Quo Vadis Domine : Hendak Ke Mana Tuhan?

Quo Vadis Domine : Hendak Ke Mana Tuhan?

 

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, tentu kita mendengar berita mengenai Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat yang baru saja usai dengan segala hiruk-pikuknya. Joe Biden dan Kamala Harris telah sah menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Bulan depan mereka akan dilantik dan diambil sumpahnya. Ada satu hal yang menarik dalam upacara pelantikan/pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden, yakni wakil presiden lebih dahulu dilantik/diambil sumpahnya daripada presiden. Hal yang demikian juga berlaku di negara kita. Mengapa demikian? 

Wakil presiden dilantik/diambil sumpahnya terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of power). Bayangkan seandainya presiden sudah dilantik lalu terjadi sesuatu atau meninggal sementara wakil presiden belum dilantik, kepemimpinan negara akan kosong, siapakah yang berhak mengambil keputusan? 

Apa yang terjadi jika hidup kita mengalami kekosongan kepemimpinan? Tertulis dalam Alkitab pada Yohanes 15: 1-4, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapa-Ku-lah pengusahanya. Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah dipotong-Nya dan setiap ranting yang berbuah dibersihkan-Nya supaya ia lebih banyak berbuah. Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan kepadamu. Tinggallah di dalam Aku dan Aku tinggal di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.”  Jika Tuhan tidak tinggal di dalam kita, maka akibatnya hidup kita mengalami kekosongan dan tidak akan berbuah. Betapa berbahayanya hidup yang mengalami kekosongan seperti itu. Tak ada damai dan keadilan.

Memasuki Minggu Adven ke empat atau minggu Adven yang terakhir, ketika lilin keempat dinyalakan, kita diingatkan akan kisah para Majus yang mencari bayi Yesus. Apa yang sebenarnya mereka inginkan? Tak lain adalah kerinduan akan hadirnya seorang Pemimpin yang dapat membawa mereka pada situasi damai dan adil. Masa Adven juga merupakan refleksi akan kekosongan kepemimpinan. Kita menghayati masa penantian ketika Kristus belum hadir dalam kehidupan kita.  Demikian juga harapan para Majus  merupakan panggilan bagi kita untuk menyuarakan pesan-pesan dan melakukan karya-karya perdamaian. Saat ini dunia di mana kita hidup dan berkarya adalah dunia yang rentan. COVID-19 dan beberapa penyakit lainnya masih merupakan persoalan. Juga, ada banyak masalah ketidakadilan: ketidakpastian hukum, ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan penguasaan sumber-sumber daya alam: air, tanah, udara. Tiada perdamaian akan terwujud di muka bumi ini tanpa keadilan. Perdamaian dan keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang sama.

Karenanya, Dewan Gereja se Dunia (World Council of Churches) mengajak semua gereja, semua umat untuk ikut dalam “Arak-Arakan Perdamaian dan Keadilan (Pilgrimage of Peace and Justice) sebagai sebuah gerakan kebersamaan, kesatuan cara pandang akan makna kehidupan, serta kesatuan perjalanan iman. Kita semua diundang untuk bersama-sama merayakan kehidupan dan pada saat yang sama bergerak melakukan perubahan melawan ketidakadilan dan kekerasan.

Pada zaman Kisah Para Rasul, para Rasul-pun melakukan perarakan ini. Menyuarakan suara perdamaian dan keadilan, menolong mereka yang terpinggirkan, menguatkan mereka yang lemah. Dengan kesamaan visi atau cara pandang serta solidaritas semacam inilah kekristenan berkembang pada abad pertama. Jadi, Arak-Arakan Perdamain dan Keadilan adalah replikasi dari model pelayanan para Rasul pada jaman gereja purba, dan masih tetap relevan pada jaman ini.

Ada sebuah lukisan yang menarik yang melukiskan hal ini. Lukisan ini menggambarkan Yesus yang telanjang sedang memikul salib dengan tangan menunjuk ke depan. Di sebelahnya nampak Petrus dengan busana biru dan jubah kuning keemasan nampak terkejut dan kaget. Lukisan karya Annibale Carracci berjudul “Quo vadis Domine?”. Lukisan ini menggambarkan sepenggal sejarah gereja ketika umat mengalami persekusi pada jaman Kaisar Nero berkuasa di Roma. Ketika itu umat terserak bak kehilangan induk. Ada kekosongan kepemimpinan. Pada saat itu Petrus berniat meninggalkan Roma guna mengatur penggembalaan umat dari luar kota ketika Roma menjadi begitu kacau, umat Kristen diburu, dipersekusi dan disalahkan atas kebakaran besar yang melanda Roma. Pada saat itu, menurut novel berjudul “Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero” karya Henryk Sienkiewicz (1896) – difilmkan pada tahun 1951 dengan judul Quo Vadis–, Petrus berjumpa dengan Yesus, dan bertanya, “Quo vadis Domine?” (Hendak kemana Tuhan?). Yesus menjawab, “Romam eo iterum crucifigi” (Kembali ke Roma untuk disalibkan). Perjumpaan ini membuat Petrus berbalik ke Roma, untuk kembali menggembalakan umat. Agar umat tetap memiliki pemimpin. Tidak boleh terjadi kekosongan kepemimpinan. Dan Petrus pun telah menemukan pokok anggurnya kembali di pintu gerbang kota Roma. 

Tetaplah online dengan Yesus Tuhan kita agar kita tetap berbuah dan Tuhan tidak perlu  berkata kepada kita, “Romam eo iterum crucifigi”. Jangan sampai terjadi kekosongan kepemimpinan Kristus dalam hidup kita. 

 

Pdt. Sri Yuliana, M.Th.