat ini tidak realistis karena perubahan radikal yang terjadi hampir setiap hari. Misal, kita berbicara visi GKI Pondok Indah 2020-2030. Jangankan sepuluh tahun, satu tahun ke depan saja kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini membuat gereja berkesan harus selalu belajar dari dunia bisnis. Kita lebih banyak digarami oleh bisnis. Padahal kita lihat sekarang semua bisnis hancur. Banyak orang mengatakan rencana jangka panjang itu dalam rangka membentuk gereja berbasis visi. Lalu saya katakan tidak. Visi gereja hanya satu, yaitu Kerajaan Allah. Misi kita pun hanya satu, misi kerajaan Allah. Setiap langkah yang kita ambil semestinya berbasis virtue(kebajikan). Butir-butir kebajikan inilah yang kita bawa sebagai teman kembara menuju masa depan yang mendorong kita untuk merespon situasi dengan penuh iman, pengharapan dan cinta kasih.” 

Pak Joas belajar banyak hal bagaimana bersikap menghadapi pandemi justru dari jemaatnya sendiri, GKI Pondok Indah. Yang segera beradaptasi dengan menutup peribadahan pada masa-masa awal pandemi. Sebuah keberanian yang kemudian disusul banyak gereja lain. Kini GKI Pondok Indah juga mengubah cara menggerejanya dengan tidak lagi bersandar pada struktur lama, namun agar lebih lincah membentuk Tim Gugus Tugas (TGT) yang lebih bersifat praksis dan aksi nyata. Misal aksi dukungan ekonomi maupun menampung mereka yang menjalani isolasi mandiri (isoman). 

“Sudah lebih dari setahun GKI Pondok Indah melayani penampungan isoman,”katanya.”Kami menempatkan mereka yang isoman di Graha Persahabatan, di sebelah gedung gereja. Tadinya bangunan tersebut mau kami fungsikan untuk community center, tetapi karena pandemi gedung tutup dan kami alihfungsikan sebagai penampungan.” 

Pak Joas dengan tegas menyatakan gereja semestinya merevisi cara bergeraknya dan kembali bertanya apa yang sesungguhnya menjadikan dirinya gereja. Gereja harus merumuskan kembali apa yang  “must have”, artinya tidak boleh tidak, harus ada. Kalau ini tidak ada faktor ini berarti bukan gereja. Misalnya: panggilan untuk bersekutu dan beribadah, bersaksi dan melayani, harus ada karena kalau hanya kumpulan manusia tidak ada bedanya dengan Night Club. Lalu yang kedua Should Have, yaitu sebaiknya ada. Sebab untuk menjadi gereja yang sehat ini ciri harus ada. Nah yang ketiga ini  must to have, sesuatu yang semestinya tidak perlu dibuat lagi, atau lebih praktis dihapus. 

Mencintai-Mu dengan sederhana

Kadang orang memandang seorang teolog sebagai sosok yang merumitkan masalah sederhana, berpikir kompleks, namun Pdt. Joas malahan punya mimpi: mencintai Allah dan sesama dengan sederhana, seperti mengutip pernyataan penyair Sapardi Joko Damono dalam Hujan Bulan Juni: aku ingin mencintaimu dengan sederhana

“Saya percaya dengan menjadi pendeta, panggilan utama saya untuk hidup bermakna bagi umat Allah dapat dihidupi secara penuh. Dalam perjalanan menghidupi panggilan itu, akhirnya saya melihat bahwa sangat jarang orang mendedikasikan diri menjadi dosen teologi, sebab banyak sekali yang harus diperjuangkan, dipersiapkan, dan ditempuh untuk menjadi seorang dosen. Misalnya, harus belajar lebih lama. Namun, akhirnya saya menemukan bahwa panggilan saya adalah menjembatani gereja dan pendidikan teologi. Saya ingin berada di dalam sekaligus di antara ecclesia dan academia,”terangnya.

“Setiap panggilan hidup pasti memiliki tantangan. Bagi saya ada dua tantangan terbesar dalam melaksanakan panggilan di atas. Pertama, di satu sisi, bagaimana menjadikan teologi menarik, mengasyikkan, sederhana dan fun bagi warga jemaat. Teologi ternyata bukan ilmu yang angker dan menakutkan, melainkan menggairahkan. Kedua, di sisi lain, bagaimana menarik atau mendorong anggota jemaat untuk mau berpikir secara teologis. Saya melihat warga jemaat kerap hanya menghidupi kekeristenan mereka tanpa refleksi yang mendalam secara teologis. Jadi, yang pertama lebih membawa academia ke ecclesia, sementara yang kedua lebih membawa ecclesia ke academia,”tuturnya lagi.  

Menurut Pdt. Joas, pendeta Indonesia yang melayani di zaman sekarang mesti berani menghadapi tantangan pelayanan zaman now. “Yang paling saya khawatirkan dengan menjadi pendeta di gereja-gereja di Indonesia adalah bahwa para pendeta berhenti berteologi dan bergeser perannya sekadar menjadi tukang. Tukang khotbah, tukang doa, tukang ngubur, tukang rapat, dan sebagainya. Artinya, mereka selesai dalam ziarah pendalaman teologis, bahkan rampung dalam pertumbuhan spiritual mereka, dan sekadar menjalankan tugas kependetaan yang rutin. Dalam hal ini, lembaga-lembaga seperti STT dan LAI bisa mengambil peran sangat sentral untuk terus mendorong para pendeta untuk berkembang dan bertumbuh,”jelasnya.

Pesan bagi generasi muda

Pdt. Joas secara khusus juga ingin menyemangati kaum muda yang juga terdampak oleh pandemi. “Menurut saya, pandemi membawa kaum muda berhadapan dengan ketidakpastian yang luar biasa. Dan itu memunculkan banyak permasalahan mental yang sukar untuk dihadapi. Misalnya kekhawatian, depresi dan sebagainya. Banyak anak-anak muda yang bahkan berniat untuk bunuh diri dan lain sebagainya,”katanya. 

“Sebagai sesama insan, saya hanya menyarankan rengkuhlah kerapuhan anda sebagai manusia itu, yang  tidak perlu merasa  semua hal di dalam hidup ini baik-baik saja. It’s ok to not be ok. Sebab Sang Firman yang dipersaksikan oleh Kitab Suci itu selalu menemani perjalanan dan pengembaraan Anda. Bacalah terus Kitab Suci sebagai tanda cinta dari Tuhan. Dan jalani saja hidup ini pelan-pelan dengan keyakinan ada Sahabat yang senantiasa menemani kerapuhan kita.”