SETEGUK ANGGUR KANA BUAT KELUARGA

SETEGUK ANGGUR KANA BUAT KELUARGA

 

Salah satu tujuan wisata favorit ke Holyland (Israel, Palestina, Mesir, Yunani dan Turki) adalah ke Kana, sebuah kota kecil kurang lebih 16 km dari Nazareth. Di Kana inilah menurut Injil Yohanes, Yesus melakukan mujizat yang pertama kali dalam sebuah pesta pernikahan. Di tempat yang diyakini sebagai tempat barlangsungnya pernikahan tersebut banyak pasutri melakukan janji ulang/memperbaharui janji pernikahan dipimpin oleh pendeta yang mendampingi grup tersebut. “Aku selalu mencintaimu dalam suka dan duka …”, demikian sepenggal janji  yang diucapkan dengan penuh euforia. Tour di Kana berakhir dengan membeli anggur Kana sebagai oleh-oleh atau kenangan, seolah-olah anggur tersebut adalah anggur mujizat Yesus 2000 tahun yang lalu. Walaupun demikian, tidak semua pendeta bersedia memimpin janji ulang/pembaruan janji pernikahan tersebut, dengan alasan bahwa janji pernikahan cukup sekali diucapkan. Umat percaya pada firman Tuhan “Katakan ya adalah ya dan tidak adalah tidak”, seperti tertulis dalam Matius 5:37. Jadi janji ulang/pembaruan janji adalah sebuah bentuk inkonsitensi terhadap salah satu janji yang diucapkan. Lepas dari pro-kontra tersebut yang jelas operator tour dan mitra-mitra bisnisnya mendapat untung, dan yang melakukan janji ulang merasa senang.

Namun, ibarat drama Korea, sepulang dari tour, salah satu pasutri yang melakukan pembaruan janji pernikahan tersebut menghadapi putrinya yang melaporkan bahwa ia ingin membina hubungan lebih serius dengan kekasihnya yang sesama aktivis gereja namun berbeda etnis dan status sosial.

No” jawab orangtua, “Pacar kamu belum mapan”. “Tapi, kami saling mencintai”, jawab sang putri. “Memang kamu mau hidup dengan cinta? Mau makan cinta setiap hari?” – Dialog yang sangat drama banget. Kenyataan sebenarnya mungkin tidak seperti itu, tapi itulah yang ditayangkan oleh sinetron di ruang-ruang keluarga di tanah air. Dan si orangtua sepertinya lupa dengan janji yang baru saja diulanginya di Kana. “Mencintaimu dalam suka dan duka.” Juga lupa bahwa dulu saat mereka baru menikah masih kere (miskin) dan penuh perjuangan. Lupa masa lalu!

Menurut Leila Ch. Budiman, psikolog yang juga adalah isteri Arief Budiman, yang bertahun-tahun mengasuh rubrik konsultasi psikologi di Kompas Minggu, dalam sebuah wawancara pernah ditanya, “Bu Leila, kita semua tahu bahwa Ibu dan Bung Arief merupakan pasangan yang beda etnis dan agama, bagaimana Ibu mengelola perbedaan tersebut?” – Sambil tertawa Ibu Leila menjawab, “Sebelum menikah kami sudah tahu perbedaan-perbedaan kami. Persoalan-persoalan besar seperti perbedaan etnis dan perbedaan agama sudah kami selesaikan sebelum kami menikah. Keributan pertama antara saya dan Arief justru karena sambal dan gulai. Buat saya sambal yang enak adalah sambal yang pedas dan gulai yang enak adalah gulai yang pekat dan berminyak. Ketika saya memasak itu dengan penuh cinta, ternyata buat Arief itu terlalu pedas dan berminyak. Ha-ha-ha…Tapi itulah dinamika dalam keluarga. Tanpa dinamika itu, tanpa hal-hal yang tak terduga, mungkin saya bisa bosan menghadapi Arief yang kutu buku dan sangat gemar berdiskusi.” 

Sebuah lembaga keluarga ternyata bisa sangat rapuh. Rapuh bukan karena persoalan-persoalan besar, seperti kata Leila yang sudah diselesaikan sebelum pernikahan, tetapi justru karena hal-hal kecil. Ya, sama seperti pernikahan di Kana [Yohanes 2:1-11]. Pernikahan tersebut terancam berantakan secara prematur karena kehabisan anggur di hari ketiga. Pesta pernikahan Yahudi pada zaman itu biasanya berlangsung selama 7 hari, dan belum setengah putaran anggur sudah habis. Untuk masa kini, hal semacam itu adalah urusan perusahaan catering, tapi dulu hal itu adalah urusan orang-orang satu kampung, keluarga, keluarga besar, dst. Apalagi jika pasangan mempelai berasal dari kampung sebelah. Bisa makin runyam urusannnya. Pernikahan bisa bubar sebelum pesta berakhir. Namun Yesus turun tangan dan pernikahan terselamatkan.

Memulihkan persediaan  anggur pada saat dibutuhkan adalah fenomena yang kita lihat secara kasat mata dari narasi Yohanes 2:1-11. Namun inti persoalan yang ingin disampaikan melalui narasi itu adalah dasar yang paling dasar dari sebuah keluarga, yakni CINTA dan KEPEDULIAN.

Kembali ke drama orangtua dan anak gadisnya yang berkonflik. Orangtua beranggapan bahwa mereka membuat keputusan yang terbaik bagi puterinya. Namun itu hanya salah satu aspek dari sebuah pernikahan. Persoalan finansial-material. Ada banyak aspek yang membentuk sebuah pernikahan yang bahagia dan persoalan finansial-material bukan yang terutama, demikian kata pendeta dan pembimbing lainya dalam sebuah kelas katekisasi pra nikah. Si puteri pun tidak mau kalah. “Aku mau berkorban apapun demi cinta ini. Perjalanan cinta yang tidak berdarah-darah bukan cinta sejati.” Demikian nilai-nilai yang diyakini sang puteri yang hobi nonton Drakor berjam-jam, nangis-nangis, hingga bangun kesiangan.

Namun, Yesus melalui seluruh kisah perjalanan hidupnya mengajarkan, “Dalam CINTA tidak ada pengorbanan. CINTA adalah CINTA.” Pengorbanan (duniawi), pengurbanan (agamawi) pada dasarnya adalah sebuah prinsip transaksional. Prinsip bisnis, prinsip ekonomi. Pengorbanan sekecil mungkin untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Demikian juga dalam agama kuno, mengurbankan kurban bakaran agar dewa tidak marah, agar dewa merestui tindakannya, dsb. Tapi perjalanan hidup tidak selalu demikian. Bisa jadi si puteri yang sekarang berkorban nanti malah berpisah.

CINTA dalam konteks pasutri adalah kesediaan menerima yang terburuk hingga yang terbaik dari pasangannya dan bersedia membangun serta mengembangkan kehidupan bersama. KEPEDULIAN dalam konteks pasutri adalah kesediaan menopang dan membantu pasangannya mengatasi persoalan pada saat terburuk dan menikmati keceriaan bersama pada saat bahagia. Bukan pengorbanan, bukan pula transaksi. Sama seperti karya Kristus di kayu salib. Itu bukan pengurbanan apalagi pengorbanan, tetapi sebuah karya CINTA dan KEPEDULIAN bagi umat-Nya agar bahagia. Itulah makna mujizat Yesus di Kana bagi keluarga. Selamat meneguk secangkir anggur Kana.


Pdt.  Sri Yuliana