Sapaan Mengubah Hati

Sapaan Mengubah Hati

 

Dalam Injil Yohanes, Yesus lebih banyak menyapa orang per orang. Ia berfokus pada pendekatan pribadi. Iman memang pertama-tama adalah jawaban personal saya dan Anda atas pendekatan-Nya. Dialog yang mendalam dan mengubah terjadi antara Yesus dan perempuan Samaria (Yoh. 4). “Mulanya biasa saja”: di siang hari yang panas, Yesus yang kehausan meminta air minum kepada seorang perempuan Samaria. Perjumpaan yang biasa dan kebetulan ini selanjutnya menjadi momen  pendalaman dan pewahyuan. Misi dan perutusan memang dapat terjadi kapan saja, dalam konteks dan percakapan yang biasa. Kita umumnya lebih suka mewartakaan Kabar Gembira pada kesempatan-kesempatan yang luar biasa, formal, resmi, dan kerap melupakan kesempatan-kesempatan biasa dan informal di rumah, tempat kerja, rumah makan atau di jalan. Tuhan memberi kita teladan bahwa: setiap waktu manusiawi (khronos) dapat kita ubah menjadi saat berbagi rahmat ilahi (kairos).

Misi Yesus tidak dimulai di panggung atau di kerumunan orang. Ia mulai dengan seorang perempuan saja. Namun, percakapan dengan perempuan ini justru akan mendatangkan ‘massa’: semua warga desa datang kepada Yesus dan mengimani-Nya sebagai Mesias. Itulah inti ajaran Yesus: membina kelompok kecil yang bermutu akan menjadi ragi bagi jemaat seluruhnya.  Kita seharusnya yakin akan kemampuan seseorang atau kelompok meskipun tampaknya ‘kecil’, tidak berbobot, lamban, sehingga pewartaan atau pelayanan kita mungkin tidak akan membawa hasil dan hanya membuang waktu serta tenaga. Kita kerap lebih bersemangat mewartakan dan melayani kelompok yang besar, yang ‘tidak membuat susah’, yang manut, pandai, dengan hasil yang segera kelihatan. Yesus jelas tidak terobsesi dengan jumlah pendengarnya. Dia dapat saja langsung ke kota, tetapi ia malah mulai dengan seorang perempuan yang ada di hadapan-Nya. 

Itulah kehebatan pola misi dan pewartaan Yesus, dimulai dengan pendekatan pribadi: menyapa hati manusia. Ia menghargai manusia apa adanya. Ketenangan dan fokus-Nya membuat si perempuan perlahan-lahan membuka diri. Yesus tidak menghakiminya, seperti orang lain. Yesus hanya memintanya untuk: “Percayalah kepada-Ku…”, sebuah ungkapan yang tidak memaksa, hanya mengundang bahkan memohon. Yesus menghadirkan ALLAH yang menawarkan diri, ALLAH yang lemah, haus, lapar dan selalu mencari manusia; ALLAH yang terbuka untuk merangkul manusia apa adanya. Si perempuan Samaria akhirnya melepaskan “tempayannya”, simbol kelekatannya pada pekerjaan dan manusia lama, untuk pergi ke desa dan mewartakan perjumpamaannya dengan Mesias. 

Demi misi-Nya, Yesus telah melanggar semua tabu yang ada antara kaum Yahudi dan Samaria, antara seorang Rabi dan seorang perempuan, dengan semua praduga dan curiganya. Dan itu sering dibuat-Nya. Memang itulah misi-Nya: memanggil semua menjadi anak-anak Bapa, terutama mereka yang dipinggirkan dengan cap dan praduga budaya dan agama, atau orang yang malu dan ketakutan karena dosa-dosa mereka, atau yang mengalami ketiadaan daya dan sarana untuk hidup tenang tenteram. Si perempuan tampak gugup dan tidak tenang, karena suara hatinya tidak terang. Tingkah laku dan jawaban-jawabannya kurang sopan dan sinis. Tetapi Yesus yakin dan percaya bahwa di dalam diri perempuan itu ada sesuatu. Di dalam dirinya ada daya dan sumber yang lebih, suatau pencarian akan keberanan sejati. Bagi Yesus, itulah potensi yang harus digali dan diberdayakan. 

Manusia tidaklah sama dengan tampilannya, manusia selalu “lebih” daripada cap yang dikenakan orang kepadanya. Ia harus disapa, dihargai apa adanya, dibebaskan dari semua cap dan praduga serta diberikan kepercayaan diri agar mampu menjadi pemberita Injil kepada sesamanya. 

 

Dikutip dari: 

Wajah-wajah Misi, Kisah Misi dalam Kitab Suci. Anwar Tjen, Hortensius F. Mandaru, Budi Ingelina. Lembaga Alkitab Indonesia. 2021.