PENDETA RUMBEWAS: SEPEDA KUMBANG DAN KAOS KAKINYA YANG BOLONG

PENDETA RUMBEWAS: SEPEDA KUMBANG DAN KAOS KAKINYA YANG BOLONG

 

Beberapa tahun lampau Lembaga Alkitab hadir di Numfor, Kabupaten Biak Numfor, di Papua. Melalui program Satu Dalam Kasih, disalurkan 5500 Alkitab, ribuan komik dan aktivitas anak, dan juga Alkitab Edisi Studi untuk hamba-hamba Tuhan di kota Biak dan Numfor. Selama kami di Pulau Numfor, kami tinggal di wisma tamu GKI Tanah Papua Klasis Numfor. 

Penduduk Numfor rata-rata berasal dari suku Biak. Ada pula beberapa pendatang dari pulau Serui, ataupun Manokwari.  Di luar Papua asli, ada juga pendatang-pendatang lain dari Makassar, Toraja, ataupun Jawa. Bahkan orang Sunda pun ada. Seorang pedagang keliling kue “Terang Bulan” yang tiap pagi  lewat di depan kantor klasis adalah seorang Sunda, pendatang dari Sukabumi. Selama di Numfor kami sering membeli kue darinya. Menurutnya, berdagang kue “Terang Bulan” di Numfor amat menguntungkan. Karena orang Numfor jarang sarapan nasi. Mereka sarapannya roti atau kue. Maka dagangannya selalu laris terjual. 

Pernikahan berbeda suku sudah mulai biasa terjadi di kalangan orang Numfor. Misalnya orang Biak  Numfor menikah dengan orang Makassar, atau menikah dengan orang Jawa dan sebaliknya. Salah seorang pendeta yang banyak membantu kami selama pelayanan di Numfor adalah Pdt. Arie Prakoso adalah contoh nyata. Pendeta GKI Papua ini keturunan transmigran dari Jawa, asal kota Malang. Istrinya asli orang Biak. 

Karena  Numfor merupakan hasil penginjilan dari van Hasselt yang berasal dari Barat, maka budaya Barat pun sedikit banyak mempengaruhi budaya lokal. Misal dalam nama-nama diri. Penduduk rata-rata menggunakan nama yang asal katanya dari Barat, seperti:  Alexandrina, Alex, Sefter, Dexter, Fred, Rachel, dan lain sebagainya. Seperti halnya orang Manado, mereka punya nama fam [nama keluarga atau marga bagi orang Batak]. Desa-desa tertentu rata-rata dihuni oleh fam tertentu. Jadi kadang kita bisa menebak asal desa pasien dengan nama fam-nya. Seperti di Pomdori, bakal banyak ditemui fam Kapisa, begitu juga di Yenmanu, banyak ditemui fam Abidondifu. Di Yenburwo dan Kornasorem di sekitar kantor klasis yang menjadi penginapan kami, kami menjumpai beberapa orang yang memiliki fam Rumbewas. Dari nelayan sampai pedagang, dari penjaga kantor hingga pendeta ada nama Rumbewas di sana. 

Suatu siang, di hari Minggu, suasana di mes tempat kami menginap terasa sangat gerah. Matahari seperti tidak pernah beranjak dari atas kepala. Angin di luar rumah pun seperti tidak bergerak. Maklum pinggir pantai. Selagi kami rombongan LAI sibuk mengeluhkan panasnya cuaca, datanglah ke kantor klasis, seorang bapak tua, orangnya kecil menaiki sepeda tua. Kemejanya putih bersih lengan panjang. Celana hitam, berdasi biru panjang. Usianya yang usur terlihat dari rambut yang sudah jarang terlihat di kepalanya. Sisanya yang masih ada pun sudah memutih. Ketika mengucapkan salamnya tampak beberapa lubang pada giginya. Namun sukacita, keramahan dan semangat terpancar dari dirinya.  

Ketika dipersilakan masuk ke ruang aula klasis, bapak tersebut mencopot sepatunya. Maka tampaklah kaos kakinya yang sudah berlubang di beberapa tempat. Uniknya untuk menutupi lubang kaos kakinya, bapak tersebut mengenakan kaos kaki rangkap dua.  Namun dua-duanya ternyata ada lubangnya! Perhatian saya tidak hanya pada lubang di kaos kakinya. Saya melihat Alkitab yang dipegangnya! Alkitab di tangannya tampak sudah lusuh dan jilidannya lepas di sana-sini.  Namun Alkitab itu sangat disayanginya, karena beliau senantiasa menulis catatan-catatan kecil pada pinggir tiap perikop yang telah dibacanya. Alkitab itu menjadi senjata utamanya selama puluhan tahun melayani Tuhan. 

Kami terlibat perbincangan yang cukup panjang dengannya. Pengetahuannya tentang Numfor cukup luas, karena ketika Jepang menguasai Numfor, dirinya pun sudah lahir. Namanya Pendeta Alex Rumbewas. Perintis jemaat Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI) Jemaat Pengharapan, Rarsibo, Numfor. Jauh-jauh bersepeda dari Kampung Rarsibo beliau ingin bertemu dengan sahabat-sahabat dari LAI. Selain berkenalan, ia datang untuk mengucapkan terima kasih kepada tim LAI yang sudah memberikan Alkitab bagi jemaat gerejanya. Ketika tim LAI datang ke gerejanya dua hari yang lampau, Pdt. Alex sedang ada tugas pelayanan. Menurutnya tidak ada kata terlambat untuk mengucapkan terima kasih, maka dia pun singgah ke kantor klasis GKI untuk menemui kami. 

Awal tahun 50-an, tidak lama sesudah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Pak Alex bersama banyak anak-anak muda asli Numfor pergi ke Manokwari untuk mengikuti pendidikan teologi singkat. Nantinya mereka dikirim sebagai tenaga penginjil yang melayani ke berbagai pelosok Papua bahkan ke tempat-tempat lain. Pada masa itu di Papua semangat para pemuda untuk terjun sebagai penginjil sangat tinggi. Kekristenan berkembang sangat pesat di Papua. 

Sebagai pemuda yang merasa hidupnya diubahkan oleh Kristus, Alex pun ikut terpanggil mengikuti pendidikan ini. Setelah belajar selama dua tahun, dirinya langsung dikirim terjun ke lapangan melakukan penginjilan, membawa suku-suku pedalaman kepada Kristus. Tugas pertamanya ke pedalaman Mamberamo, salah satu daerah terkejam di Papua. 

“Pada masa itu orang yang pergi ke Mamberamo, harus benar-benar siap mental. Setiap saat nyawanya bisa melayang. Kalau tidak karena serangan malaria atau gigitan ular berbisa, nyawa sering hilang karena masih banyak suku-suku pemakan manusia,”tuturnya.

Orang-orang Mamberamo pada masa itu masih tinggal di pohon-pohon yang tinggi. Tinggal di pohon merupakan adaptasi pertahanan mereka terhadap binatang berbisa ataupun serangan dari suku-suku lawan.  Selama setahun lebih dia di Mamberamo, beberapa kali dirinya kena malaria. Tak jarang dirinya kelaparan. Namun untunglah tiap kali pula dirinya berhasil sembuh dari penyakit itu. Malahan, makin hari ia makin akrab dengan penduduk setempat. Banyak dari mereka yang berhasil ditobatkan oleh tim Alex. 

Sepulang dari Mamberamo Alex melanjutkan pendidikan, dan kemudian ditahbiskan sebagai pendeta. Semenjak itu dirinya berkeliling Indonesia dari ujung barat sampai ujung timur Nusantara sebagai penginjil maupun untuk terus belajar teologi melalui berbagai kursus singkat.  Alex tidak pernah menolak panggilan Tuhan untuk ditugaskan ke berbagai daerah. Karena ia yakin Tuhan selalu menyertai dan menemaninya. 

Lebih dari lima puluh tahun melayani Alex Rumbewas, tidak pernah merasa bosan. Tidak pula merasa jenuh. Semangatnya masih sama dengan lima puluh tahun yang lalu, saat pertama kali tergerak melayani Tuhan. Bahkan katanya, dia semakin giat melayani karena tidak tahu kapan Tuhan akan memanggilnya. Selagi masih diberikan waktu  ia manfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya.

Demikianlah Alex Rumbewas, usianya sudah usur, lebih usur dari lembaran-lembaran Alkitabnya yang juga sudah mulai termakan waktu. Tubuhnya juga sudah mulai ringkih. Tapi semangatnya tetap membara untuk mewartakan Kabar Sukacita.  Setelah puluhan tahun berkeliling Nusantara, dirinya memilih kembali ke Numfor, untuk melayani umat Allah di tanah kelahirannya. Selama masa pelayanannya,  Alex Rumbewas sudah melanglang buana dari ujung barat Sumatra hingga Australia. Ia sudah dipakai Tuhan  menobatkan ratusan orang lewat penginjilannya. 

Namun ketika kami bertemu, yang tampak darinya bukan kemegahan, melainkan kerendahhatian. Meskipun pengalaman dan kewibawaan tetap terpancar dari dirinya. Alkitab kumal, sepeda kumbang tua dan kaos kaki berlubangnya seakan menjelaskan dirinya rela hidup sederhana, asalkan nama Tuhan dipermuliakan melalui hidupnya. 

Seperti lirik lagu Sekolah Minggu,” Dia harus makin bertambah, ku harus makin berkurang. Nama Dia yang disembah, ku di tempat paling b’lakang.”