Perlu Orang Se Kampung

Perlu Orang Se Kampung

 

Berbicara mengenai anak memang tidak pernah ada akhirnya. Anak adalah masa depan bangsa. Di tangan merekalah kita para orang tua menaruh pengharapan akan kehidupan yang lebih baik. Ketika anak-anak mengalami kekerasan, eksploitasi dan perlakukan yang tidak adil, maka kita lah yang paling bertanggungjawab kepada Tuhan, karena kita adalah orang-orang yang diberi mandat untuk memelihara mereka. Karenanya, kehidupan anak-anak layak untuk dirayakan dan diperingati oleh semua bangsa.

Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati Hari Anak Nasional. Tema Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini adalah, “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Mengapa dipilih tanggal 23 Juli? Karena pada tanggal 23 Juli 1979 kita berhasil mengundangkan UU Kesejahteraan Anak. Sebuah langkah maju diantara negara-negara sedang berkembang pada waktu itu. 40 tahun kemudian, walaupun banyak kemajuan telah dicapai oleh negeri ini, persoalan kesejahteraan anak masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap anak-anak masih tinggi, kekerasan seksual terhadap anak-anak juga masih terjadi, tingkat kekerasan verbal/bullying juga masih tinggi. 

UNICEF dalam laporannya menandai 30 tahun Konvensi Hak Anak-Anak PBB, November 2019, menyatakan bahwa, “Selain tantangan terus menerus di bidang kesehatan, nutrisi,  dan pendidikan, anak-anak jaman sekarang juga harus berjuang melawan ancaman-ancaman baru seperti perubahan iklim, penyalahgunaan jaringan internet dan intimidasi dunia maya”. Indonesia, walau merupakan bagian dari 16 negara-negara dengan GDP di atas 1 triliun dollar Amerika (2017) dan menjadi bagian dari negar-negara berpenghasilan menengah-atas (1 Juli 2020) masih menghadapi persoalan-persoalan seperti yang dilaporkan oleh UNICEF tersebut. Pemerataan pendapatan adalah kata kuncinya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) angka Gini Rasio Indonesia pada September 2019 mencapai 0,380. Hal ini berarti pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk terus menurunkan angka Gini Rasio tersebut. Idealnya angka Gini Rasio itu harus berada dibawah angka 0,300, dan target pemerintah pada tahun 2019 adalah 0,350.

Dari data-data tersebut nampak bahwa pengentasan kemiskinan masih merupakan salah satu prioritas pemerintah yang perlu didukung dengan perbaikan di bidang pendidikan serta kesehatan-nutrisi-sanitasi agar tercapai Indonesia Maju. Trilogi persoalan kemiskinan, pendidikan, kesehatan-nutrisi-sanitasi memang berdampak panjang. Jika Indonesia ingin maju, maka generasi muda/anak-anak Indonesia perlu pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik memerlukan biaya. Walau biaya pendidikan dasar sudah digratiskan pemerintah, masih tetap diperlukan biaya untuk mendukung pendidikan formal di sekolah. Untuk berhasil dalam pendidikan anak-anak juga perlu kesehatan yang baik, nutrisi yang baik demi tumbuh kembang fisik dan intelektual serta lingkungan/sanitasi yang mendukung.

Dengan masih adanya kantung-kantung kemiskinan di negeri ini, maka anak-anak sangat rawan terhadap KDRT yang sangat mudah dipengaruhi atau dipicu oleh persoalan ekonomi dan lingkungan dimana mereka tinggal. Demikian juga kekerasan seksual dan kekerasan verbal sangat mudah terjadi akibat persoalan trilogi kemiskinan, pendidikan, kesehatan-nutrisi-sanitasi tersebut. Sebagai contoh, salah satu persoalan yang sedang marak dibicarakan adalah kasus “Kawin Tangkap” di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tindakan ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran hukum dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena tidak hanya terjadi pada perempuan cukup umur, tetapi juga pada anak. Pemicunya beragam. Ditambah lagi pengaruh tayangan penuh kekerasan dari sinetron, video-online, serta game online yang tidak terfilter, dan mungkin saja narkoba yang menjadi katarsis bagi keluarga di kantung-kantung marjinal tersebut.

It Takes A Village” – perlu peran serta seluruh kampung, demikian dikatakan oleh Hillary R. Clinton dalam bukunya: “It Takes A Village, And Other Lessons Children Teach Us” (1996). Hillary menulisnya berkaitan dengan pendidikan dan tumbuh kembang anak. Perlu peran serta seluruh kampung/desa untuk membesarkan seorang anak, demikian sebuah pepatah Afrika yang mendasari penulisan buku tersebut. Buku ini menekankan perlunya tanggung jawab bersama seluruh komunitas untuk membesarkan seorang anak. Membesarkan seorang anak membutuhkan peran keluarga inti dan diperlukan juga peran keluarga besar, tetangga, lingkungan, guru, pemuka agama, dokter, para pekerja, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga keagamaan/berbasis keagamaan, dunia kerja/bisnis, dll.

Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sebagai lembaga berbasis keagamaan tentu saja dapat turut berperan aktif dan signifikan dalam persoalan tumbuh kembang anak sesuai dengan perintah Tuhan. Markus 9: 42 mengatakan “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya ini, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia dibuang ke dalam laut.” Hal ini menunjukkan betapa besar tanggungjawab kita dalam memelihara kehidupan anak-anak. Tuhan tidak main-main dengan perintah terkait persoalan anak. Allah sangat mengasihi anak-anak. Maka dari itu, LAI terus mengupayakan adanya kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pertumbuhan mental dan spiritual anak. Misalnya melalui Jambore Anak, Aku Cinta Alkitab (ACA), membaca Kabar Baik Untuk Anak (KBUA), HDA Anak, dsb.

Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama membesarkan anak-anak yang tumbuh kembang di lingkungan kita secara bertanggung jawab dan melindungi mereka dari pengaruh-pengaruh kekerasan, lingkungan hidup yang tidak sehat, serta pengaruh dunia maya. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pasal 2 ayat 4 berbunyi, “Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar”. Bersama gereja dan seluruh warga kampung, mari kita berusaha menjadi sahabat anak dengan membesarkan dan melindungi mereka demi masa depan bangsa dan demi kemuliaan nama Tuhan.

Pdt Sri Yuliana. M. Th