Pdt. Suryanto Berutu: Hidup untuk Menghidupi Orang Lain

Pdt. Suryanto Berutu: Hidup untuk Menghidupi Orang Lain

 

Di usia permulaan 40 tahun tapi memiliki keluarga yang terdiri dari 20 orang anak, itulah Pdt. Suryanto Berutu. Melanglang jauh dari tanah kelahirannya di Sidikalang, ia tergerak melayani di Kaimana karena cintanya kepada Tuhan dan Papua. Cinta yang tidak hanya ia nyatakan dalam kata, namun mewujud dalam perjuangan panjang meningkatkan kualitas hidup banyak anak pedalaman Kaimana, Papua Barat dengan menjadi orang tua asuh mereka.

Suryanto tidak pernah mengira bahwa Tuhan menetapkan jalan hidupnya menjadi seorang pendeta. Sewaktu muda ia ingin menjadi seorang dosen. Namun, ketika ia menjalani sebuah misi pelayanan ke pedalaman Sulawesi Tengah, hatinya terpanggil melihat jiwa-jiwa yang merindukan sapaan Kabar Baik tentang Yesus Kristus. Saat menjalani misi tersebut, sesungguhnya terbuka kesempatan baginya untuk melanjutkan pendidikan teologi ke Filipina. Terlebih dosennya di kampus memberikan dukungan penuh kepadanya untuk melanjutkan studi dan dalam rangka pertukaran mahasiswa. Suryanto bergumul di antara dua pilihan. Ketika beberapa waktu kemudian ada program misi ke Sorong, ia akhirnya mengambil keputusan untuk menjadi gembala umat, meninggalkan cita-citanya semula dan merintis jemaat di Kaimana. 

Pernah memang ketika masih remaja, lelaki kelahiran Sidikalang 20 April 1984 ini beberapa kali bermimpi. Dalam mimpinya ia tampak sedang menjaring ikan, dan ikan yang diperolehnya banyak. Kakak rohaninya mengatakan bahwa mungkin saja ia akan diutus untuk menjala manusia dan menuai jiwa-jiwa. Waktu itu ia belum yakin. Namun, ketika akhirnya menjalani pelayanannya di Kaimana, Suryanto mulai mengerti tanda yang diberikan Tuhan tersebut. 

Sebelum memilih belajar teologi, Suryanto sudah memiliki pengalaman bekerja di berbagai perusahaan dengan posisi yang lumayan. Ketika ia mengambil keputusan untuk menjadi seorang hamba Tuhan dan menjalani studi teologi, itu berarti mengambil risiko mencari dana sendiri untuk membiayai studinya. Karena orang tuanya tidak memungkinkannya membantu, sementara sponsorpun tidak ada. Meski tidak mungkin membantu, orang tua dan keluarga mendukung keinginan Suryanto. Bukan hal yang aneh, karena memang banyak juga dari keluarga besarnya yang mengambil jalan hidup sebagai pendeta.“Sedari awal memang saya sudah mempersiapkan diri untuk menjalani kuliah sambil bekerja,”katanya. Selesai kuliah ia sempat membantu pelayanan di beberapa tempat hingga kemudian ia dan istri diutus untuk merintis jemaat di Kaimana. 

“Saat saya dan istri pertama kali tiba di Kaimana pada 2009, di kantong kami hanya tinggal uang sebesar 200 ribu rupiah. Belum ada jemaat, karena kami yang merintisnya, dan belum ada orang yang kami kenal,”lanjutnya. 

Hari pertama setiba di Kaimana, Suryanto dan istri berkeliling naik motor untuk menjelajahi medan pelayanan dan mempelajari situasi dan geografis wilayah pelayanan. Saat berkeliling mereka melihat  banyak anak di daerah tersebut yang tidak bersekolah. Waktu itu jam sekolah dan bukan hari libur. Padahal mereka baru berkeliling di sekitar pusat kabupaten. Bagaimana dengan yang di pedalaman?

Suryanto pun mulai bertanya kepada Tuhan. “Apa yang mesti saya perbuat ya, Tuhan? Apa yang harus saya lakukan untuk Kaimana dan Papua?” 

Lalu Tuhan melalui Roh Kudus membisikkan dalam hatinya,”Tolonglah mereka, adopsi dan asuhlah anak-anak Papua.” Ketika visi itu datang, Suryanto masih belum yakin dalam hatinya. Bahkan dalam doa, ia mengajukan tawar-menawar dengan Tuhan. “Tuhan, kalau Engkau meminta saya mengambil anak-anak, mereka harus tinggal di mana?  Saya harus memberi mereka makan apa?” Demikian keraguan Suryanto. 

Setelah mempersiapkan diri cukup lama, baru pada 2011 Suryanto mulai mengerjakan panggilan Tuhan tersebut. Ia mengawalinya dengan mengadopsi tujuh anak. Setelahnya Tuhan menyertai pelayanan tersebut dan mencukupkan kebutuhan Suryanto dan keluarganya. 

Ia mulai mengadopsi anak-anak dari kampung-kampung pedalaman Kaimana. Banyak kampung-kampung di pedalaman yang belum memiliki fasilitas sekolah dasar (SD) ataupun sekolah menengah. Ia menyewa beberapa kamar untuk mereka, menyediakan kebutuhan mereka, termasuk makan dan minum. Juga berjuang menyekolahkan mereka. Karena tidak memiliki sponsor, ia harus berjuang membayar uang kos bagi keluarga dan anak-anak angkatnya tersebut. Dari 2009 hingga 2013, di luar jadwalnya melayani umat, Suryanto menarik ojek agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak asuhnya. Setelah lama melayani jemaat, pada tahun 2016 dalam kongres GSJA di Bogor, Suryanto ditahbiskan sebagai pendeta. Dari mulai mendaftar sebagai pelayan Injil pada 2008, menjalani berbagai misi hingga merintis jemaat Suryanto memerlukan waktu sekitar 8 tahun untuk menjadi pendeta penuh. 

Suryanto mulai mengasuh anak-anak tersebut sejak kecil, sejak mereka masuk kelas 1 Sekolah Dasar. Sekarang anak-anak generasi pertama sudah banyak yang menginjak bangku SMA. Ada juga yang menjadi mahasiswa. Tiga orang berkuliah di Sorong, sementara dua orang melanjutkan kuliah di Manado. 

Saat ditanyakan apakah dengan melayani di pedalaman berarti Suryanto siap hidup miskin, ia menjawab dengan bijak. “Kalau asal menjawab bahwa kita tidak perlu hidup kaya dan harus hidup miskin, sepertinya kita mengikuti teologi kemiskinan. Tapi Alkitab sendiri memberi kesaksian, banyak tokoh-tokoh seperti Abraham dan Ayub, yang hidupnya tidak selalu dalam keadaan berlebih, tapi prinsip hidup mereka selalu ingin menjadi saluran berkat buat banyak orang.”

“Dari awal pelayan ini tidak ada yang membiayai, tapi saya tahu dan yakin Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kami,”katanya. “Sekarang pun kadang-kadang kalau ada waktu lowong di antara jam 7 hingga 9 malam saya masih ngojek. Paling tidak bisa menambah kebutuhan anak-anak,”terangnya. 

Pdt. Suryanto dan istri sudah sepemahaman dari awal bahwa merintis pelayanan di pelosok tidak selalu berjalan mudah. Maka ia dan keluarga sedari awal belajar untuk mencukupkan diri dalam segala sesuatu. Belajar bersyukur atas keadaan apapun yang Tuhan berikan. Mereka dengan iman teguh meyakini bahwa Tuhan pasti mencukupkan kebutuhan keluarga mereka dan tidak akan membiarkan mereka kelaparan. 

Selain anak-anak asuh, dari pernikahannya Pdt. Suryanto dikaruniai dua orang putra. Yang sulung telah duduk di kelas 6 SD, sementara adiknya masih bersekolah di TK. Istri Pdt. Suryanto juga seorang hamba Tuhan. Mereka bertemu pertama kalinya di Sekolah Teologi. 

Untuk seluruh keluarga termasuk anak-anak asuh, setiap hari paling tidak keluarga Pdt. Suryanto memerlukan 8 liter beras. Pernah suatu pagi istrinya hendak memasak nasi, karena biasanya anak-anak asuhnya jam 1 siang pulang sekolah. Di tempat beras istrinya melihat beras tersisa dua gelas. Lalu Pdt. Suryanto mengecek di gudang apakah masih ada persediaan beras. Ternyata di gudang pun kosong. 

Maka Pdt. Suryanto dan istrinya hanya bisa menyerahkan pergumulan mereka kepada Tuhan melalui doa. Demikian doa mereka,”Tuhan kalau Engkau izinkan kami lapar, kuatkan kami. Tapi jangan biarkan anak-anak menjadi sakit.” Mereka berdua khawatir jika ada yang sakit nanti beritanya diekspose sebagai mereka tidak mampu merawat dan memelihara anak-anak asuh mereka. 

Setelah berdoa, istrinya hendak memasak dua mug terakhir beras tersebut. Tiba-tiba terdengar suara klakson di depan rumah. Ternyata ada sahabat mengantarkan beras ke rumah. Dua karung beras dan satu dus indomie. Puji Tuhan kata mereka. Pertolongan Tuhan datang tepat pada waktu-Nya. Tak dinyana, tiga hari kemudian ada sahabat lain lagi datang mengantarkan 50 karung beras. Peristiwa mirip seperti itu tidak jarang terjadi. Sehingga seluruh keluarga mereka hingga anak-anak dari kecil sudah membiasakan menyerahkan kehidupan mereka di tangan Tuhan. 

“Ada saat kami hanya makan nasi dan kangkung, lain kali ada pula berkat lebih kami dapat,”terang Pdt. Suryanto. “Saya katakan kepada anak-anak, bahwa hidup tidak selalu berjalan lancar tanpa tantangan. Tidak selalu makan enak. Ada saatnya Tuhan mengajar kita berproses, agar iman kita semakin teguh.”

Pak Suryanto mengingat saat pertama kali datang ke Kaimana, ia belum tahu nanti akan tinggal di mana dan bagaimana menjalani kehidupan di tempat tersebut. Berangkat dari Sorong menuju Kaimana, seorang sahabat di Sorong mengatakan nanti akan ada yang menjemput. Sampai di Kaimana ternyata benar ada yang menjemput di Pelabuhan Kaimana. Mereka dibawa menuju tempat indekos si penjemput yang kecil, hanya ada satu kamar tidur dan ruang tamu kecil. Pikir Pak Suryanto,” Agaknya mala mini kami bakal tidur di ruang tamu. Tapi kami pasrah saja.”

Bekal mereka hanya uang 200 ribu, untuk membayar penginapan semalam atau untuk membayar uang kos pun tidak cukup. Sorenya ketika mereka sedang duduk-duduk, ada tiga orang mengangkat spring bed menuju lingkungan kos-kosan tersebut. Tidak ada yang tahu mau dibawa ke mana. Ternyata kemudian muncul pemilik kos, yang datang langsung menemui Pdt. Suryanto dan berkata,” Pak Pendeta itu spring bed untuk di kamar. Saya sudah sediakan satu kamar kos untuk Bapak dan Ibu.” 

Tidak menunggu lama ada telepon dari sahabat mereka di Sorong yang mengatakan bahwa ia sudah membayar uang kos di tempat itu untuk enam bulan ke depan. Ternyata dirinya juga yang membelikan springbed dan mentransfer uangnya kepada pemilik kos. Sungguh luar biasa penyertaan Tuhan. Ia menggerakkan hati hamba-Nya untuk mendukung pelayanan Pdt. Suryanto di Kaimana. 

Kepada istrinya Pdt. Suryanto dari awal juga selalu menekankan tidak perlu khawatir soal uang. Pertolongan Tuhan pasti hadir tepat pada waktu-Nya. Kadang saat mengalami kesulitan, ia tidak merasa malu untuk kembali menarik ojek. Atau mendadak dari salah satu instansi pemerintahan mengundangnya untuk berkhotbah. “Memang seorang pemberita Firman hidup dari pemberitan firman tersebut. Kita tinggal menjalani dan mensyukurinya,”katanya. 

Di masa pandemi salah satu kesulitan utamanya menurut Pdt. Suryanto adalah bagaimana jemaat didorong untuk tetap beribadah meski harus bergantian dan memberikan persembahannya bagi pelayanan gereja. Kebanyakan umat di GSJA Kaimana masih takut hadir dan bertemu dalam ibadah langsung. Momen-momen seperti ini adalah kesempatan bagi Pdt. Suryanto untuk hadir mengunjungi umatnya satu persatu dan menguatkan mereka melalui kunjungan ke rumah warga dan mendoakan mereka. 

Gedung Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) Kaimana sendiri dibangun di atas tanah yang berawa-rawa. Dindingnya masih sederhana, dari papan. Sebagai gembala gereja kecil, Pdt. Suryanto terlibat penuh dalam pembangunan gereja. Mulai dari mencari kayu di hutan, bersama warga jemaat. Kemudian memotongnya dengan menggunakan gergaji mesin. Dan mengangkatnya menuju lokasi pembangunan. Memang gedung gereja masih sederhana, karena perhatian utama Pdt. Suryanto adalah untuk membangun asrama untuk penampungan anak-anak dan menyekolahkan anak-anak. 

Umat GSJA yang dilayaninya 60 persen merupakan warga pendatang. Sisanya orang-orang asli Papua. Rata-rata mereka merupakan pegawai negeri. Ada pula yang menjadi wiraswasta, nelayan ataupun petani. Sejak awal salah satu pergumulan Pdt. Suryanto bukan hanya soal pembinaan iman, namun juga menolong jemaat agar memiliki kemandirian ekonomi atau memiliki pekerjaan. Ia berusaha membantu setiap warga jemaatnya agar jangan sampai ada yang menganggur. Melalui kenalan-kenalannya yang menjadi wiraswasta maupun yang bekerja di instansi pemerintah, tak jarang Pdt. Suryanto mendapatkan informasi lowongan pekerjaan bagi warga jemaatnya. 

Setiap hari kegiatan Pdt. Suryanto tidak hanya seputar memelihara jemaat atau anak-anak asuhnya. Meskipun itu merupakan prioritas utamanya. Pdt. Suryanto kerap diundang untuk menyampaikan khotbah dan materi pembinaan di berbagai instansi pemerintahan, hingga di persekutuan Polres Kaimana. Pdt. Suryanto juga aktif dalam berbagai kegiatan di PGGP( Persekutuan Gereja-gereja di Papua) wilayah Kaimana. Di organisasi ini ia menjadi sekretarisnya. Selain itu ia juga melibatkan diri dalam jaringan doa sekota Kaimana.

Setelah beberapa tahun di Kaimana, Pdt. Suryanto mendirikan Yayasan Harapan Anak Negeri. Melalui yayasan tersebut dihimpun dana untuk membina dan menyekolahkan anak-anak dari pelosok Kaimana. Beberapa orang mulai tergerak membantu untuk mendukung pembangunan asrama dan pendidikan anak-anak asuh Pdt. Suryanto. 

Lama bersekolah di Manado dan beristrikan orang sana, motto hidup Pdt. Suryanto pun diilhami falsafah hidup masyarakat Minahasa, yaitu: Si tou timou tumou tou. Artinya hidup untuk menghidupi orang lain. Kita hidup mengikuti teladan Kristus, untuk memberi hidup dan kehidupan bagi sesama. Sederhananya menurut Pdt. Suryanto, kita diberkati untuk memberkati orang lain. 

Menjadi seorang misionaris dan hamba Tuhan di pelosok, bagi Pdt. Suryanto dan keluarga penting sekali menjaga api roh pelayanan. Bukan sekadar berjerih lelah ke sana-sini, ia dan keluarga senantiasa berusaha menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan. Di gerejanya setiap awal bulan selalu ada gerakan puasa selama satu minggu. Jika warga jemaatnya melakukan rutin setiap bulan, ia dan istrinya berusaha bertekun dalam doa dan puasa lebih dari warga jemaatnya. Mereka selalu berusaha menjadi teladan dalam ketekunan dan teladan hidup. Di luar kehidupan doa dan puasa, meskipun berada di daerah mereka bertekun dalam pembelajaran firman Tuhan dan kegiatan-kegiatan penyembahan. 

Bagi Pdt. Suryanto tujuan tertinggi dari sebuah pelayanan bukan menjadikan sebuah gereja yang besar, atau menjadi hamba Tuhan yang kaya secara materi. Impian terbesarnya adalah menjadikan hidupnya mengikuti hidup dan teladan Kristus. Setelahnya, menjadikan orang-orang lain serupa dengan karakter Kristus. 

“Saya berharap anak-anak saya, termasuk anak-anak asuh saya bisa bersekolah sampai tinggi. Menjadi orang yang berhasil namun juga memiliki jiwa melayani dan memiliki karakter menyerupai Kristus. Itu yang paling utama,”tegasnya. 

Pernyataan Pdt. Suryanto sejalan dengan pernyataan penulis Surat 1 Yohanes, yang menyatakan demikian: "Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup." (1 Yohanes 2:6). Tidak ada gunanya kita mengaku sebagai pengikut Kristus apabila hidup dan gaya hidup kita tidak mencerminkan hidup dan gaya hidup Kristus.