Satu Mesin Mati

Satu Mesin Mati

Oleh Sigit Triyono

"Semoga mesin satunya tidak mati Pak", kata Efan, awak kapal kayu bermesin dua dan berkapasitas 10 orang, sambil mengarahkan sorot lampu senter ke laut bagian depan kapal.

Saya terdiam sejenak antara berpikir dan berdoa. Saya melihat ke sekeliling, semuanya laut, belum tampak tanda-tanda cahaya di seberang pulau.

Saya mendongak ke atas, tampak bulan purnama yang mulai terhalang awan. Saat itu jam menunjukkan pukul 20.45 WITA. Angin tidak terlampau kencang, tetapi ombak arus laut sempat menggoncang beberapa kali kapal kecil kami. 

Saya tidak menguasai navigasi yang bisa mendeskripsikan posisi berapa derajat atau berapa mil laut dari daratan. Kami baru 25 menit berlabuh dari pelabuhan kecil di pulau Biaro menuju pulau Taghulandang. Dua pulau di wilayah Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) Provinsi Sulawesi Utara.

Kami berlima, rombongan dari Jakarta dan Taghulandang beserta satu kapten serta satu awak kapal, dalam perjalanan kembali dari acara penyerahan Alkitab Bahasa Tagulandang, yang baru saja diluncurkan malam sebelumnya (Kamis, 11 Agustus 2022). 

Penyerahan Alkitab kepada pimpinan Gereja-gereja pengguna bahasa Taghulandang dilakukan di dua lokasi berbeda. Pukul sepuluh pagi penyerahan Alkitab bertempat di Jemaat Gereja Masehi Injili Sangir Talaud (GMIST) jemaat Yobel di desa Lamanggo. Dimulai dengan ibadah dan dilanjutkan dengan pembagian secara simbolik kepada pimpinan jemaat GMIST yang ada di tiga desa di pulau Biaro, jemaat Gereja Pantekosta dan jemaat Gereja Baptis wilayah Biaro. Sore hari pukul 16.00 WITA penyerahan Alkitab secara simbolik kepada umat pengguna bahasa Taghulandang di wilayah desa berbeda, bersamaan dengan acara pengucapan syukur GMIST jemaat Zoar di desa Tope yang sangat meriah.

Rombongan kami tidak bisa kembali ke Pulau Taghulandang sebelum matahari terbenam. Kami harus turut menikmati makanan dan minuman yang sudah disiapkan panitia secara istimewa. Pun kami masih harus melakukan wawancara dengan tokoh Anggota DPRD kabupaten Sitaro yang memiliki kepedulian dan menjadi berkat nyata bagi masyarakat.

Kami baru bisa merapat ke pelabuhan dan naik kapal sekira pukul delapan malam. Saya sudah ditelepon dan diingatkan oleh kolega yang bertugas di pulau Taghulandang untuk menginap saja di pulau Biaro. Saya menjelaskan kalau rombongan tetap akan kembali ke Taghulandang meskipun sudah larut malam.

Sesungguhnya perjalanan naik kapal di malam hari sangat mengasyikkan. Duduk di bagian depan kapal, diterpa sepoi-sepoi hembusan angin laut, disiram cahaya bulan purnama, perjalanan sunyi serasa menapaki sebaris puisi.

 

Sekira tiga puluh menit perjalanan, tiba-tiba suara mesin kapal tidak sekeras sebelumnya. Saya melihat ke bagian belakang kapal, kapten kapal memegang kendali dan awak kapal sedang sibuk mengutak-atik satu mesin.

Saya masih berpikir positif dan tetap menikmati bulan purnama di kegelapan laut lepas. Setelah beberapa saat, Efan, sang awak kapal menuju ke depan kapal memberitahu bahwa satu mesin mati dan tidak bisa diperbaiki. "Waktu tempuh kita akan lebih lama karena hanya satu mesin bekerja", katanya.

Yang saya pikirkan bukan hanya waktu tempuh, tetapi juga risiko daya tahan satu mesin. Apakah kuat melawan terjangan ombak? Belum lagi tidak ada satupun jaket pelampung tersedia di kapal kayu sederhana ini.

Apalagi Efan juga bercerita kalau dia harus memastikan tidak ada jeratan jaring nelayan yang bisa saja menghentikan baling-baling mesin satunya. Itulah sebabnya sepanjang sisa perjalanan dia selalu mengarahkan lampu senter ke depan kapal, untuk memastikan tidak ada benda mencurigakan di depan kapal.

Kapal tetap melaju, empat penumpang lain tampak menikmati tidurnya. Saya tetap berjaga dengan terus mendaraskan doa di dalam hati. Sesekali saya berbincang dengan Efan, anak muda lulusan SMK, berpengalaman kerja di Timika Papua empat tahun, sudah berkeluarga dengan satu anak yang masih kecil, dan setahun terakhir bekerja di kapal pengangkut barang dengan rute Taghulandang-Manado.

"Baru hari ini saya membantu di kapal ini karena kebetulan saya sedang libur kerja", kata Efan. Mungkin karena itulah dia tidak mengantisipasi berbagai kendala mesin kapal. 

Perjalanan berangkat dengan rute yang sama di pagi hari, kami bisa tempuh sekira satu jam. Malam ini lebih dari dua jam kami menempuh perjalanan di kegelapan malam dengan hanya satu mesin.

Kami tidak bisa merapat tepat ke tepi pelabuhan Taghulandang karena kapal kandas sekira lima puluh meter dari bibir pondasi semen pelabuhan. Kami harus naik rakit beserta barang bawaan kami, dan ditarik oleh awak kapal yang berjalan di kedalaman pantai sekira satu meter sampai ke tepi pelabuhan.

Hampir tengah malam kami akhirnya sampai di penginapan dekat kantor Kecamatan Taghulandang dan bisa beristirahat, sambil mengenang dan percaya betapa baiknya Tuhan dalam hidup kami. Satu mesin mati. Tuhan masih punya banyak "mesin" lain untuk menolong umat-Nya.