SIAPAKAH SANG IMAM SEJATI?   DEBORA ATAU LAPIDOT?

SIAPAKAH SANG IMAM SEJATI?  DEBORA ATAU LAPIDOT?

 

Adegan sinetron: seorang suami pulang kerja, isteri menyambut, membukakan pintu, mencium tangan suami, mengambil tas kerja suami, membawakannya, lalu menyuguhkan minuman, membuka sepatunya dan seterusnya.

Itulah gambaran ideal pasangan suami isteri yang dikomunikasikan ke ruang-ruang keluarga di negeri ini melalui sinetron/siaran tv. Benarkah itu sebuah gambaran yang ideal? Sepertinya justeru TIDAK. Ini adalah sebuah gambaran domestikasi perempuan, di mana perempuan adalah “pengurus rumah tangga”. Titik. Bagaimana jika suami-isteri keduanya bekerja, atau istri yang menafkahi keluarganya? Haruskah adegan sinetron di atas dipaksakan? Bagaimana pula dengan status perempuan lajang/single parent yang harus mengurus semua hal atas nama dirinya (bukan atas nama suaminya)? Kondisi seperti ini tentu menjadi keadaan yang tidak ideal jika dinilai dari sudut pandang seperti dalam adegan sinetron tersebut.

Negeri ini adalah negeri yang sangat sarat dengan nilai-nilai patriarki-maskulinitas, nilai-nilai yang dibangun dari sudut pandang laki-laki dan perempuan terdomestikasi. Lebih buruk lagi, perempuan pun terpengaruh oleh sudut pandang ini sehingga mendomestikasi dirinya sendiri. Kita lihat Panca Dharma organisasi isteri-isteri PNS-ASN, Dharma Wanita (bukan Darma Perempuan) sbb: (1). Wanita sebagai pendamping suami; (2). Wanita sebagai ibu rumah tangga; (3). Wanita sebagai penerus keturunan dan pendidik anak; (4). Wanita sebagai pencari nafkah tambahan; (5). Wanita sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Beban yang tidak adil dan tidak seimbang. Sudah mengurus urusan domestik, masih ditambah mencari nafkah jika suami gagal mecukupi kebutuhan rumah tangga.

Namun, dibandingkan dengan Kongres Wanita Indonesia yang meneruskan cita-cita Kongres Perempoean Indonesia 1928, sejak tahun 1935 organisasi itu sudah mencetuskan bahwa: Kewajiban utama wanita Indonesia ialah menjadi “IBU BANGSA” untuk menumbuhkan generasi baru yang lebih sadar akan kebangsaannya. Sebuah visi kebangsaan, bukan visi domestik. Lebih lanjut, organisasi ini, melalui Kongres XXIII pada tahun 2009 menetapkan “common platform” yang mengandung visi pada bidang-bidang: Pendidikan, Kesehatan, Supremasi Hukum dan Konstitusi, Kesejahteraan Rakyat, Harkat dan Martabat Bangsa, Lingkungan Hidup, Hak-Hak Azasi Manusia, serta Keadilan dan Kesetaraan Gender. Ini baru visi yang dibuat oleh perempuan, dari sudut pandang perempuan, bagi bangsa.

Lalu apa kata Alkitab tentang kontras dua sudut pandang ini? Kita lihat Kitab Hakim-Hakim 4 dan 5. Kisah tentang Debora istri Lapidot. Deborah terpilih menjadi Hakim bagi Israel, tetapi juga berjabatan sebagai nabiah. Deborah sangat dihormati oleh bangsanya juga oleh pemimpin pejuang bangsa Israel pada waktu itu, Barak. Katanya, “Jika engkau turut maju, akupun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju akupun tidak maju” [Hakim-Hakim 4:8]. Narasi imajinatif dari percakapan ini adalah, “Apakah di rumah, Lapidot suami Debora, akan berkata seperti Barak? Ataukah Debora akan menyambut suami pulang dari berburu seperti pada adegan sinetron?” Siapakah yang menjadi imam dalam keluarga? Deborah yang adalah hakim dan nabi bangsa Israel ataukah Lapidot sebagai suami dan kepala keluarga?

Seandainya suami/kepala keluarga adalah imam dalam sebuah keluarga modern saat ini, barangkali kita akan melihat adegan sinetron lain dengan setting di sebuah restoran. “Ayah memilih menu makanan yang dipesan dan anggota keluarga lain tidak bisa protes.” Imam adalah pemimpin, demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan imamah (=imamat) adalah peran, kuasa, wewenang seorang imam/pemimpin. Dalam konteks ini suami/ayah/kepala keluarga adalah pemimpin dan anggota keluarga yang lain adalah pengikut. Sebuah kedudukan yang hirarkis/vertikal dan tidak seimbang.

Sementara itu psikologi modern yang mewakili pemikiran Barat/Judeo-Christian menggambarkan kepemimpinan dalam keluarga sebagai sebuah kepemimpinan yang kolektif-kolegial, dimana seluruh anggota keluarga ikut terlibat dalam pengambilan keputusan-kebijakan keluarga. Adegan sinetron lain yang melukiskan keadaan ini menggambarkan si ayah membuka daftar menu, demikian pula anggota keluarga yang lain dan menawarkan menu apa yang dipilih, sekaligus mengarahkan pilihan menu itu agar tercapai harmoni rasa asin-manis-gurih-pahit serta kombinasi warna yang menambah selera makan.

Jadi siapakah imam dalam keluarga? Dalam 1 Petrus 2: 9-10 (BIMK) tertulis, “Tetapi kalian adalah bangsa yang terpilih, imam-imam yang melayani raja, bangsa yang kudus, khusus untuk Allah, umat Allah sendiri. Allah memilih kalian dan memanggil kalian keluar dari kegelapan untuk masuk ke dalam terang-Nya yang gemilang, dengan maksud supaya kalian menyebarkan berita tentang perbuatan-perbuatan-Nya yang luar biasa.” Dengan gamblang ayat-ayat ini menjelaskan bahwa diri kita masing memiliki peran  imamat (peran, kuasa, wewenang seorang imam) dan bersaksi tentang nilai-nilai yang kita percayai.

Jadi, dalam sebuah keluarga modern yang terdiri dari orang-orang yang memiliki peran, kuasa dan wewenang imam, siapakah yang IMAM daripada para imam? Tentu saja TUHAN sendiri, dan kepala keluarga adalah fasilitator yang meneruskan suara IMAM segala imam dan melakukan fungsi koordinatif bagi imam-imam lainnya dalam keluarga.

Dengan demikian konsep ini sekaligus juga menjawab pertanyaan siapakah imam bagi seorang isteri yang bekerja? Tentu saja ia adalah imam bagi dirinya sendiri dan menjadi imam bagi keluarganya dalam bingkai kepemimpinan yang kolektif-kolegial. Demikian pula bagi seorang perempuan lajang/single parent. Sayangnya, di negeri ini masih terjadi ketidakadilan bagi seorang perempuan lajang/single parent. Walaupun status itu diakui oleh undang-undang/hukum negara melalui Kartu Keluarga dengan status Kepala Keluarga, tetap saja seorang perempuan lajang/single parent harus menjawab sejumlah pertanyaan tambahan ketika harus mengurus sesuatu di instansi pemerintah.

Tetaplah percaya diri karena kita adalah imam bagi diri kita sendiri dan menyepakati adanya kepemimpinan bersama dalam keluarga. Soal sinetron? Yah, ditonton saja lah, supaya tetap bisa ikutan ngobrol tentang Mas Al dan Andien dalam Ikatan Cinta. 


Pdt. Sri Yuliana