Semangat Mewujudkan Alkitab Untuk Semua Sampai Ke Batas Negeri

Semangat Mewujudkan Alkitab Untuk Semua Sampai Ke Batas Negeri

 

Oktober 2019 lalu merupakan kali kedua aku menginjakkan kaki di Kalimantan Barat. Seperti biasa sebelum melakukan perjalanan, aku mencari informasi daerah tersebut melalui bantuan Google. “Hmm... apa yang menarik di Bengkayang? Tidak ada pemandangan yang indah di sana,” pikirku waktu itu. Semangatku mulai menurun. Tidak ada yang bisa menggantikan posisiku. Aku harus tetap melaksanakan tugas dengan baik walaupun tanpa hal-hal yang menarik sekali pun, sampai pada akhirnya di perjalanan ini aku justru menemukan suatu hal yang lebih daripada sekedar menikmati keindahan alam. Perjalanan sampai ke batas negeri pun dimulai.

Bersama dengan kak Mikha, Selviana, Ibu Kini, dan Bapak Paiman (Kelompok Kerja Penggalangan Dukungan Cirebon) kurang lebih menempuh perjalanan 1 jam 30 menit dari Jakarta menuju Pontianak menggunakan pesawat dan dilanjutkan dengan mobil selama 5 jam untuk sampai ke Bengkayang.

Bengkayang merupakan kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Pontianak dan Serawak-Malaysia. Dari 17 kecamatan, ada 15 kecamatan di Bengkayang yang menjadi sasaran program Satu Dalam Kasih (SDK) Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan LAI pada tahun 2018, terdapat ratusan gereja dari berbagai denominasi gereja, antara lain Gereja Perhimpunan Injili Baptis Indonesia (GPIBI), Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI), dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) yang jemaatnya membutuhkan Alkitab sebagai dasar kehidupan mereka. “Kami disini kalau mau beli Alkitab harus ke Pontianak dan Alkitab di sana harganya mahal. Alkitab Edisi Studi saja harganya bisa sampai 700 ribu rupiah,” ujar Pdt. Sangkot Sibarani, Wakil Sekretaris GPIBI.

Sebanyak 17.460 Alkitab dan Bagian-bagiannya akan didistribusikan kepada umat Tuhan yang ada di Bengkayang. Sebelum melakukan pendistribusian kami melakukanbreafing di kantor GPIBI. Kami juga harus memilah-milah kardus Alkitab berdasarkan jumlah dan daerah pembagian sesuai jadwal yang telah ditentukan. Urusan mencatat administrasi diserahkan kepada kak Mikha, Ibu Kini, dan Selvi; Bapak Paiman dan beberapa pemuda GPIBI bertugas mengangkat kardus-kardus Alkitab. Berdasarkan kesepakatan, ada dua daerah sulit yang rencananya akan kami kunjungi. Daerah pertama adalah Suti Semarang dan di hari terakhir ada Desa Siding.

Kecamatan Suti Semarang jaraknya sekitar 50 kilometer dari Kecamatan Bengkayang. Menurut cerita orang-orang yang sudah berpengalaman ke sana, Suti Semarang termasuk daerah yang sulit dilalui. Jalannya becek dan berlumpur. Apalagi saat musim hujan seperti ini, motor pun sulit melaluinya. “Saran saya, janganlah Bapak Paiman ikut, susah Pak. Tidak akan kuat,” kata Bapak Jans Nainggolan, salah satu utusan GPIBI yang berusaha mempengaruhi Bapak Paiman.

Perjalanan pertama yang konon katanya sulit pun dimulai. Berbekal Bubur Babi yang kami santap untuk mengisi tenaga, pakaian ganti seadanya, dan tidak lupa sepatu bot yang kami beli di pasar, kami siap berangkat menuju Suti Semarang. Jumlah kami saat itu ada 12 sepeda motor.

Kondisi cuaca di Bengkayang memang tidak menentu. Siang hari matahari terasa amat terik, namun jika menjelang sore hujan akan turun. Sampai di titik pembagian yang pertama dan kedua belum terlihat jalanan yang berlumpur. “Mana yang katanya susah. Ah, hanya becek saja,” pikirku saat itu.

Rasa penasaranku terjawab, tibalah kami di ‘zona’ yang sulit. Jalan yang berlumpur mulai nampak. Aku mulai memegang besi belakang motor dengan kuat. Sedikit takut melihat lumpur yang cukup dalam, terkadang aku memejamkan mata untuk menghilangan rasa takut. Beberapa kali kami juga harus melewati tanjakan, turunan, bahkan jembatan.

Sampai di satu titik, tiba-tiba salah seorang dari kami, yaitu pengojek yang membawa kardus Alkitab terjatuh. Beberapa dari kami dengan sigap menolong untuk mengangkat motornya. Beruntunglah kondisinya baik-baik saja, meskipun sebagian barang yang ia bawa basah terkena lumpur.

Hari sudah semakin siang, awan terik telah berganti menjadi awan mendung, kami harus cepat-cepat sebelum hujan turun. Benar saja, tidak berapa lama hujan mengguyur kami.

Aku buru-buru memasukkan peralatan kamera ke dalam tas. Bang Mail yang memboncengku memacu motornya cukup kencang, teman-teman yang lain pun sudah tidak terlihat. Di tengah derasnya hujan nampak sebuah tanjakan yang terbilang terjal. Aku takut sekali. “Bang, aku turun saja,” pintaku pada Bang Mail. “Tidak perlu, aman saja,” kata Bang Mail meyakinkanku. Sambil menurunkan kaki, Bang Mail mulai menarik gas motornya. Semakin kuat peganganku pada besi belakang motor sambil berdoa di dalam hati. Syukurlah tanjakan itu berhasil dilewati.

Semakin sore, hujan turun semakin deras. Jalan yang licin, ban motor yang pecah, dan beberapa kawan yang ternyata juga jatuh dari motor menjadi deretan cerita menarik yang menemani perjalanan kami di hari pertama pendistribusian Alkitab. Rasa letih selama seharian di atas motor terbayar dengan sambutan yang hangat dari masyarakat Suti Semarang yang menerima Alkitab. “Kami berterimakasih kepada LAI yang sudah mau mengunjungi kami di Suti Semarang. Kami memang kesulitan untuk mendapatkan Alkitab karena keadaan kami yang terpencil,” ujar Ev. Sutrisno dalam sebuah kesempatan wawancara.

Suti Semarang telah kami tinggalkan dengan berbagai kisah di dalamnya, perjalanan kami terus berlanjut ke kecamatan-kecamatan lainnya di Bengkayang. Keterbatasan waktu menjadikan kami tidak bisa mengunjungi semua kecamatan. Kecamatan Bengkayang, Sungai Betung, Samalantan, Monterado, Ledo, Sanggau Ledo, dan Jagoi Babang menjadi titik dimana umat Tuhan berkumpul untuk menerima Alkitab dan Bagian-bagiannya. Bukan saja untuk orang dewasa, tetapi juga untuk anak-anak Sekolah Minggu. Antusias yang sama juga kami terima saat berkunjung ke titik-titik tersebut. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang rela datang dari desa yang jauh demi bisa mendapatkan sebuah Alkitab.

Perjalanan selama 8 hari rasanya sangat tidak cukup bagi kami. Kunjungan ke Desa Siding di hari terakhir pun terpaksa harus dibatalkan.

“Mau ke Siding? Wah, itu jalannya sulit sekali. Harus turun naik gunung, tidak bisa hanya sehari. Motor pun tidak mampu jika musim hujan,” kata semua orang yang mengetahui rencana kami hendak ke Siding. Konon katanya, tarif ojek motor ke sana adalah Rp 500.000 per motor untuk sekali jalan. Kalau pun tetap mau pergi ke Siding dengan kondisi jalan yang lebih baik bisa memutar lewat Entikong, tapi dengan biaya yang jauh lebih besar. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, kami harus merelakan untuk tidak berangkat ke Siding. Perjalanan ke Siding akan dilanjutkan oleh Pdt. Sangkot Sibarani bersama dengan tim di hari berikutnya.

Adalah Desa Kapot yang berada di batas Indonesia-Malaysia, menjadi tempat terakhir kami mendistribusikan Alkitab. Jauh sekali, bisa dibilang termasuk salah satu desa paling ujung di Kalimantan Barat. Tanda waktu saja sudah mengikuti waktu Malaysia. Sebelum sampai di

Kapot, kami sempat diberi tahu bahwa ada jembatan yang putus karena hujan deras sehingga kami harus memutar jalan. Beberapa kali mobil yang membawa kami sempat tergelincir karena jalan yang licin.

Kami tiba di Kapot saat hari mulai gelap. Keadaan di sana cenderung sepi. Jarak antar rumah saling berjauhan. Tidak ada penerangan di Kapot. Saat sedang mendokumentasikan keadaan sekitar, aku melihat beberapa anak sedang bermain. Aku dekati sambil sesekali mengambil gambar mereka, lalu aku ajak mereka masuk ke dalam gereja untuk menerima Alkitab, dengan malu-malu mereka mulai mengikutiku.

Satu per satu anak dan beberapa orang dewasa mulai berdatangan memenuhi ruang gereja yang sempit. Sembari kami membongkar kardus-kardus Alkitab, anak-anak menaikkan puji-pujian Sekolah Minggu. Dengan semangat dan riang mereka bernyanyi dan menari mengikuti irama gitar. Yang menarik, tiba-tiba ada satu ibu datang mencari anaknya. Menurut ibu tersebut, anaknya belum mandi karena ikut kakaknya ke gereja, dan si anak tidak mau pulang karena ingin mendapat Alkitab juga. Kisah perjalanan di Bengkayang pun di tutup dengan doa bersama anak-anak.

Terselinap perasaan haru melihat semangat mereka yang tinggal di batas negeri ini. Mereka yang jauh dari perkotaan, mereka yang hidup berkekurangan, mereka yang hidup tanpa penerangan, masih bisa bergembira dan tak sedikit pun terlihat keluhan di wajah mereka.

Perjalanan ke Bengkayang bukan hanya tentang bekerja atau sekedar menikmati keindahan alam melainkan ada banyak makna kehidupan yang bisa diambil untuk memotivasi kehidupan. Harapan kita semua agar seluruh umat Tuhan mendapat bagian yang sama, yaitu firman-Nya yang akan menuntun dan menguatkan langkah iman di tengah kehidupan yang fana ini, sehingga semangat Alkitab Untuk Semua akan terus terwujud sampai ke seluruh negeri.

[Zegy Patianom, Dep. Digital]