Rm. Markus Nur Widipranoto, Pr.: “Aku Adalah Hamba yang Tak Berguna”

Rm. Markus Nur Widipranoto, Pr.: “Aku Adalah Hamba yang Tak Berguna”

 

Saya lahir di Kulon Progo, di sebelah barat Yogyakarta di tengah-tengah keluarga Katolik. Keluarga kami sebagian besar juga Katolik. Saya dan keluarga lahir di tengah-tengah lingkungan sekitar yang mayoritas Katolik. Kampung saya, di Dusun Kenteng, Kelurahan Kembang masuk dalam wilah Paroki Santa Maria Perawan Tak Bernoda Nanggulan. Sebagai anak yang lahir dalam keluarga Katolik, sedari kecil saya dibiasakan untuk mengikuti misa dan ekaristi harian. Entah mengapa, dari tiga bersaudara anak bapak saya, saya yang paling sering diajak orang tua mengikuti misa harian di gereja. Seringnya ikut misa membuat saya dekat dengan pastor paroki kami. Kebetulan di paroki kami tinggal juga suster-suster Sang Timur, salah satu tarekat religius perempuan Katolik. Kedekatan-kedekatan itu dan kebiasaan doa bersama di keluarga setiap malam menumbuhkan keimanan dan memunculkan benih-benih panggilan dalam diri saya. 

Saya mulai tertarik untuk menjadi imam. Ketika guru saya di SD menanyakan kepada kami di kelas, siapa yang ingin menjadi pastur? Saya pasti dengan penuh semangat menunjukkan jari. Semangat itu terus terpelihara hingga memasuki masa remaja ketika saya aktif dalam berbagai kegiatan di gereja, seperti menjadi putra altar atau misdinar. Selepas menyelesaikan pendidikan dasar di SD Kanisius Kenteng, saya melanjutkan pendidikan di SMP Negeri Jatisarono. 

Saya juga mulai menyenangi bacaan-bacaan rohani dan kisah-kisah Injil, terutama kisah-kisah orang-orang kudus dan kisah para martir. Sampai suatu kali Ibu saya memberikan hadiah satu paket lengkap seri orang-orang Kudus (Kisah Santo/Santa) yang terdiri dari 17 seri. Judul serialnya: Sahabat-sahabat Yesus. Saya berulang kali membaca kisah-kisahnya. Kisah-kisah perjuangan para martir tersebut menginspirasi saya, baik para martir dewasa maupun martir-martir yang masih berusia kanak-kanak seperti saya. Keinginan untuk menjadi imam pun semakin bertumbuh dalam diri saya. 

 

Tidak Didukung Kakek dan Nenek

Setelah menyelesaikan SMP saya mendaftarkan diri ke Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius Mertoyudan di Magelang. Saya diterima di tempat itu dan mulai meniti panggilan sebagai calon imam. Ketika mau memutuskan masuk seminari dan menjadi imam, kakek dan nenek saya tidak memberikan izin, meskipun cita-cita saya didiukung penuh oleh bapak dan ibu saya. Kakek dan nenek tidak mendukung, karena menjadi Imam artinya tidak menikah, kalau tidak menikah maka tidak akan memiliki keturunan atau anak sebagai generasi penerus saya. Kebetulan saya adalah cucu kesayangan kakek saya, karena weton atau hari kelahiran saya dan kakek sama. Yaitu, sama-sama lahir di hari Rabu Pon. Mungkin karena begitu sayangnya, kakek menyayangkan kalau saya menjadi imam. 

Boleh dikatakan sepanjang masa pendidikan di seminari menengah keinginan menjadi imam semakin teguh. Kalaupun ada tantangan semasa menjalani pendidikan asrama, itu lebih ke disiplin asrama yang begitu tinggi. Hal ini sempat membuat saya berpikir, apakah benar saya mesti menjalani panggilan imam dan menjalani kehidupan penuh disiplin seumur hidup? Setiap hari kami harus bangun paling lambat pukul lima kurang seperempat, kemudian kami dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok mendapat giliran yang berbeda, ada yang setelah bangun langsung mandi, sementara kelompok lainnya melakukan olahraga (senam pagi) dalam suasana pagi yang masih gelap. Ada kelompok yang harus bekerja, seperti menyapu, mengepel ruang-ruang kelas dan ruangan-ruangan asrama yang lain. Pembagiannya seperti itu. Pada masa-masa awal saya merasa hal tersebut cukup berat untuk dilakukan. Sempat saya berpikir, daripada masuk seminari, saya lebih baik masuk sekolah umum berasrama seperti De Brito atau SMA lainnya. 

“Betapa beratnya setiap pagi buta sudah harus bangun, lalu harus melakukan berbagai pekerjaan, mengepel dan menyapu dalam cuaca yang dingin. Belum lagi diharuskan bersenam pagi saat rumput di lapangan masih basah berembun dan cuaca masih gelap?”keluh saya dalam hati. Tetapi kemudian muncul semangat di dada,” Ah, masa sih cita-cita menjadi imam patah hanya gara-gara hal kecil seperti ini?”

Maka kemudian hari-hari di seminari saya tekuni saja, seterusnya begitu. Hingga ketika saya duduk di kelas tiga seminari menengah, ada kegiatan Retret Eleksio, retret pilihan. Di sini setiap siswa seminari ditantang lagi keyakinan untuk meneruskan cita-cita imamatnya. Apakah mau terus atau mundur. Jika mundur berarti nanti harus menyiapkan diri untuk membuat pilihan-pilihan lain. Dari 70 orang yang masih bertahan untuk melanjutkan pendidikan 54 orang. 

Dari Mertoyudan, saya masuk Tahun Rohani di Jangli (Semarang) disingkat TOR (Tahun Orientasi Rohani). Di masa TOR tersebut saya belajar lebih dalam tentang doa, wawasan umum, tapi lebih banyak belajar doa, meditasi, tradisi-tradisi doa, dan belajar tentang spiritualitas. Saya menjalani masa TOR selama satu tahun. Sesudah itu baru masuk Filsafat Teologi di di Seminari Tinggi Santo Paulus atau Fakultas Teologi Wedhabakti, Universitas Sanata Dharma itu sampai tahun 2000. 

Sesudah itu kemudian selama dua tahun antara 2000-2001 saya menjalani masa pendalaman profesi Imamat. Di masa kami, pendalaman profesi Imamat merupakan program baru. Waktu itu ada juga komentar-komentar miring: “Ini mau menjadi pastor kok seperti mau menjadi dokter, ada pendalaman profesi segala (seperti masa koas calon dokter).”

Banyak orang mungkin menganggap menjadi imam itu adalah panggilan bukan profesi. Itu adalah panggilan Tuhan. Tetapi, kepada kami waktu itu kemudian diberikan pemahaman bahwa menjadi imam bukanlah sekadar panggilan namun sekaligus profesi. Mengapa imam aalah profesi? Karena pelayanan dan karyanya harus bisa dipertanggungjawabkan. Benar menjadi imam adalah pilihan Tuhan, tapi sebagai pilihan manusia juga hal tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan. Karena pelayanan imam nantinya menyentuh orang lain, bukan hanya diri sendiri. Karya yang dilakukannya tidak bisa seenaknya sendiri, tidak sembarangan. Harus ada tolok ukurnya, harus mengikuti indikator-indikator yang telah ditetapkan . 

 

Memilih Menjadi Imam Diosesan

Dalam masa pendidikan di Seminari Tinggi saya telah menetapkan diri menjadi Imam Diosesan. Mengapa saya memilih menjadi imam projo atau diosesan? Ada beberapa sebab, salah satunya ada unsur kekanak-kanakannya. Sampai usia remaja saya ini boleh dikatakan anak yang susah tinggal jauh dari rumah. Istilah Jawanya “mbok-mboken”, arti singkatnya susah untuk tinggal jauh dari keluarga dalam waktu yang lama. Maka saya berkeinginan menjadi imam diosesan dan mendaftarkan diri ke Keuskupan Agung Semarang, yang wilayah tugasnya tidak akan terlalu jauh dari keluarga saya. Masih dekat dengan rumah. Sejauh-jauhnya antara Wonogiri dan Sragen di sebelah selatan atau timur, sementara kalau ke utara paling jauh hingga ke Kebonsari, Kendal dan Krapyak. Yang penting masih di sekitar Jawa Tengah. Itulah yang saya sebut alasan kekanak-kanakan. 

Di luar alasan pertama, ada pula alasan khusus yang menjadi landasan pelayanan saya. Menjadi Imam Diosesan atau Imam Projo artinya menjadi pamongnya keuskupan atau rekan kerja Keuskupan. Kita akan senantiasa melayani di lingkungan  keuskupan tersebut dan tidak akan pindah kemana-mana. Imam Diosesan adalah bala tentaranya Bapa Uskup dan merekalah tiang penyangga yang menopang keuskupan tersebut. 

Berbeda dengan imam-imam tarekat, mereka akan melayani dan berkarya di mana tarekat tersebut berada. Misalkan saya menjadi Imam Tarekat tertentu saya belum tentu akan bertugas selamanya di Keuskupan Agung Semarang, tetapi bisa juga saya bisa pindah ke Kongo, Cina, Amerika atau dipindahkan ke pulau-pulau lain di mana tarekat tersebut memiliki wilayah pelayanan. 

Dalam pandangan saya, hidup matinya sebuah keuskupan tergantung pada pelayanan imam Diosesan. Mereka disebut projo, istilah yang mirip pegawai kelurahan atau pegawai desa yang disebut pamong praja. Imam projo pada dasarnya adalah imamnya Bapa Uskup. Dia yang akan menghidupkan, mengembangkan, menumbuhkan keuskupan tersebut. Saya mau ikut terlibat dalam pengembangan  gereja di wilayah saya dan keluarga saya, maka mau tidak mau saya mendaftar untuk bergabung dengan Keuskupan Agung Semarang.

Ketika saya menjalani masa TOR di Keuskupan Agung Semarang, yang menjadi Uskup adalah Kardinal Julius Darmoatmodjo. Dengan beliau saya memiliki pengalaman perjumpaan pribadi. Dalam masa-masa menjalani Tahun Orientasi Rohani tersebut, sempat muncul dalam batin saya: Apakah menjadi imam memang benar-benar panggilan saya? Apakah tidak salah? Saya ungkapkan secara pribadi kepada Bapa Kardinal: “Bapa Kardinal, benarkah ini panggilan saya? Saya butuh tanda-tanda yang cukup bisa menguatkan iman dan panggilan saya.” 

Bapa Kardinal tidak menjawab langsung, beliau hanya menceritakan ulang sebuah perumpamaan dari Kitab Suci. Perumpaan tentang Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin, yang terdapat dalam Lukas 16:19-31. Pada saat hidup di dunia, Lazarus yang miskin makan dari remah-remah yang berasal dari meja orang kaya yang selalu berpakaian ungu dan mengadakan pesta setiap hari. 

Ketika mereka berdua sama-sama sudah meninggal, Lazarus naik ke pangkuan Bapa Abraham di surga, sementara orang kaya itu berada dalam kesengsaraan di alam maut. Ia hanya dapat melihat dari kejauhan Abraham dan Lazarus yang duduk di pangkuannya. Melihat ini, si orang kaya berseru kepada Abraham agar kiranya Lazarus dapat disuruh meneteskan setitik air di lidahnya, karena ia sangat menderita. Namun Abraham mengatakan hal itu tidak mungkin terjadi.

Mendengar jawaban itu, si orang kaya kini memohon agar kiranya Abraham mengutus seseorang kepada sanak-keluarganya yang masih hidup, untuk memperingatkan mereka agar tidak mengulangi gaya hidupnya di dunia dahulu. Namun Abraham menjawab bahwa mereka telah mendengar tanda-tanda melalui ajaran Musa dan para nabi, dan itu mestinya sudah cukup bagi mereka.

Mengapa Abraham dan Yesus sebagai pencerita perumpamaan enggan memenuhi permintaan si orang kaya? Karena tidak ada gunanya. Tidak ada fungsinya memberikan tanda atau mengirim utusan. Karena tetap tidak ada yang percaya. 

Masukan dari Bapa Kardinal malah menguatkan dan meneguhkan saya. Benar juga, kalau saya hanya mencari tanda atau bukti untuk meyakinkan diri saya sendiri tidak akan pernah selesai. Bapa Kardinal mengatakan tidak pernah ada sebuah panggilan imam yang jelas seratus persen. Tidak ada sebuah panggilan yang “cetho welo welo” atau terang benderang, bagaikan seorang nabi mendengarkan pesan dan panggilan Tuhan. 

Panggilan menjadi imam adalah panggilan yang harus dijalani dengan tekun, setia, dengan penuh ketulusan dan kesungguhan dari hari ke hari. Jadi apapun harus dikerjakan dengan senang dan gembira di hati. Sejak itulah saya belajar menjalani panggilan tersebut dengan setia. 

Kebetulan ada satu teks bacaan dalam Kitab Suci yang menguatkan. “Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya” (Matius 12:20) Artinya meskipun semangat saya tak jarang patah, bagaikan sebuah buluh yang patah dan terkulai, asal terus bertahan Tuhan pasti tidak akan memutuskan buluh itu. Sekiranya sumbu pelayanan kita meredup Tuhan pasti akan menjaga tetap menyala dan tidak akan memadamkan sumbu pelayanan kita. Teks ini menguatkan saya untuk terus tumbuh di seminari dan seterusnya. 

Pada 10 Juli 2002 saya ditahbiskan sebagai imam dalam ibadah yang dipimpin Uskup Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo di  Gereja Santo Fransiskus Xaverius Kidul, Loji Yogyakarta. Kami bersembilan Imam Projo Semarang. Ditambah satu Imam Tarekat Bosco atau Salesian Don Bosco (SDB), dan dua Imam Tarekat Xaverian (SX). Semuanya ada dua belas imam baru. 

Motto bersama penahbisan pada saat itu diambil dari Injil Yohanes 15:4: Tinggallah di dalam Aku. Sementara motto pribadi saya saat penahbisan adalah: Aku hendak mewartakan kemurahan Tuhan seumur hidupku. Saya memilih motto ini karena sungguh saya merasakan kemurahan Tuhan, belas kasih Tuhan, dan kebaikan Tuhan yang luar biasa di dalam hidup saya dan keluarga. Oleh karena, tidak ada pilihan lain dalam hidup saya selain mewartakan kemurahan Tuhan seumur hidup saya. Motto penahbisan ini sampai hari ini juga menjadi motto hidup saya. 

Sayangnya, kakek nenek saya sudah tidak ada ketika saya akhirnya ditahbiskan menjadi imam. Tapi adik kakek saya yang seorang muslim ikut hadir dan memberikan dukungan pada saya. Sebagian keluarga besar saya berasal dari kalangan muslim. Mereka Muhamadiyah, kami Katolik. Namun, kami tetap bisa saling berbagi kebaikan dan memberikan dukungan. 

 

Karya Kepausan Indonesia dan KWI

Pada dasarnya ketika saya ditugaskan di Jakarta ini, saya memiliki double job, tugas ganda. Yang pertama, sebagai Direktur Nasional Karya Kepausan Indonesia (KKI), kemudian sekaligus ex officio sebagai Sekretaris Komisi Karya Misioner pada Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Kedua lembaga ini boleh dikatakan sedikit berbeda. Mengapa berbeda? 

Kalau KKI ini lembaga internasional yang langsung di bawah Kongregasi Suci Penginjilan Bangsa-bangsa yang berada di bawah Vatikan Roma. Kalau kita berbicara tentang Vatikan, sebagai pusat Gereja Roma Katolik, di sana ada Kementerian-kementerian atau departemen-departemen yang disebut sebagai kongregasi-kongregasi. Salah satunya adalah Kongregasi Penginjilan Bangsa-bangsa atau Propaganda Fide. Kongregasi Fide ini dia memiliki perangkat-perangkat di bawahnya. Salah satu perangkatnya adalah Pontifical Mission Societies (PMS). PMS ini tersebar di sekitar 130 negara, termasuk di Indonesia. Satu negara satu. Memang ada negara yang merangkap lalu menjadi satu seperti Malaysia, Singapura dan Brunei yang merupakan satu wilayah karya kepausan. Saya ditunjuk dan diangkat oleh Kongregasi untuk memimpin dan mengepalai karya kepausan di Indonesia ini. 

Sementara di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) saya menjadi Sekretaris Komisi Karya Misioner. Sebagai sebuah lembaga, KWI memiliki komisi-komisi di dalamnya. Salah satu komisi yang dimilikinya adalah Komisi Karya Misioner (KKM). Antara kedua lembaga KKI dan KKM meskipun ada perbedaan namun ada pula irisan dan titik sambungnya. 

Dalam mengemban tugas Karya Kepausan membawai empat serikat, yaitu: Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman, Serikat Kepausan Santo Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan, Serikat Kepausan Anak-anak Misioner/Anak Remaja Misioner, dan Serikat Kepausan Kesatuan Misioner. Nah, antara KKM dengan KKI ini memiliki irisan pada Serikat Kepausan Pengembangan Iman. Karena keduanya sama-sama bergerak dalam karya misi atau pewartaaan atau penginjilan. Maka, secara ex officio Direktur Nasional KKI itu menjadi Sekretaris KKM. 

Seperti ditekankan oleh Bapa Paus Fransiskus, titik fokus misi ada pada mewartakan sukacita Injil.  Pada tahun 2013 yang lalu, Paus mengeluarkan satu surat Apostolique Evangelii Gaudium (Sukacita Injil) yang kemudian mulai dijabarkan dan diperluas menjadi Laudato Si, ada Amoris Laetitia dan ada surat-surat apostolik yang lainnya. Tapi intinya adalah giat mewartakan Sukacita Injil . Paus mengajak orang Katolik untuk bergerak keluar dan aktif mewartakan sukacita Injil . Paus Fransiskus menyatakan, “Saya lebih suka melihat Gereja yang babak belur karena berjumpa dengan beragam orang , karena mewartakan sukacita Injil daripada Gereja yang megah, gereja yang indah, gereja yang gemerlap namun masuk angin. Lebih baik gereja yang lebam, gereja yang babak belur, gereja yang berjerih payah menjumpai orang untuk mewartakan sukacita Injil. Demikian pesan Bapa Paus! 

Nah, misi utama Gereja adalah mewartakan Sukacita Injil. Tentu saja sampai di wilayah pelayanan masing-masing dikontekstualisasikan, seperti kalau di Indonesia dalam hal mewartakan sukacita Injil paling tidak ada tiga dialog, yang menjadi arah landasan utama. Pertama, berdialog dengan orang-orang miskin, Kedua berdialog dengan budaya, dan yang ketiga berdialog dengan umat beragama yang beragam.

 

Spiritualitas dan Semangat Misi Kaum Muda

Khusus kepada  kaum muda pun Paus mengeluarkan Apostolique Christus Vivit.  Kaum muda adalah harapan dan penggerak gereja. Kaum muda bukan sekadar harapan gereja di masa depan tetapi masa kini. Maka dalam Surat Apostolique Christus Vivit, Paus menegaskan orang muda adalah kekinian gereja. Jadi itu sekali lagi dari Vatikan mewartakan sukacita injil . 

Dalam pandangan saya, mereka yang masuk dalam generasi milenial ini, atau bahkan generasi alpha ini adalah orang kekinian yang memiliki antusiasme tinggi. Mereka memiliki kegairahan tersendiri seperti dengan ciri khas dunia digital yang serba cepat. Bergerak dengan orang muda seperti ini perlu dengan kecepatan dan keberanian untuk menyesuaikan dengan hal-hal yang baru yang senantiasa cepat berubah. 

Kaum muda gereja dalam pandangan saya rasa adalah orang-orang yang tidak butuh teori macam-macam. Mereka lebih suka segera bertindak daripada mendengarkan beragam teori dan ceramah. Teori memang perlu, tapi tentu ada waktunya sendiri yang paling tepat, misal dalam kaderisasi. Seperti dalam masa-masa pandemi sekarang, mereka lebih suka segera bertindak memberikan bantuan dan pelayanan kasih, dan merasa tidak perlu mendengar banyak ceramah tentang apa yang perlu dilakukan bersama. 

Yang kedua, anak-anak muda pada dasarnya suka dengan kebaikan. Ingin berguna atau memberi manfaat untuk orang lain. Mereka senang jika dilibatkan untuk berbagi kebaikan bagi orang lain. Tidak perlu banyak bicara dan banyak teori, yang utama segera mewujudkannya. Dalam hal ini kita cukup memberikan panduan dan petunjuk praktis, dan selanjutnya mendukung mereka untuk melaksanakannya. 

Yang ketiga kita perlu mendengarkan juga suara dan harapan mereka. Yang berusia lebih tua atau lebih dewasa harus rendah hati untuk mau mendengarkan, berani untuk berubah dan juga berani terlibat untuk menjadi berkat.  Terlibat bersama-sama orang muda. Tidak hanya menuntut anak-anak muda agar sempurna, tapi mau terlibat bersama mereka. Kita perlu memahami gaya hidup dan cara berpikir mereka. 

 

Misi dalam Indonesia yang Majemuk

Panggilan kita dalam menjabarkan Kabar Sukacita Injil dalam konteks Indonesia menurut saya adalah bagaimana bersama-sama menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan memiliki hari nurani yang jernih. Jika dikaitkan lagi dengan pelayanan kaum muda, artinya mengantar mereka menjadi pribadi-pribadi yang cerdas, yang tangguh dan misioner. Bangsa yang bermartabat artinya bangsa yang sungguh memiliki kecerdasan dan ketangguhan tetapi juga sukacita kegembiraan. Berkebalikan kalau kita sekarang melihat di sekitar kita begitu banyak berita-berita yang tidak jelas kebenarannya (hoaks), nyinyiran, ujaran-ujaran kebencian. Semua itu membuat orang menjadi panik, tidak gembira, dan tidak bersukacita. Maka mewujudkan bangsa yang bermartabat, yang penuh dengan sukacita harus diiringi dengan mewartakan kebenaran-kebenaran. Mewartakan kebenaran bisa diawali dengan kesaksian hidup kita sendiri sebagai pembawa kebenaran. 

Kalau saya boleh membagikan apa yang kami lakukan melalui Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner (SEKAMI) mewartakan sukacita Injil secara konkrit dari mulai kanak-kanak hingga usia lansia bisa dilakukan melalui gerakan 2D2K: doa, derma, korban dan kesaksian. Yang pertama adalah doa. Doa artinya tidak hanya berdoa untuk diriku sendiri, tidak hanya untuk keluargaku sendiri tetapi juga berdoa untuk orang lain. Berdoa bahkan untuk orang yang berbeda dengan kita dan yang sungguh-sungguh membutuhkan uluran tangan kita. 

Yang kedua adalah berderma. Berderma itu berarti membangun solidaritas yang amat konkrit, baik riil maupun materiil. Yang ketiga berkorban, artinya kita mau dan berani untuk mengorbankan diri, mengorbankan waktu bahkan bisa juga mengorbankan perasaan. Banyak orang merasa sudah bekerja giat, sudah aktif melayani tapi kemudian patah semangatnya ketika merasa tidak mendapatkan penghargaan dari sesamanya. Tidak ada yang menyebut perannya dan sumbangsihnya. Padahal demikianlah kita harus menghayati sebuah pengorbanan, artiya siap memberikan badan, jiwa dan pikiran. Yang sudah merasa berkorban, namun tidak mendapatkan apresiasi tidak harus patah semangat. 

Yang terahir adalah kesaksian. Nilai-nilai sukacita Injil harusnya berlaku dan menjadi kesaksian hidup sehari-hari, baik itu dalam tutur kata, maupun tindakan kita sehari-hari. Bukan sekadar berbicara, tapi nyata juga dalam hidup dan tindakan kita. Gerakan 2D2K ini bisa kita jadikan panduan konkrit dalam menjalani pelayanan dan panggilan terutama di masa-masa pandemi seperti ini.

Masih berkaitan dengan semangat misi dan dihubungkan dengan Bulan Kitab Suci yang sebentar lagi dimulai, setiap keluarga tampaknya juga perlu menerapkan 2D2K. Dalam keluarga itu saya melihat ada dua gerakan. Gerakan internal dan gerakan eksternal. Secara internal, saya mengingat bacaan kami orang Katolik, setiap perayaan Kamis Putih, pada bacaan Injilnya selalu mengingatkan supaya setiap bapak (orang tua) menceritakan kisah karya keselamatan Tuhan kepada anak-anak dan seluruh anggotanya keluarga sebelum kemudian makan Paskah bersama. Orang tua perlu menceritakan tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan teladan pada anak-anaknya. Jika orang tua tidak melakukannya berarti orang tua kehilangan momen emasnya dalam mewariskan nilai-nilai kehidupan dan kebenaran kepada generasi selanjutnya. 

Setelah gerakan internal kita jalani, kita bisa melanjutkannya dengan gerakan ekternal. Setiap anggota keluarga perlu melatih diri agar dapat bergerak aktif dalam hidup masyarakat. Bagaimana caranya? Prinsip dasarnya tentu melalui Gerakan 2D2K tadi. Misal, terlibat dalam doa antar umat beragama, pada perayaan 17 Agustus di lingkungan sekitar kita. Selain doa, kita bisa melatih anak-anak kita dengan berbagi kebaikan di tengah sesama. Belajar membangun dan mengembangkan sikap jujur, sportif dan sebagainya. Ini merupakan nilai-nilai universal tetapi bisa dijiwai oleh nilai-nilai Injil, yang bisa diterapkan dalam lingkungan masyarakat yang majemuk. Tentu bisa diberikan berbagai contoh yang lain. Intinya harus ada keseimbangan antara gerakan internal maupun eksternal.

 

Kami adalah Hamba Yang Tidak Berguna

Tahun 2022 mendatang, saya akan memasuki tahun imamat yang ke-20. Jika ditanyakan harapan yang masih ingin digapai dalam karya pelayanan saya, ada baiknya saya menceritakan saat pertama kalinya saya dipindahtugaskan ke Jakarta. 

Sudah saya jelaskan di awal, bahwa awalnya saya ingin berkarya di seputar wilayah Keuskupan Agung Semarang saja. Berkarya dan mengembangkan wilayah yang telah saya kenal sejak kecil. Namun, pada sekitar Agustus 2014 saya mendapatkan tugas baru di Jakarta. Artinya, akhirnya saya  keluar dari wilayah Keuskupan Agung Semarang dan memasuki wilayah pelayanan yang baru. Sebagai imam dan hamba Tuhan tidak ada jalan lain kecuali menjalani panggilan itu dengan penuh ketaatan. 

Di dalam hati saya pada saat itu, menggema petikan Sabda Tuhan dalam Lukas 17:10, demikian: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan."

Saya adalah hamba yang tidak berguna, tugas saya hanyalah melakukan apa yang Tuhan perintahkan kepada saya. Sabda Tuhan tersebut saya pelihara dan selalu saya pegang dalam menjalankan karya pelayanan. Tugas saya hanyalah menjalankan ketaatan pada pimpinan, ketaatan pada pembesar, ketaatan pada kongregasi, dan berusaha memberikan karya pelayanan yang terbaik dalam setiap tugas yang diberikan. 

Seiring dengan harapan untuk memberikan karya yang terbaik dalam sisa waktu yang saya miliki, saya juga dikuatkan melalui Sabda Tuhan dalam Filipi 1:6Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Saya memiliki keyakinan, bahwa setiap pelayanan dan karya kebaikan berasal dan dimulai dari Tuhan. Tugas kita adalah belajar taat dan memberikan karya yang terbaik. Tuhan sendiri yang akan meneruskan dan menyempurnakan pelayanan kita. Hingga hari ini, kedua petikan Kitab Suci dari Lukas dan Surat Filipi tersebut masih terus menggema dalam diri dan menjadi kekuatan bagi saya untuk bertumbuh dan berkembang.