Pdt. Olly E. Mesach: Kristus Hidup Nyata dan Ada di Dekat Saya

Pdt. Olly E. Mesach: Kristus Hidup Nyata dan Ada di Dekat Saya

 

Olly Euodia Mesach lahir di Semarang, 17 Maret 1938. Dari kecil, Olly  sudah dikenalkan  orang tuanya dengan cerita-cerita Alkitab. Papanya seorang guru Sekolah Minggu yang mengoleksi banyak buku-buku cerita bergambar. Nantinya sang papa memutuskan untuk menjadi pendeta dan melayani sebagai hamba Tuhan sepenuh waktu. Jiwa pelayanan dan ketekunan dari orang tuanya agaknya menurun kepada Olly.

Pada usia dua tahun, ketika belum bisa membaca, Olly sudah biasa memegang Alkitab terjemahan dalam bahasa Belanda. Ia juga terbiasa menyanyikan berbagai lagu “Mazmur dan Nyanyian Rohani” dalam bahasa Belanda. Pada usia 9 tahun Olly  mendapatkan hadiah buku “Mary Jones”. Isinya tentang gadis kecil di Inggris pada abad ke-18 yang begitu rindu memiliki Alkitab. Di Inggris pada masa itu Alkitab masih langka dan harganya sangat mahal. Mary Jones menabung bertahun-tahun dan akhirnya harus berjalan kaki puluhan kilo meter dari rumahnya untuk membeli Alkitab. Kisah perjuangan Mary Jones menginspirasi berdirinya Lembaga Alkitab Inggris dan juga lembaga-lembaga Alkitab lain di seluruh dunia. Yang pasti, kisah Mary Jones menginspirasi Olly untuk mencintai Alkitab dan merenungkannya siang dan malam.

Menginjak masa remaja, Olly semakin rajin membaca Alkitab dan terlibat berbagai pelayanan di gerejanya. Terbersit dalam hatinya untuk melayani Tuhan sepenuh waktu sebagai pendeta. Pendeta Gereja Isa Almasih waktu itu, Alm. Tan Hok Tjoan, menyarankan Olly untuk berdoa dan mencari kehendak Tuhan. Di masa remaja tersebut, Olly rajin mengikuti berbagai Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang sering diselenggarakan di kotanya. Saat altar call, ia sering kali maju dan berharap mendapatkan jawaban pasti untuk menjadi hamba Tuhan. Herannya segala kesibukan rohaninya tersebut tidak pernah mengganggu sekolahnya. Olly memang seorang yang suka belajar dan ingin tahu banyak hal. Orang tuanya yang berjiwa pendidik senantiasa menanggapi dengan baik segala keingintahuannya.

Berhasrat untuk melayani sepenuh waktu, Tuhan malah mengarahkan Olly untuk mengambil studi kedokteran. Ia mencoba mendaftar di tiga perguruan tinggi terbaik: Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga, dan Universitas  Gajah Mada (UGM).  Luar biasanya, ketiga perguruan tinggi tersebut menerima Olly sebagai mahasiswa baru angkatan 1956. Pendetanya menyarankan agar mengambil kuliah di perguruan tinggi pertama yang memberikan panggilan.

Maka Olly pun berangkat menuju Jakarta untuk berkuliah di Fakultas Kedokteran UI. Di Jakarta. Olly mulanya tinggal di rumah  seorang keluarganya. Sebagai orang yang mencintai pelayanan, selain kuliah ia aktif mengajar Sekolah Minggu di Gereja Bethel Petamburan. Olly juga membantu pelayanan Pdt. H. L. Senduk dan menjadi anak rohaninya.

Saat menjalani kuliah di UI tersebut, Olly bertemu dengan seorang pria yang nantinya akan menjadi suaminya, Stephanus Jonathan Mesach. Saat itu, Mesach belum menjadi seorang percaya. Dirinya masih mencari pegangan hidup sejati. Sampai suatu saat Mesach menerima Kristus setelah dibina dan dibimbing oleh Pdt H. L. Senduk. Panggilan sebagai hamba Tuhan membuat Mesach meninggalkan kuliah kedokteran dan masuk Sekolah Penginjil Bethel di Jakarta. Olly sendiri tetap menjalani kuliah kedokteran hingga lulus. Aktif di gereja dan sibuk dalam kuliah, Olly masih menyempatkan diri ikut serta dalam kelompok Bible Study, bersama rekan-rekan mahasiswa di bawah bimbingan Dr. J. Verkuyl di GKI Kwitang.

Selepas kuliah, hati Olly terus berkobar-kobar dalam semangat pelayanan. Ia dilibatkan dalam berbagai kegiatan gereja di gereja. Bahkan ia sempat punya impian, selepas kuliah bisa diterjunkan dalam pelayanan di Papua. “Waktu itu eranya pembebasan Irian Barat. Banyak teman-teman kuliah saya yang diterjunkan di sana,” kenangnya. “Tadinya saya berharap dikirim ke sana melalui UNTEA (Badan PBB yang mengurus permasalahan Papua Barat). Namun, pendaftaran ternyata sudah ditutup dan saya kemudian ditempatkan di Sukabumi.”

Selanjutnya sambil bekerja di Dinas Kesehatan Kota Sukabumi, Olly mendampingi suaminya merintis dan melayani  di Gereja Bethel di Sukabumi. Setelah 10 tahun melayani di Sukabumi,  Olly berkarya di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Ia mendapat tugas sebagai pimpinan Bidang Keluarga Bertanggung jawab/Berencana dan Kesehatan Masyarakat. Ia pernah ikut serta dalam kelompok kerja yang membahas materi “Family Life Education” untuk Sidang Raya  Dewan Gereja Sedunia (WCC) di Nairobi. Dengan demikian, ia meluaskan pergaulannya dengan banyak saudara seiman dari berbagai denominasi. Ia juga hadir dalam Konferensi Penginjilan sedunia, yang diselenggarakan Juli 1974 di Lausanne, Swiss. 

Dalam tugas pelayanannya di PGI, Ibu Olly sering ditugaskan ke berbagai daerah, untuk mengunjungi berbagai rumah sakit dan fasilitas kesehatan Kristen. Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkannya untuk mengunjungi hamba-hamba Tuhan di daerah, melihat dari dekat kehidupan mereka, saling mendoakan, dan tak jarang mengusahakan bantuan untuk mendukung pelayanan hamba Tuhan di daerah.

“Banyak bantuan yang bagi kita mungkin tidak seberapa, seperti motor, buku dan sebagainya ternyata menjadi alat yang luar biasa bagi Tuhan untuk menarik jiwa-jiwa baru datang kepada Tuhan,” katanya.

Berkarya di PGI dan menghadiri berbagai pertemuan internasional memperluas wawasan Ibu Olly dan membuatnya paham berbagai denominasi gereja yang lain. Wawasan yang luas dan terbuka menurut Ibu Olly ditularkan oleh orang tuanya dan dibentuk sejak usia belia.  Waktu kecil dirinya bersekolah di sekolah Katolik di daerah Gedangan, Semarang. Di sekolah ia banyak menerima cerita dan pembelajaran-pembelajaran katekismus .

Saat bersekolah, ayahnya yang adalah seorang pendeta Pantekosta, pernah berpesan, ”Kalau suatu kali merasa tawar hati, cobalah masuk ke kapel dan ikuti jalan salib.” Pesan itu diikutinya. Ia acap kali datang sendirian ke kapel dengan penuh semangat. Seperti halnya suster, Olly mengikuti perlahan jalan salib. Belum sampai stasi terakhir selesai, ia sudah dibuat bertetesan air mata, mengingat pengorbanan dan penderitaan yang dialami Tuhan Yesus bagi manusia berdosa. 

“Jadi memang, saya belajar dan mendalami pengajaran Kitab Suci melalui berbagai sumber, baik formal maupun non formal. Wawasan yang saya terima dari berbagai tempat itu dikuatkan oleh api pelayanan yang saya peroleh dari latar belakang Pentakosta dan Reformasi. Betapa luar biasanya jika kedua hal tersebut digabungkan. Wawasan yang luas dan terbuka, dikuatkan oleh semangat pelayanan yang berkobar-kobar. Keduanya saling melengkapi,” katanya.

Ibu Olly sedari muda begitu tekun dan disiplin dengan waktu doa dan saat teduhnya. Ia selalu ingin bangun pagi-pagi atau minta dibangunkan jika ia belum bangun. “Kadang-kadang ketika badan saya merasa letih, saya tidur lelap. Namun, saat pagi hari seperti ada dorongan untuk bangun,” katanya. “Dalam kedekatan dengan Kristus, seperti ada keinginan untuk saling bertemu. Bagi saya Kristus hidup dan nyata ada di dekat saya,” lanjutnya. Berdoa baginya bukan sekadar mengajukan banyak permohonan kepada Tuhan. Yang seharusnya diutamakan dalam doa menurutnya adalah memuliakan nama Tuhan, seperti yang tercermin dalam Doa Bapa Kami. 

Banyak pengalaman rohani maupun berkat-berkat menakjubkan ia alami ketika dirinya bergaul akrab dengan Tuhan. Kadang kala dalam masa-masa khawatir, Ibu Olly merasa ada wajah Tuhan yang hadir menenangkannya. “Saya susah menceritakannya, karena bagi orang lain mungkin akan dianggap aneh, namun saya merasa kedekatan saya dengan Kristus nyata,” terangnya. 

Ada berbagai pengalaman doa yang luar biasa. Satu di antaranya ia alami ketika berada di kampus Billy Graham. Saat ia menaikkan doa pagi, ia mendengar suara “Mongolia…, Mongolia…, Mongolia...”  Ia tidak memahami apa arti suara tersebut. Sampai suatu ketika ia menceritakan pengalamannya kepada seorang hamba Tuhan, yaitu Pdt. Yosia Abdi Saputra. Ia mendapat peneguhan kalau Tuhan hendak mengutusnya ke Mongolia. “Untuk apa Tunan mengutus saya ke Mongolia?” pikirnya masih ragu. Beberapa waktu kemudian ia mendengar kabar sedang berlangsung kegiatan pekabaran Injil di Mongolia. Barulah ia sadar bahwa Tuhan memanggilnya untuk sebuah misi khusus. Beberapa rekan hamba Tuhan menghimpun dana dan berpesan agar dana tersebut dimanfaatkan untuk membeli Alkitab berbahasa Mongolia. Singkatnya Ibu Olly akhirnya tiba di Mongolia dan bertemu para misionaris. Saat Alkitab yang dibawanya  diperlihatkan, umat menyambut dengan penuh sukacita dan berebut untuk mendapatkan Alkitab. Sejak saat itu, hatinya berkobar-kobar untuk penyampaikan Alkitab ke berbagai tempat yang sulit mendapatkan Alkitab

Bagi orang yang telah menjalani pengabdian panjang seperti Ibu Olly, pelayanan dapat diartikan memberikan uluran tangan dan bantuan pada orang lain. Dalam pelayanan harus ada kasih dan ketulusan. Kasih menjadi landasan utama bagi setiap pelayan. Kasih itu  dimulai dari mengasihi diri sendiri dengan sebaik-baiknya. “Jika kita sudah bisa mengasihi diri kita sendiri, kita akan mampu mengasihi orang lain dengan tulus,”terangnya.  

Dalam kasih dan ketulusan Ibu Olly sangat mengagumi Maria, Ibu Yesus. Menurutnya Maria adalah sosok yang tidak ragu dan berani mengambil keputusan untuk menjadi seorang ibu. Di masa ketika nilai keperawanan begitu penting, Maria berani mengambil keputusan krusial. Hasilnya, kemuliaan Tuhan yang kekal datang dan turun atas seorang yang dengan rendah hati menyatakan: yes Lord.  Tokoh inspiratif yang dikaguminya di luar Alkitab dan  yang menjadi panutan rohaninya adalah Ibu Theresa, Corry ten Boom, dan Ibu Senduk. Bagi Ibu Olly, mereka sosok yang luar biasa justru karena ia bersedia  mengosongkan diri untuk menolong orang-orang miskin dan menderita.

“Pelayanan yang berdasarkan kasih itu harus  all out. Jangan pernah memberi kasih yang bekas atau kasih yang tanggung.  Berikan kasih yang terbaik untuk Tuhan Yesus,”tegasnya. “Kita seharusnya belajar dari seorang ana yang karena dorongan kasih  memberikan lima  roti dan dua ikan yang dimilikinya kepada Kristus (lih. Yoh. 6:9). Anak itu tidak pernah berhitung apa yang akan diperolehnya dari Yesus. Melayani Tuhan berarti menabur yang terbaik.

Pdt.  Olly E. Mesach, usianya kini sudah lewat dari  82 tahun. Banyak orang seusianya sudah menjauh dari berbagai kesibukan dan menikmati kehidupannya dengan lebih santai. Namun, Ibu Olly masih terus dipercaya Tuhan untuk berkarya. Meskipun fisiknya telah jauh menurun, Roh Kudus memberinya kekuatan untuk terus menjalani panggilan dan karya sebagai hamba-Nya. Melayani dengan setia sampai sumbu yang penghabisan. 

Pdt. dr. Olly E. Mesach, gembala jemaat GBI Petamburan, Jakarta. Saat ini masih menjabat sebagai anggota Komisi Komunikasi dan Pengembangan Kemitraan, LAI.