Pdt. Paulus Kariso Rumambi: Masa Depan GPIB Ada di Pedesaan!

Pdt. Paulus Kariso Rumambi: Masa Depan GPIB Ada di Pedesaan!

 

Pada Kamis, 12 Mei 2022 yang lalu telah dilangsungkan Kesepakatan Kerja Sama (KKS) dalam Kemitraan Kabar Baik antara Sinode GPIB dan Lembaga Alkitab Indonesia. Kerja sama tersebut meliputi saling mendukung dalam penerjemahan, penyebaran dan upaya pelibatan umat dengan Alkitab. LAI sebagai badan logistik gereja menyediakan apa yang dibutuhkan oleh umat melalui terbitannya, sementara gereja-gereja dapat memanfaatkan terbitan LAI tersebut dalam persekutuan, kesaksian dan pelayanan di tengah dunia. Penandatanganan Kerja Sama dilakukan di Kantor Pusat LAI. Mewakili pihak LAIKetua Umum LAI, Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang, M.A dan Sekretaris Umum Dr. Sigit Triyono.  Sementara hadir mewakili Sinode GPIB, Ketua Umum Majelis Sinode GPIB Pdt. Drs. Paulus Kariso Rumambi, M.Si dan Sekretaris Umum Pdt. Elly Dominggas Pitoy de Bell, S.Th. 

Bagi Ketua Umum Sinode GPIB, Pdt. Paulus Kariso Rumambi, LAI memiliki hubungan kedekatan secara pribadi maupun dalam kenangan keluarga. Ayahnya, Pdt. Wilhelm Johanis Rumambi, dulunya adalah tokoh Kristen nasionalis, yang merintis pendirian Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Di LAI, ayahnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum, bahkan hingga akhir hayatnya. Semasa ayahnya berkarya di LAI, lama keluarga Rumambi tinggal di Kampung Alkitab, di Jl. Ahmad Yani Bogor. Bahkan ketika Pdt. W.J. Rumambi dipercaya sebagai Menteri pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, keluarga tinggal di Kampung Alkitab bersama-sama tokoh-tokoh besar penerjemahan Alkitab Terjemahan Baru. 

 

Tidak Berminat Menjadi Pendeta

Meski orang tuanya merupakan dan tokoh Kristen nasional terkenal, tidak pernah terbayang dalam benak Paulus Kariso Rumambi untuk mengikuti jejak orang tuanya menjadi pendeta. Paulus tidak punya minat menjadi seorang pendeta karena ia menyadari dirinya merupakan sosok introvert, tidak terlalu suka tampil di tengah-tengah orang banyak. Paulus lebih suka membaca buku, merenung dan berpikir. 

Selepas bangku SMA, bulat niatnya untuk mengambil kuliah filsafat. Ia pikir filsafat cocok untuk orang seperti dirinya yang introvert. Ia pun bertanya kepada beberapa temannya, di manakah perguruan tinggi yang memiliki Jurusan Filsafat yang bagus. Seorang temannya mengatakan, di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), di Salatiga ada Jurusan Filsafat. Temannya menambahkan, Salatiga kotanya sejuk dan dingin, tidak terlalu ramai, sangat cocok untuk belajar. 

“Mendengar suasana Salatiga yang sepi, sejuk dan dingin saya langsung menyukainya. Belum tiba di sana. Karena orang introvert kan menyukai keheningan dan suka menyendiri,”tuturnya. “Meski saya lahir dan besar di Jakarta, saya tidak terlalu suka suasana Jakarta yang terlalu ramai dan padat.”

Paulus pun berangkat ke Salatiga. Sampai di Salatiga ternyata kenyataannya lain. Di UKSW tidak ada Jurusan Filsafat, yang ada Jurusan Teologi. Tapi karena di Jurusan Teologi banyak pula mata kuliah filsafatnya, maka ia pun akhirnya memilih kuliah Jurusan Teologi tersebut. 

“Saya akhirnya kuliah di UKSW mengambil fakultas teologi. Meski demikian, mata kuliah-mata kuliah yang berbau filsafat yang tetap paling saya sukai. Kebetulan hampir setiap semester banyak mata kuliah filsafat. Yang jelas saya juga menyukai udara dingin dan sejuk Kota Salatiga,”terangnya. 

Di luar kegiatannya berkuliah, Paulus hobi mengunjungi perpusataakan Fakulitas Teologi UKSW. “Saya senang mengujungi perpustakaan, karena di sana terdapat berbagai buku filsafat keluaran penerbit-penerbit Katolik. Itu menjadi kebiasaan saya ketika tingkat satu hingga akhir tingkat dua,”terangnya. “Seterusnya demikian, kebutuhan literatur paling banyak saya peroleh dari perpustakaan. Keuangan saya tidak memungkinkan untuk membeli buku-buku sendiri. Saya boleh dikatakan tidak memiliki banyak barang selama berkuliah di Salatiga.”

Begitu lulus kuliah, Paulus pun belum ada minat untuk segera mencoba melamar menjadi pendeta. Bersama beberapa rekannya para aktivis di kampus ia membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Arah pergerakan LSM ini nantinya mencetak penggerak-penggerak atau motivator pembangunan pedesaan. Beberapa dosen diminta menjadi penasihat LSM, salah satunya Supardan, M.A., dosen UKSW yang nantinya menjadi Sekretaris Umum Lembaga Alkitab Indonesia. Beberapa pihak menyatakan bersedia menjadi sponsor. Namun, apa mau dikata dua orang rekan Paulus Rumambi, yang sama-sama menjadi pendiri LSM mendapatkan beasiswa pendidikan ke Amerika. Jadi kiprah LSM penggerak pedesaan mesti tertunda pelaksanaannya. 

Kebetulan pada masa itu di kampusnya ada berbagai proyek penelitian yang dikoordinir para dosen. Mahasiswa tingkat akhir maupun para alumni yang baru lulus tak jarang ditawari untuk terlibat. Karena Paulus Rumambi dikenal sebagai aktivis kampus dan sebelumnya merupakan mantan Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), maka mudah saja baginya untuk menjalin relasi dan mencari informasi terkait proyek-proyek penelitian. 

“Yang jelas, sebagai orang yang sebelumnya hidup pas-pasan, proyek tersebut cukup berharga karena ada uangnya, maka saya berpikir saya sambar sajalah,”tuturnya sambil tertawa. 

Lalu iapun terlibat penelitian di kampus. Temanya tentang Gerakan Kharismatik di Indonesia. Pada waktu itu di Indonesia pertumbuhan Gereja-gereja Kharismatik sangat tinggi dan tersebar di berbagai kota. Penelitiannya dibimbing oleh Dr. Niko L. Kana, dosen senior UKSW yang juga anggota Dewan Riset Nasional. 

Setelah sekitar dua tahun terlibat dalam proyek-proyek penelitian di kampus, Paulus telah mengumpulkan cukup banyak uang. Ia memutuskan beristirahat sejenak ke Bali. Di sana ia menumpang tinggal di rumah seorang saudara. “Orang tua saya mengatakan masih saudara, padahal boleh dikatakan hanya berasal dari satu kampung,”katanya. 

Di Bali Paulus menikmati  budaya dan keindahan Pulau Dewata, menghabiskan uang hasil penelitian. Rupanya di Bali inilah Paulus pertama kali berjumpa dengan seorang gadis yang nantinya menjadi pendamping hidupnya. Gadis itu adalah anak tertua dari keluarga tempat ia menumpang tinggal selama di Bali. Meskipun masih gadis, dirinya merupakan anggota Majelis termuda dari GPIB Maranatha, Denpasar. 

 

Terpanggil Menjadi Pendeta

“Mengapa kamu tidak mau jadi pendeta? Bukankah ayahmu seorang pendeta?”tanyanya. Paulus diam tidak menanggapi, karena memang belum ada keinginan menjadi pendeta. 

“Kamu kan sudah lulus sekolah teologi, mengapa tidak mau menjadi pendeta?”desaknya lebih lanjut. Sejujurnya Paulus menyadari saudarinya tersebut memberikan semacam nasihat atau penggembalaan pastoral buat dirinya. 

Saat hendak pulang, naik bus ke Jakarta, saudarinya mendesak sekali lagi,”Ayo, sesampai di Jakarta buatlah curriculum vitae. Tulislah surat lamaran menjadi pendeta GPIB!” Paulus hanya tersenyum saja mendengarnya. Namun, ia mulai berpikir. Sepanjang malam dalam perjalanan di bus dari Denpasar menuju Jakarta Paulus banyak merenung. Ia mulai berpikir untuk menjalani panggilan sebagai pendeta. “Entah mengapa, beberapa saat setelah tiba di Jakarta, saya mengambil mesin tik untuk pertama kali dan mulai menyusun curriculum vitae,”kenangnya. 

Kemudian tanpa ada yang memaksa, Paulus pun akhirnya datang ke Kantor Pusat Sinode GPIB. Ia pun menyerahkan lamarannya. Tidak menunggu lama ia pun diterima berkarya di GPIB. Sebagai permulaan, ia ditempatkan di kantor sinode GPIB. Ketua Umum Majelis GPIB langsung menjadi mentornya. 

“Ternyata berkarya di kantor sinode tidak sesederhana yang saya bayangkan. Saya banyak belajar di sana, tentang organisasi, pelayanan, administrasi dan sebagainya,”tuturnya.  

Setelah beberapa lama melayani di Kantor Sinode, Paulus menyampaikan kepada mentornya bahwa ia ingin menjalani karya pelayanan di jemaat. Ia berpikir seorang calon pendeta baru bisa mengembangkan karya pelayanannya jika ia berada di tengah-tengah warga jemaatnya. 

Beberapa waktu kemudian, Paulus berpindah tempat pelayanan dari kantor pusat sinode ke tempat yang baru yaitu GPIB Immanuel Medan. Impiannya untuk dapat melayani di tengah-tengah jemaat akhirnya terwujud. Di jemaat Paulus bisa mencoba berbagai ide-ide pembangunan jemaat yang dulu merupakan hasil penelitiannya di bawah bimbingan mentornya, Dr. Niko L. Kana. 

Belum ada setahun Paulus melayani di Medan, ia ditawari studi lanjut ke Belanda. Namun, syarat dasarnya adalah dirinya harus menguasai Bahasa Belanda dengan cukup lancar. “Jadi selama enam bulan, saya diberi kesempatan ke Belanda mempejari bahasa di sana,”tuturnya. Rencananya Paulus akan mendalami ilmu Etika, khususnya Etika Politik. 

Tapi setelah sekitar empat bulan di sana, Paulus menyadari bahwa waktu beberapa bulan tersebut belum memampukannya menguasai Bahasa Belanda. Akhirnya ia pun pulang. Namun ia tidak menyesal, karena selama waktu yang pendek tersebut, ia memanfaatkannya untuk orientasi, menambah pengalaman sambil menjalani masa vikariatnya. Selama masa orientasi tersebut ia didampingi oleh Pdt. Dr. Arie de Kuiper, mantan ahli Alkitab mantan pengajar di STT Jakarta dan anggota Tim Penerjemah Alkitab Terjemahan Baru LAI. Saat itu beliau sudah berkarya di Lembaga Alkitab Belanda dan selama 4-5 bulan Dr. Arie de Kuiper menjadi mentor Paulus Rumambi selama masa orientasi di Belanda. Beliau mengatur kunjungan Paulus ke berbagai tempat untuk menambah wawasan, seperti: museum-museum, perpustakaan, berbagai gereja dan berbagai tempat lainnya di Belanda. 

Gagal melanjutkan studi Ilmu Etika, maka Paulus pun pulang untuk melanjutkan masa vikariat di Medan, hingga akhirnya ditahbiskan menjadi pendeta. Merenungkan panggilannya sebagai pendeta tak jarang Paulus masih tidak percaya. 

“Saya memutuskan menjalani panggilan Tuhan menjadi seorang pendeta karena desakan saudara saya. Awalnya kami belum pacaran. Setelah pertemuan di Bali hubungan kami semakin dekat, setelah saya menjadi vikaris dirinya saya kabari proses saya menjadi pendeta dan akhirnya kami pun pacaran, sampai ia nantinya menjadi pendamping hidup saya,”tuturnya. “Dia yang mendesak dan bahkan memarahi saya agar mau mengambil panggilan sebagai hamba-Nya. Waktu awal dia marah-marah, di dalam hati saya berkata: perempuan macam apa ini? Kok berani-beraninya marah kepada saya. Bukan orang tua, bukan pacar, cuma saudara jauh,”lanjutnya sambil tertawa. 

Mengenang perjalanannya sebagai vikaris (calon pendeta), Paulus kadang tidak menyangka ia yang sejatinya anak perkotaan mampu bertahan dalam pelayanan yang tak jarang cukup berat. “Seorang vikaris ataupun pendeta GPIB yang berusia muda pasti akan ditempatkan di daerah pedesaan atau pelosok. Secara mental tentu saja saya pernah mengalami tekanan mental. Karena bagaimanapun saya adalah anak kota, orang Jakarta. Dari Jakarta langsung ditempatkan di Medan. Setelah ditahbiskan sebagai pendeta saya berkarya di sebuah pos pelayanan di daerah Lampung. Di Talang Padang, Kota Agung Wonosobo, di daerah Pegunungan Tanggamus. Cukup jauh lokasinya dari Bandar Lampung. Tempatnya terpelosok dan medannya cukup sulit, jemaatnya hidup sederhana, “kenangnya.

Tantangan beratnya waktu menjalani pelayanan di pos pedesaan sesungguhnya adalah soal mental, karena usia Paulus waktu itu masih muda untuk menjadi seorang Gembala Jemaat. “Waktu itu sebagai pendeta saya langsung menjadi Ketua Majelis Jemaat. Tak jarang kita mesti menghadapi orang-orang yang sudah jauh lebih senior dari kita. Di antara Pengurus Harian Majelis Jemaat (PHMJ) ada seorang pensiunan Marinir, dan ada pula tokoh masyarakat yang cukup terpandang. Kedua-duanya senang mendominasi. Suatu ketika mereka berseteru, dan saya yang masih seorang muda usia harus bisa menjadi mediator di atara mereka. Saya tidak boleh condong ke salah satu pihak, karena dua-duanya keras. Maka saya pun hanya bisa memohon pertolongan dan hikmat Tuhan, untunglah Tuhan memberikan tuntunan dan jalan keluar bagi saya,”katanya. Di luar warga jemaat yang dominan, sesungguhnya Paulus senang melayani umat di pedesaan, di Talang Padang tersebut. Karena mereka rata-rata merupakan orang-orang sederhana yang tulus. “Untuk mendampingi mereka, maka saya berusaha menyesuaikan cara berpikir dan berkomunikasi mereka.  Karena cara melakukan pendekatan dan menangani permasalahan jauh berbeda dengan gaya orang kota,”lanjutnya. 

 

Meneladani Hidup Ugahari Sang Ayah

Ayah Paulus adalah Pdt. W.J. Rumambi terkenal sebagai tokoh Kristen nasional. Peribahasa mengatakan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Sekarang Paulus Rumambi meneruskan kiprah pelayanan ayahnya, Pdt. Wiem Rumambi. Ada banyak kenangan yang melekat di benak Paulus tentang sosok ayahnya dan sekaligus salah satu teladan hidupnya. Contohnya adalah soal kesederhanaan hidup. Ayahnya mantan Sekretaris Umum DGI, LAI dan sekaligus mantan menteri. Tapi hidupnya sangat sederhana. 

“Ayah saya orangnya sangat sederhana. Orangnya sangat low profile. Dia gak punya apa-apa. Beliau seorang nasional yang hidup jujur,”kata Paulus. “Meskipun sederhana, orang mengenalnya sebagai sosok yang smart.”

“Kami sembilan bersaudara, saya nomor tujuh. Ketika kakak saya yang paling tua hendak berangkat studi ke Amerika, papa melarang. Dia katakan, jangan jauh-jauh. Waktu itu sudah ada yang mau memberikan beasiswa melalui Dr.  Frank L. Cooley, yang dulu bekerja sebagai staf DGI dulu dan berasal dari Presbyterian Church of America. Ayah saya tidak ingin anak-anaknya jauh darinya. Jadi kakak tertua akhirnya diminta ayah masuk Fakultas Kedokteran UKI,”kenangnya. “Ayah saya selalu punya disiplin waktu untuk kita berlibur sekeluarga. Hanya seperti itu saja. Sekarang spiritualitas keugaharian lagi ditekankan oleh PGI ya, hidup yang bersahaja dan secukupnnya. Keluarga kami sudah menjalaninya dari dulu,”lanjutnya.  

Menurut Paulus Rumambi, hidup ugahari sesungguhnya adalah panggilan yang ditekankan oleh Tuhan sendiri, seperti dalam doa yang diajarkannya: Doa Bapa Kami. Salah satu bagiannya menekankan untuk memohon berkat makanan secukupnya untuk hari ini. 

“Kita harus berani jujur pada diri sendiri. Apakah kita sudah merasa cukup? Kalau kita sudah berkelebihan, sebaiknya kelebihan kita tidak boleh kita simpan sendiri, tapi berbagi dengan orang lain. Kelebihan jangan diinvestasikan, disimpan untuk tujuh turunan. Kita dipanggil untuk jangan menjadi rakus,”tuturnya. 

 

Tugas Sebagai Ketua Sinode

Sebagai Ketua Umum Sinode GPIB, Paulus tentu saja tidak memegang jemaat lokal lagi. Kiprah pelayanannya sepenuh waktu di kantor sinode. Selain tugas-tugas rutin Ketua Umum yang sudah digariskan peraturan sinode, Paulus juga masih memberikan pembinaan-pembinaan dalam rangka ulang tahun gereja, khotbah-khotbah, memberikan sambutan-sambutan, dan hadir dalam peresmian. Sebagai Ketua Umum, Paulus Rumambi juga menjadi wakil dari GPIB dalam hubungan antar gereja dan lembaga baik kristiani maupun non kristiani. 

“Sebagai Ketua Sinode saya demikian sering diberikan kepercayaan menggunting pita dalam peresmian atau pemugaran bangunan. Saya selalu diharuskan tampil di depan, padahal saya sesungguhnya tidak terlalu suka tampil di depan,”katanya. 

Hampir setiap hari, Paulus juga membuat konsep-konsep pelayanan sinode, mempersiapkan alih tugas dan mutasi pendeta-pendeta di lingkungan sinode GPIB. “Yang cukup memeras pikiran adalah menangani masalah-masalah di antara pendeta. Saat ini ada sekitar 546 pendeta yang aktif. Yang sudah pensiun dan non organisasi ada hampir 50 orang, mereka masih pendeta GPIB. Para pendeta juga manusia, bukan malaikat. Mereka insan yang memiliki kebutuhan dan persoalan hidup yang beragam. Tugas kami selaku pengurus sinode bukan sekadar memenuhi kebutuhan pelayan dan umat, namun juga menghadirkan kesejukan dan damai sejahtera di lingkungan sinode,”tuturnya. 

Lebih lanjut Paulus menceritakan secara sinodal GPIB memiliki aturan dan sistem sendiri yang berbeda dengan gereja lain. GPIB sekarang tidak lagi memakai struktur klasis gereja sebagai wadah koordinasi regional antar gereja. Sekarang dengan jumlah 327 jemaat yang tersebar di 26 provinsi semuanya di bawah koordinasi Kantor Majelis Sinode. 

“Koordinasi rutinnya bisa beragam cara, bisa melalui telepon, bisa menggunakan zoom meeting, atau beragam cara lain. Misal ada persoalan di Belawan, persoalan di Pontianak, di  Nunukan,  semuanya langsung dikoordinasikan ke sinode. Sistem seperti ini tak jarang yang menyebabkan kita seringkali kewalahan juga jika ada persoalan yang datang serentak,”katanya. 

Paulus menambahkan selain 327 Jemaat, GPIB juga memiliki sekitar 285 pos pelayanan yang tersebar di berbagai pelosok pedesaan. Beberapa malahan di perbatasan-perbatasan Nusantara.  Mengacu pada misi pemerintah pusat, GPIB juga berharap pos-pos pelayanan ini dapat dikembangkan, diberdayakan dengan maksimal. 

GPIB sebagai sinode memang memiliki wilayah pelayanan yang demikian luas di 26 provinsi. Bandingkan dengan Gereja Protestan Maluku (GPM) yang hanya melayani di satu provinsi, Maluku. Atau Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang hanya di sebagian Sulawesi Utara. Juga GKJ, GKJW, GKP yang hanya di satu provinsi. Paulus memandang dengan wilayah yang tidak terlalu luas, secara teori gereja lebih mudah berkoordinasi dan dikelola. 

“Wilayah pelayanan yang luas membutuhkan perhatian dan energi yang luar biasa. Dan satu lagi yang penting, GPIB bukan gereja suku, GPIB adalah gereja nasional. Sebagai gerja nasional GPIB punya andil dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. GPIB ke depannnya mestinya berteologi dalam konteks Indonesia yang punya ideologi bangsa Pancasila. Bagaimana Pancasila direfleksikan dan dijiwai dalam hidup umat sehari-hari. Saya pribadi ingin GPIB bukan sekadar nasionalis melainkan Pancasilais,”lanjutnya. 

 

Sidang Raya SInode Melalui Daring

Pada bulan Oktober 2021 yang lalu GPIB di masa pandemi melalukan Sidang Raya Sinode yang secara luar biasa dilakukan melalui online (daring). Bagai GPIB hal itu boleh dikatakan sebuah peristiwa yang bersejarah. Ada nuansa yang berbeda dibandingkan jika persidangan dilangsungkan secara langsung. 

“Setiap jemaat mengutus tiga orang: pendeta, penatua dan diaken. Jika ada 327 jemaat, artinya peserta resmi hampir mencapai 1000 peserta. Belum lagi ditambah Majelis Sinode, kemudian para panitia yang hampir 100 orang. Dan semua terjadi melalui online (daring),”tuturnya. Menghadirkan lebih dari 1000 orang secara online sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Terlebih Sidang Raya Sinode tersebut juga dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. 

Sebelum persidangan, panitia melakukan sosialisasi dan simulasi agar semua nantinya berjalan dengan lancar. Meskipun persidangan online, setiap peserta harus berperan bagaikan sidang terselenggara secara onsite. Panitia melatih para peserta bagaimana tata cara persidangan online, membangun sistem jaringan yang luar biasa dan itu semua tidak selancar sekadar membicarakannya. 

“Persidangan kali ini demikian luar biasa. Bagaimana e-voting dilakukan dan menunggu suara-suara dari 327 jemaat masuk. Ini sungguh pengalaman yang luar biasa. Ini bisa terselenggara karena pimpinan dan penyertaan Tuhan,”tutur Paulus. Yang jelas persidangan melalui jaringan menurut Paulus menghemat biaya. Karena semua peserta mengikuti persidangan dari tempatnya masing-masing. Mampu menjalankan persidangan di tengah badai pandemi yang masih belum reda membuat Paulus mengucapkan syukur kepada Tuhan. Tuhan ternyata tidak pernah meninggalkan umat-Nya. 

Di tengah kesibukan sebagai Ketua Umum Sinode Pdt. Paulus Rumambi mencoba menikmati waktu-waktu luangnya bersama keluarga. Dulunya ia punya hobi seperti umumnya orang-orang dari Manado, yaitu bermain ping pong. Sekarang kegiatan tenis meja sudah ia tinggalkan, ia lebih terbiasa joging setiap pagi bersama istri. Agar tidak monoton, mereka sering berpindah tempat jogging, mencari tempat yang cocok dan nyaman untuk joging. 

“Kalau dengan seluruh keluarga, palingan kita keluar kota bersama. Atau kita makan bersama di mall saja. Anak-anak yang lebih banyak tahu, saya hanya mengikuti saja. Selera makan mereka berbeda dengan kita. Generasi baby boomer kadang tidak selalu klop dengan generasi milenial. Yang penting anak-anak happy, kita orang tua mengalah saja,”kata Paulus. Bagi Paulus yang lebih utama adalah suasana kebersamaan bersama keluarga, bukan makan apa atau berlibur di mana. 

 

Mendukung Nawacita

Paulus melihat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) memiliki anggota 91 sinode gereja. Dari anggota sebanyak itu, hanya ada sekitar 20 sinode yang memiliki jumlah jemaat dan warga yang cukup besar, salah satunya GPIB. GPIB memiliki keunikan tersendiri karena memiliki pos-pos pelayanan dan kesaksian (Pelkes) di wilayah-wilayah pelosok dan pedalaman Nusantara. Jumlahnya sekitar 285 Pos Pelkes. 

“Kalau kita membaca impian Nawacita-nya Pak Jokowi, beliau ingin masa depan orang-orang Indonesia itu berada di pedesaan. Karena mereka punya lahan. Sementara masa depan orang perkotaan pelan atau pasti akan berubah, diambil alih oleh mesin, teknologi digital dan robot. Ke depannya orang-orang kaya Indonesia pasti aka nada di pedesaan karena punya tanah dan lahan. Seperti di Kanada, orang-orang kayanya petani, karena mereka punya tanah. Mereka kelola lahannya dengan teknologi yang canggih yang didukung oleh pemerintah,”katanya. 

“Saat ini Pak Jokowi membangun infrastruktur sampai ke pelosok-pelosok pedesaan. Dia membangun infrastruktur internet sampai ke pelosok-pelosok pedesaan, supaya petani-petani bisa memasarkan produk hasil buminya dengan mudah. 

“Saya ingin masa depan GPIB tidak lagi berpusat di kota. Melainkan di desa. Dengan 285 Pos warga jemaatnya kan luas lahannya besar-besar. Bahkan ada dari mereka yang menghibahkan tanahnya puluhan hektar kepada GPIB. Tanah kita di IKN juga sudah ada. Tanah hibah yang berukuran satu hektare. Ibukota negara yang baru nantinya berada di sekitar Panajam,”tuturnya.  

“Pemerintah mestinya melihat bahwa masa depan Indonesia ada di pedesaan. Bagaimana kita bukan hanya membangun infrastruktur di pedesaan tetapi melatih mekanisasi pertanian bahkan pabrik pun kalau perlu dibangun di pedesaan sehingga dari desa produk hasil pertanian, perkebunan dan peternakan langsung bisa di ekspor. Di Belanda produk yang terkenal seperti Frisian Flag berasal dari desa,”lanjutnya. Paulus tidak berharap semua segera cepat terjadi. Tapi dengan perencanaan yang baik dan matang, entah 50 atau 100 tahun lagi, mimpi pusat kesejahteraan masyarakat berada di desa akan tercapai. 

Menjadi Ketua Umum Sinode bagi Paulus bukan merupakan puncak pelayanan. Baginya panggilan dan karir kependetaan itu artinya berada di tengah-tengah jemaat. Di tengah-tengah jemaat para pendeta bisa langsung berhadapan dan bergelut dengan masalah-masalah umat baik secara personal maupun komunal. Dalam sebuah jemaat yang anggotanya bisa ratusan kadang hanya dilayani satu sampai dua pendeta. Sementara di tataran sinode ada 6 orang pendeta dari 11 orang fungsionaris yang duduk dalam kepengurusan. Semua keputusan diambil bersama melalui saling berembuk, saling menopang dan tukar pikiran. 

“Saya tidak pernah bermimpi menjadi Ketua Sinode. Saya orang introvert yang tidak suka tampil di muka. Ini hanya panggilan Tuhan semata, Tuhan yang menempatkan saya. Menjadi Ketua Sinode bukan jenjang karir saya. Menurut saya karir seorang pendeta bisa dilihat dari track record-nya di tengah-tengah jemaat,”katanya. “Kadang dalam hidup saya apa yang tidak saya suka, malah Tuhan kasih. Yang saya ingin dan harapkan kadang malah Tuhan tidak berikan,”lanjutnya. 

Meski tidak selalu sesuai harapannya, sebagai hamba Tuhan Paulus menjalani semua kehendak Tuhan dengan penuh ketulusan dan ketekunan. Bukan hanya dalam pelayanan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Dulu dirinya menghindari panggilan sebagai pendeta, namun Tuhan malah memilihnya dan bahkan menjadikannya pucuk pimpinan sinode GPIB. “Contoh lain, saya sebenarnya lebih suka sama perempuan yang berambut panjang, tapi Tuhan memberikan istri yang rambutnya selalu pendek,”tuturnya sambil tertawa.