Ps. Yerry Pattinasarani: Mencintai Yang Tuhan Cintai

Ps. Yerry Pattinasarani: Mencintai Yang Tuhan Cintai

 

Peribahasa mengatakan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Karakter dan kepandaian orang tua akan menurun kepada anaknya.  Orang tuanya musisi, anaknya paling tidak akan menggemari musik. Orang tuanya suka membaca, anak-anak juga akan memiliki kecintaan pada buku. Namun, peribahasa itu agaknya tidak berlaku dalam diri Ps. Yerry Pattinasarani. Ayahnya adalah seorang pemain sepak bola, bukan pemain bola biasa. Ronny Pattinasarani, sang ayah, adalah kapten kesebelasan tim nasional dan legenda sepak bola Indonesia. Tapi dari ketiga anaknya, satupun tidak ada yang mewarisi bakat dan “kegilaan” Ronny pada sepak bola. 

“Bagi saya, papa adalah orang paling gila bola di Indonesia. Saya belum pernah bertemu seorang yang secara konsisten dan membabi buta menyukai sepak bola. Saya yakin kecintaannya pada bola tersebut ingin diwariskannya pada kami, anak laki-lakinya, saya atau abang saya,”kata Yerry. “Dari sejak kecil saya sudah dicekoki dengan berbagai hal seputar sepak bola. Usia saya belum seminggu saya sudah difoto bareng sepatu bola kebanggaannya. Kalau melihat tempat tinggal kami, pagarnya bola, lampu tamannya berbentuk bola sepak. Ketika kami menginjak besar, kami sering dibawa ke stadion. Kami sekeluarga tertahan di stadion dan gak bisa keluar gara-gara suporter yang ngamuk setelah tim kita kalah bertanding, sudah menjadi makanan kami sehari-hari,”lanjut Yerry. 

“Tapi ketika kami anak-anaknya memutuskan untuk memilih hobi yang lain, ayah saya tidak menentangnya dan bahkan memberikan dukungan. Saya sendiri waktu itu memilih untuk menekuni tenis. Inilah yang saya pikir menunjukkan kualitas yang luar biasa dari ayah saya,”lanjutnya.  Yerry sambil tertawa bahkan menambahkan di keluarganya malahan tidak ada yang hobi menonton bola di televisi. 

Di mata publik Ronny adalah legenda dan pahlawan sepak bola. Dia adalah panutan dan teladan para yuniornya. Bagi Yerry dia lebih dari sekadar sosok ayah di tengah keluarga. Ronny adalah pelindung dan pahlawan bagi anaknya ketika dalam situasi terpuruk.

“Pernah suatu ketika saya dituduh mencuri barang di kelas. Karena saya pemakai narkoba, maka mereka menuduh saya maling, padahal saya tidak mencuri . Saya digebukin dan dimaki-maki sama teman-teman saya. Belum cukup sampai di situ, papa saya dipanggil ke sekolah. Jadi dari lapangan bola, papa saya langsung menuju sekolah. Waktu itu jam istirahat sekolah, sehingga banyak orang nongkrong di luar kelas. Masuklah kami dari gerbang sekolah menuju kantor guru. Sepanjang perjalanan dari gerbang sekolah hingga kantor guru kami diteriaki maling sama hampir seluruh orang di sekolah,”kenang Yerry. 

“Bayangkan, di Stadion Gelora Bung Karno saya mendengar ribuan orang memuji-muji dan meneriakkan nama ayah saya. Itu sudah makanan kami sehari-hari. Dan pada hari itu, saya mempermalukan papa saya sendiri, ia yang adalah kebanggaan Indonesia dihujat karena perilaku saya, meskipun saya bukan maling. Di tengah teriakan dan hujatan teman-teman sekolah, tiba-tiba papa merangkul saya. Terus dia bilang begini,”Yerry, kamu bukan maling. Kamu adalah anak papa. Angkat muka kamu!” lanjutnya. 

Rangkulan dan pengertian papanya membuat Yerry bagaikan menerima doping baru. Di tengah hujatan yang ia terima dari lingkungan sekitarnya, papanya menyampaikan sebuah kepedulian yang memberi rasa aman. Ia merasa hidupnya berarti. “Saya bukan sampah, saya adalah anak papa saya!”demikian keyakinannya mulai tumbuh.”Menurut saya itu peristiwa legacy, saya menemukan warisan yang paling berharga dari papa saya,”lanjutnya. 

Yerry dan saudara-saudaranya tumbuh dalam sebuah keluarga yang menganut keyakinan plural, papanya seorang Protestan yang taat. Sementara sang mama, Stella Maris, adalah penganut Katolik yang taat. Sedari kecil keluarganya mengajarkan penghormatan dan penghargaan kepada perbedaan. 

“Sebagai pengikut Kristus, kami menikmati perbedaan tersebut dengan wajar. Kadang kami sekeluarga beribadah ke Gereja Katolik dan mengikuti semua ritual yang ada. Minggu berikutnya ke gereja Protestan. Patokan kami adalah hidup dan gaya hidup papa dan mama. Bagaimana papa memperlakukan mama dengan penuh perhatian dan sebaliknya. Dan bagaimana papa dan mama memperlakukan kami anak-anaknya dengan penuh kasih sayang jelas tidak membuat kami berpikir untuk mempertanyakan atau saling serang tentang perbedaan. 

Di rumah kami memiliki dua salib, yang satu yang ada patung Yesusnya (Katolik), dan yang satu lagi salib tanpa sosok Yesus (Protestan). Saya belajar melalui kehidupan orang tua kami bahwa yang Yesus bangun itu bukan cara ibadah yang lebih baik tapi lebih penting dari itu cara hidup yang lebih baik. Saya menemukan esensi di tengah perbedaan cara peribadahan tersebut. 

Kisah hidup Yerry menegaskan bahwa bahaya narkoba tidak mengenal agama maupun latar belakang keluarga. Meskipun keluarganya boleh dikatakan dalam keadaan yang baik-baik saja toh Yerry terjatuh dalam cengkeraman benda haram tersebut. Awal mulai Yerry berkenalan dengan narkoba dari seorang penjual minuman di sekolahnya. Saat itu, sang penjual minuman menawarkan nipam kepadanya. Setelah proses sedikit rayuan dari sang penjual minuman, ia pun mengonsumsi barang yang belum disadarinya sangat berbahaya bagi dirinya. Keesokan hari, keinginan untuk mencicipi narkoba kembali muncul dan berjalan waktu itu terus meningkat sampai akhirnya ia memakai putaw dan menjadi seorang pecandu. 

Sekitar 2001, Yerry memutuskan untuk bertobat dan menjauh total dari narkoba. Ia memutuskan untuk belajar teologi dan menekuni satu segmen pelayanan khusus. Yerry memandang ada berbagai hal yang menyebabkan timbulnya permasalahan bahkan krisis bangsa, yaitu: human trafficking, sex trafficking, kekerasan pada anak, hingga berbagai permasalah anak muda, seperti: kehamilan, aborsi dan sebagainya. Yerry memilih berkonsentrasi dalam perjuangan melawan narkoba karena ia menyadari dampak luar biasa narkoba yang sedemikian merusak generasi muda. Tidak setiap orang yang sudah terjebak dalam kecanduan narkoba punya kesempatan melepaskan diri dan memperoleh kehidupan baru yang berhasil seperti dirinya. 

Sejak sekitar lima belas tahun yang lalu, Yerry pun mengkampanyekan gerakan: Ayah Hadir. Sebagai mantan pecandu, ia mencoba merenungkan dan mencari sebuah benang merah, faktor-faktor yang menyebabkan ia menjadi seorang pengguna narkoba dan bagaimana perjuangannya untuk lepas dari jeratan benda haram tersebut. 

Dari pengalamannya sendiri, ia menyadari bahwa sosok ayah memegang peran penting sebagai pelindung dan pencegahan melawan narkoba. “Selama ini kita tinggal di dalam sebuah kultur di mana sosok ibu lebih sering direspek dan dihargai dalam perannya sebagai pengasuh,”tuturnya. “Dari kecil kita sudah ditanamkan tradisi bahwa peran ayah dan ibu sudah sedemikian tersegmentasi. Dalam diri anak  Indonesia sudah ditanamkan pola pikir bahwa fungsi pengasuhan anak adalah tanggung jawab dari Ibu, bukan bagian dari tugas seorang ayah. Tugas seorang ayah adalah mencari duit.” 

Dalam kacamata Yerry, dunia sekarang sudah tidak bisa dihadapi dengan pengkotakan seperti itu. Sekarang bangsa ini kebanjiran berbagai sindikat-sindikat kejahatan teroganisir. Paling tidak ada 70 sindikat asing pengedar narkoba yang mengedarkan berton-ton narkoba ke seluruh penjuru Indonesia. Menjamurnya komunitas-komunitas LGBT yang punya niat menghancurkan bangsa ini. Dalam situasi krisis seperti ini peran ayah menjadi sentral dalam pertempuran menyelamatkan generasi ini. “Harus ada ayah-ayah yang berani berkata kepada dunia, bahwa kalau ada yang mau macam-macam sama anak saya langkahi dulu nyawa saya,”tegasnya. 

Lebih lanjut Ps. Yerry menyampaikan dalam keluarga di mana peran ayah berfungsi dengan baik, penyembuhan terhadap ketergantungan narkoba maupun berbagai ketergantungan lain relatif tidak memerlukan banyak uang dan tidak perlu menghabiskan banyak program rehabilitasi yang memakan waktu panjang.  Bahkan menurut Yerry, jika ayah mau terlibat aktif menolong dan mendampingi buah hatinya, anak-anak korban narkoba tidak perlu dibawa ke tempat rehabilitasi. 

“Rehabilitasi paling canggih adalah keluarga. Yaitu keluarga yang diprakarsai oleh ayah. Kalau anak kenyang kasih sayang orang tua mereka tidak mungkin jajan kasih sayang di luar,”katanya. Ia merujuk statement dari pemerhati keluarga Indonesia, dr. Aisah Dahlan, yang menyebut bahwa kenikmatan menggunakan narkoba, sesungguhnya sangat mirip dengan kenikmatan seorang anak yang dipeluk, dicium, dibelai dan diucapkan kata-kata positif oleh ayahnya. Yerry sendiri meyakini kebenaran statement tersebut.  

“Sebagai mantan pengguna narkoba, saya merasakan efek ledakan dopamine-nya, rasa happy-nya, rasa aman dari dua pengalaman tersebut. Pertama, ketika menikmati narkoba. Kedua, ketika merasakan kehadiran dan kasih sayang seorang ayah yang memutuskan menggantungkan hal yang terpenting dalam hidupnya, yaitu sepak bola, untuk saya anaknya. Kalau ayah hadir, anak-anak yang mencari kenikmatan dari narkoba tidak akan bertambah, karena lebih nyaman kehadiran seorang ayah. Ayah hadir bukan berarti setiap bapak harus menjadi figur super atau sempurna di mata anaknya,”terangnya. 

Lebih lanjut sebagai orang yang pernah merasakan kekelaman hidup akibat belenggu narkoba, Ps. Yerry bertekad untuk berkampanye melawan peredaran narkoba dengan caranya sendiri. “Silakan para bandar menjual barang haram mereka. Para bandar memang susah diberantas. Tapi saya akan berjuang untuk membuat jualan mereka tidak laku. Bagaimana caranya? Saya akan mengedukasi keluarga=keluarga Indonesia akan pentingnya ayah hadir, keluarga hadir, pentingnya menumbuhkan kasih sayang, kehangatan dan sportifitas di dalam keluarga,”demikian tekadnya hingga mengerucut menjadi kampanye “Ayah Hadir”.

Berjuang Melawan Stigma

Dalam perjuangan melawan narkoba, Yerry lebih lanjut mengkritisi faktor pandangan atau stigma masyarakat. Menurutnya ini adalah salah satu masalah yang tak pernah terselesaikan dari bangsa ini. Orang yang pernah jatuh dalam narkoba dicap sebagai orang gagal yang tidak mungkin memberi manfaat kepada masyarakatnya. 

“Sebagai contoh, dalam setiap seminar pencegahan dan pemberantasan narkotika, biasanya menghadirkan narasumber petugas hukum yang mengedukasi masyarakarat dengan 30-40 slide perang melawan narkoba (war on drugs). Kemudian dilanjutkan dokter atau praktisi kesehatan yang akan menjelaskan kerusakan permanen otak yang diakibatkan oleh narkoba dan akibat lanjutannya seperti: skizofrenia, gangguan bipolar hingga masalah kejiwaan lainnya. Audiens akan menyimpulkan demikianlah mantan pecandu narkoba, sosok melawan hukum yang sudah rusak otak dan jiwanya,”katanya. 

Masyarakat seringkali menganggap sosok pecandu sebagai orang-orang tanpa masa depan. Hidupnya akan berakhir di penjara, rumah sakit atau kuburan. Ketika masyarakat sudah memberi stigma negatif, para korban narkoba hanya bisa berharap kepada keluarga sebagai benteng terakhir yang mempercayai bahwa mereka bisa sembuh dan berubah. Bahkan gereja pun menurut Yerry acap kali tidak adil dalam sikap mereka terhadap mantan korban narkoba. “Sebagai mantan pengguna narkoba, tantangan terbesar saya adalah stigma negatif. Bahkan sampai hari ini orang-orang di sekitar gereja sendiri masih sering memberi cap negatif tersebut kepada saya,”lanjutnya. 

Yerry pernah memiliki pengalaman cukup pahit pada masa-masa awal menjelang bebas dari belenggu narkoba. “Menjelang masa pertobatan saya pernah mengikuti retret di sebuah gereja. Namanya orang yang ingin berubah, muncul niat saya untuk mengikuti kegiatan rohani seperti retret tiga hari tersebut. Pada hari kedua, mentor retret memanggil saya dan menganggapnya bagaikan Paulus yang keras kepala. Tak lama kemudian saya disebut lagi seperti Yunus yang kabur dari panggilan Tuhan. Belum cukup di situ, saya dianggap bagaikan Yudas Iskariot, sang pengkhianat. Dan dipulangkan dari retret sebelum acara berakhir,”kenangnya.  

Dipulangkan dari retret menjadi titik tertinggi kekecewaan Yerry pada Tuhan dan gereja. Ia tidak peduli lagi segala hal yang bersifat rohani, bahkan terhadap firman Tuhan. Ia merasa ditolak dan dibuang. Maka ia kembali kepada komunitas teman-teman lamanya, dan jatuh lagi dalam jerat narkoba. Hingga suatu hari ia mengalami over dosis narkoba. Teman-temannya menganggapnya sudah mati dan membuang dirinya ke got. Ternyata Tuhan punya rencana lain. Hidup Yerry belum berakhir. 

“Saya kaget bangun pagi-pagi di comberan, kemudian saya pun berpikir. Orang-orang gereja menolak saya, teman-teman dunia pun membuang saya. Bagaikan ditolak sorga dan sekaligus neraka. Itu yang mungkin dirasakan banyak pecandu di tengah perjuangannya, perasaan tidak memiliki harapan,”tuturnya. 

Pulang ke rumah, Yerry mengambil keputusan untuk bunuh diri. Ia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dan menulis surat untuk mama dan papanya. Ia merasa di ujung keputusasaan. Di benaknya, orang seperti dirinya tidak akan mungkin punya masa depan. Ia menganggap seorang pecandu tidak mungkin diterima di kampus dan menjalani kuliah. Tidak mungkin bekerja di perusahaan. Tidak mungkin memiliki sahabat dekat dan tidak mungkin ada yang menerimanya sebagai pasangan hidup. 

“Saya memutuskan minum Baygon. Setelah minum saya tidak sadarkan diri. Namun saya kaget, ketika saya ternyata tidak mati. Beberapa jam setelah pingsan saya bangun dan tanpa rasa sakit dan sebagainya. Itu bagaikan pengalaman spiritual bagi hidup saya. Tampaknya meskipun hampir semua orang tidak menerima saya, Tuhan masih mengasihi saya,”katanya. Pengalaman itu membangkitkan niatnya untuk sembuh dan meninggalkan narkoba seratus persen. 

Akhirnya muncul kerinduan dalam dirinya untuk mengenal Tuhan dengan lebih sungguh. Pada masa-masa awal pertobatan ia begitu bersemangat dan rajin mengikuti segala peribadahan di gereja. “Ibadah kaum bapak saya ikut, kaum ibu saya ikut, ibadah kaum muda, bahkan ibadah anak, pokoknya semua jenis ibadah saya hajar di masa-masa awal pertobatan,”kenangnya. 

Yerry pun mengalami jamahan Tuhan dan sebagai wujud ungkapan syukurnya, ia memutuskan di sisa hidupnya melayani Tuhan sepenuh waktu. Pada sekitar tahun 2003, dirinya mendaftarkan diri ke sebuah Sekolah Alkitab di Jawa Tengah. Salah satu syarat masuk adalah menulis latar belakang personal. Kemudian ia pun dipanggil oleh seorang dosen di sana. Dosen tersebut mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Kata dosen tersebut,”Yer, sebaiknya kamu pikir lagi rencanamu untuk berkuliah di sini. Kami ragu apakah otak kamu mampu mengikuti pendidikan di sini.” Stigma negatif dari dosen itu membuat Yerry bersedih dan akhirnya menjawab,”Baik, Pak. Kalau memang lulusan sekolah Alkitab di sini memiliki cara berpikir seperti bapak, lebih baik saya tidak jadi mendaftar.” Jadilah Yerry satu-satunya calon mahasiswa yang mundur. 

Meskipun mengalami penolakan, tekad Yerry untuk belajar Kitab Suci dan menjadi seorang hamba Tuhan tidak surut. Ia memandang setiap orang berhak untuk memberi cap pada dirinya, namun bagi Yerry kasih Tuhan mengatasi semua stigma negatif tentangnya. Bahkan ia semakin yakin bahwa Tuhan sudah menetapkan panggilan untuknya, yaitu untuk menolong dan mendampingi orang-orang yang terstigma negatif dalam masayarakat. Sebagai korban stigma negatif masyarakat, Yerry tahu benar rasanya berada di posisi tersebut. 

Pengalaman pahit pernah ditolak masuk sekolah Alkitab begitu membekas di hati Yerry. Belum lagi rentetan-rentetan pengalaman yang lain, seperti dirinya pernah dipikir orang berniat maling ketika datang ke sebuah gereja, karena penampilannya yang penuh tato. 

“Bahkan ketika saya sudah sering berkhotbah, stigma negatif terus mengikuti. Saya pernah diundang melayani khotbah di sebuah gereja. Ketika saya sedang bersiap di kamar mandi sebelum ibadah dimulai, istri saya dipanggil pihak gereja dan diinterogasi. Istri saya ditanya apakah saya sudah benar-benar sembuh,”tuturnya. 

Ia melihat gereja perlu mengubah cara pandangnya atau memberi peluang baru untuk orang-orang yang pernah terjatuh seperti dirinya. “Bukan hal yang mudah untuk mempercayai orang-orang seperti kami. Memang sulit, tapi kalau kita berbicara soal tuaian gereja perlu kemampuan untuk menolong orang-orang  yang memiliki pengalaman seperti saya. Gereja biasanya lebih suka mengamankan apa yang sudah dimiliki daripada berisiko menolong domba tersesat seperti kami. Mungkin mereka khawatir, siapa yang akan bertanggung jawab kalau orang-orang yang punya masa lalu seperti kami merusak domba yang lain?”katanya. 

Berjuang Demi Cinta

Bukan hanya stigma negatif dari gereja. Perjuangannya memperjuangkan cinta juga penuh dengan liku-liku. Yerry bertemu dengan Stephanie Djaya, kekasihnya, ketia ia mendampingi papanya berobat ke China. Stehanie waktu itu sedang berkuliah di sana. Pertemuan dan perkenalan di China berlanjut menjadi rekan dalam pelayanan dan teman dekat. Waktu hendak memasuki hubungan yang lebih serius tentu saja stigma negatif tetap mengiringi perjuangan Yerry. 

“Ya kita memang harus berpikir logis. Orang tua mana yang akan dengan sukarela menikahkan anak perempuannya dengan mantan pecandu narkoba, orang yang dianggap gagal plus istri saya Chinese sementara saya Indonesia timur. Saya anggap paket combo,”ujarnya sambil tertawa. 

“Meskipun stigma negatif selalu mengiringi, saya kemudian mencoba merenung ke dalam diri saya sendiri. Saya ingin dikenal sebagai sosok seperti apa? Apakah orang yang berhasil dalam pendidikan? Orang yang sukses dalam bisnis? Atau biarpun saya orang yang terbatas tapi memilik Tuhan yang luar biasa dan tak terbatas,”lanjutnya. “Saya memang tidak bisa merubah masa lalu saya, tapi bersama Yesus saya yakin saya bisa merubah masa depan saya.” Keyakinan yang bahkan kini menjadi semacam motto hidupnya itu menumbuhkan kepercayaan bahwa Tuhan selalu siap menopang dan menolongnya. 

“Bagi saya Kristus adalah pemulung saya. Kalau bukan karena kasih-Nya yang memulung saya tidak mungkin saya keluar dari kubangan tempat sampah. Ketika saya masih terbenam di tempat sampah, saya diangkat oleh kasih karunia-Nya. Jadi setelahnya saya berjuang bukan untuk memperoleh restu, tapi saya berdoa dan berjuang untuk kebaikan diri saya sendiri. Saya mau memastikan diri untuk menjadi suami yang baik. Yang saya miliki hanyalah firman Tuhan, saya tidak memiliki apa-apa selain firman-Nya. Tetapi bagi saya dengan firman-Nya saya memiliki segalanya yang saya butuhkan,”tuturnya yakin. 

Hingga suatu ketika kesempatan itu tiba. Keluarga sang istri mengalami jamahan Tuhan dan akhirnya Yerry Pattinasari dan Stephanie Djaya pun menikah dan kini Tuhan telah memberikan satu putri cantik, Arunika Mieko Pattinasarany, di tengah keluarga mereka. 

Membangun Semangat Toleransi

Belakangan orang melihat Ps. Yerry bergerak dan berjuang bersama dengan tokoh-tokoh lintas iman, seperti Habib Jafar ataupun biksu Zhuan Xiu memperjuangkan toleransi, persaudaraan, dan kebangsaan. Mereka sama-sama mengkampanyekan bahwa, kehadiran agama mestinya menjadi kehadiran yang menyejukkan dan mendamaikan. Apa yang melatarbelakangi perjuangan Yerry? Ternyata semua berawal dari pengalaman pribadinya sendiri. Akarnya masih sama yaitu kegagalan mengatasi stigma yang berujung kegagalan mencintai sesama. 

Suatu hari Yerry diundang untuk melayani di sebuah gereja. Karena kebiasaannya, ia selalu datang lebih pagi, jauh sebelum acara dimulai. Ketika dirinya tiba di gereja tersebut, seorang pelayan di gereja tersebut melihatnya. “Kebetulan hari itu saya datang mengenakan baju koko dengan jenggot tebal. Orang-orang di gereja merasa asing melihat saya,”katanya. Dirinya sempat dipikir oknum yang berniat mengebom gereja. Bahkan pihak gereja sempat berunding untuk menghubungi kepolisian setempat dan Densus 88. 

Dalam pandangan Yerry, kegagalan mengatasi stigma negatif tentang sesama yang berbeda berpengaruh kepada masa depan bangsa. Banyak orang menurut Yerry hanya meneriakkan diri pada semangat mencintai Tuhan. Tetapi ketika ditantang untuk melangkah ke tahapan selanjutnya yaitu mencintai yang Tuhan cintai, banyak orang memilih untuk berdiam diri di tempat. “Memang dalam etika menjalankan ibadah kita memiliki perbedaan-perbedaan dengan umat  yang lain, namun dalam semangat mencintai sesama kita adalah saudara dan rekan seperjuangan. Orang yang mencintai dan mengenal Tuhan tidak akan terjebak dalam istilah hanya untuk kalangan sendiri,”katanya. 

Bagi Yerry, para pelayan Tuhan otomatis juga adalah tokoh masyarakat. Menjadi tokoh masyarakat bukan tugas atau pilihan segmen pelayanan. Sebagai orang yang mencintai Tuhan dan orang yang ingin menghadirkan cinta Tuhan di tengah bangsa melalui peran masing-masing, Yerry menganggap setiap anak Tuhan secara nature adalah tokoh atau penggerak bagi masyarakatnya. Penggerak menuju masyarakat yang lebih baik. 

Visi mencintai yang Tuhan cintai, sekarang menjadi landasan Yerry setiap mengambil peranan apapun dalam mewujudkan gereja dan masyarakat yang lebih baik. Termasuk ketika diundang bergabung bersama Majelis Lucu Indonesia (MLI) untuk mengasuh konten Youtube MLI, yaitu: Domba Tersesat. Yerry melihat banyak anak muda tidak lagi tertarik dengan cara-cara pembelajaran di gereja yang memakai model-model konvensional atau lama. Sebelum era pandemi, bahkan banyak anak-anak muda suka berpindah-pindah tempat ibadah hanya karena mengikuti selera mereka. “Ada tempat yang pengkhotbah atau mentornya lucu mereka pun pindah ke tempat tersebut, ada tempat lain yang musiknya lebih keren mereka pun pindah lagi. Di tempat lain menawarkan penjemputan ibadah, ada snacknya maka mereka pun pindah,”tuturnya. 

Maka menurut Yerry, untuk melayani generasi muda yang masih labil, mudah berganti selera dan sebagainya, orang dewasalah yang harus bersedia dengan rendah hati turun, menyapa mereka dan merangkul mereka dengan gaya dan cara mereka. Terlebih di masa pandemi ketika anak-anak muda memanfaatkan waktunya lebih banyak di depan layar gadget mereka, karena berbagai pembatasan dan protokol kesehatan tidak memungkinkan  mereka pergi ke mana-masa. “Konten atau portal digital harus kita akui memiliki ombak atau pengaruh yang tidak terbantahkan,”lanjutnya. 

“Pernah suatu kali saya diundang Majelis Lucu Indonesia (MLI) sebagai narasumber. Acaranya dimulai jam tujuh malam, tapi dari jam empat sore ratusan anak muda sudah mengantri. Padahal mereka membayar untuk hadir di acara tesebut. Betapa sulitnya hal itu terjadi di dalam sebuah segmen rohani yang ada unsur ilahinya,”katanya. ”Maka, kita perlu rendah hati, bukan sekadar menunggu tapi menjemput bola. Tidak hanya menunggu anak-anak muda di ruang ibadah setiap hari Sabtu atau Minggu dan yang tidak hadir kita marahi dan hakimi. Semua perlu kita lakukan demi Tuhan dan demi generasi muda ini.”

Semangat yang ingin dihadirkan oleh Yerry melalui keterlibatannya dalam konten Domba Tersesat adalah untuk menyapa, menemani dan merangkul anak-anak muda dengan cara mereka. Generasi muda diberikan kesempatan bertanya dengan cara mereka dan tetap diantarkan oleh Yerry untuk memahami esensi dari kekristenan menurut ajaran Yesus dalam Alkitab. “Menghadapi berbagai pertanyaan anak-anak muda yang kadang nyeleneh atau kadang bahkan ngawur, kita coba arahkan pada esensi ibadah Kristiani, esensi pelayanan, esensi pengajaran Yesus sendiri,”katanya. 

“Misal ketika ada pertanyaan dari netizen: dalam perkawinan antara jemaat dan Anak Domba apakah ada penghulunya? Kita tidak perlu kesal, malah ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menjelaskan tentang anugerah Tuhan dan bagaimana perjuangan kita menuju kepada kekekalan,”terang Yerry. 

Dengan terlibat bersama MLI, ia ingin membangun semangat persahabatan dan menunjukkan wajah Kristen yang ramah. “Bayangkan, menarik bagaimana persahabatan di antara kami: saya, Tretan Muslim, Habib Jafar, dan Coki, yang berbeda latar belakang namun tetap bisa mempercakapkan berbagai hal dengan cair. Atau khusus di Domba Tersesat, di mana Coki yang mantan Kristen bersahabat dengan pendeta dari agamanya yang dulu,”lanjutnya. Sejauh ini semua berjalan dengan baik dan keterlibatan Yerry disambut positif banyak anak-anak Tuhan. 

Situasi pandemi yang tidak mudah dan membatasi banyak mobilitas manusia, dipandang oleh Yerry malah sebagai kesempatan baru dalam melayani Tuhan dengan lebih nyata dan lebih sungguh. 

“Pandemi harusnya menjadi peluang emas bagi kita untuk mengalami keberadaan Tuhan. Jika selama ini kita lebih banyak berteori, inilah kesempatan emas untuk mempraktikkan secara nyata apa yang kita pelajari selama ini melalui pembacaan Kitab Suci dan ibadah. Saatnya juga bagi kita untuk menyatakan kepada sesama betapa dalamnya cinta Tuhan. Keyakinan akan kedalaman cinta Tuhan akan menumbuhkan pengharapan dan kekuatan dalam mencintai semua yang Tuhan cintai,”katanya.  

Meskipun nama Yerry kini telah dikenal banyak orang baik di lingkungan gereja maupun nasional, Yerry tidak ingin maju sendirian. Bahkan ia sudah berpikir tentang regenerasi. 

“Saya ingin berbagi banyak ruang agar orang lain punya kesempatan untuk maju. Saya rasa aka nada momen, tidak lama lama lagi di mana saya harus mundur dari garis depan pelayanan agar memberi orang lain ruang untuk berbicara lebih jauh, berjalan lebih jauh, lebih tajam, lebih dahsyat dan lebih maksimal dari saya,”tuturnya. 

Sungguh sebuah kesadaran yang luar biasa mengingat tidak banyak pemimpin yang memiliki kesadaran untuk memahami kapan berdiri di depan dan kapan waktunya undur untuk memberi kesempatan penerusnya melanjutkan tugas pelayanan.  

Demikianlah Hendry Jacques Pattinasarany atau akrab disapa Bung Yerry. Orang yang ditangkap oleh cinta Kristus, yang menyadarkannya bahwa ia bukanlah sampah dan gelandangan rohani. Orang yang pernah ditangkap oleh cinta Tuhan pasti ingin membagikan cinta itu kepada sesamanya. Mencintai yang Tuhan cintai agaknya bukan hanya panggilan bagi  Bung Yerry, tapi panggilan kita semua. Orang-orang yang setiap harinya merasakan anugerah dan cinta Tuhan.